
Harga Pangan Naik, Ekonomi Global Bangkit?

Jakarta, CNBC Indonesia - Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) melaporkan adanya kenaikan harga pangan di bulan Juli. Merangkak naiknya harga pangan bulan lalu tidak terjadi secara merata serta ada yang diakibatkan oleh perbaikan dari sisi permintaan, tetapi ada juga yang dipicu oleh menurunnya produksi dan disrupsi rantai pasok.
Setelah anjlok di bulan Maret dan April ketika lockdown yang masif dan ketat diterapkan di berbagai belahan dunia, Indeks Harga Pangan FAO tercatat berada di angka 94,2 bulan lalu dan lebih baik dari bulan Juni yang berada di level 93,1. Artinya ada kenaikan sebesar 1,1 poin atau setara dengan 1,2% secara month on month (mom).
Di antara lima macam bahan pangan yang harganya dimonitor oleh FAO, minyak nabati, gula dan susu mencatatkan kenaikan pada bulan Juli. Untuk komoditas pangan jenis sereal harganya cenderung stagnan, sementara untuk harga daging cenderung menurun.
Indeks Harga Sereal FAO rata-rata 96,9 poin di bulan Juli, hampir tidak berubah dari bulan Juni dan naik 0,4 poin (0,4 persen) dari bulan yang sama tahun lalu.Di antara serealia utama, harga gandum cenderung flat, harga jagung dan sorgum mencatat kenaikan tajam sementara harga beras justru mengalami penurunan.
Harga gandum yang stagnan tak terlepas dari beberapa faktor seperti pelemahan dolar AS, kekhawatiran tentang prospek produksi di Eropa, kawasan Laut Hitam dan Argentina, hingga ekspektasi pemulihan produksi yang kuat di Negeri Kanguru.
Sementara untuk harga jelai juga tetap stabil. Harga ekspor sorgum dan jagung mencatatkan kenaikan yang kuat di bulan Juli, masing-masing naik 5,8% dan 3,7% dari bulan sebelumnya.
Lonjakan harga sorgum dan jagung terutama didorong oleh pembelian besar-besaran yang dilakukan oleh China atas kedua biji-bijian dari Amerika Serikat baru-baru ini, kekhawatiran cuaca dan melemahnya greenback
Sebaliknya, prospek panen besar tahun 2020 dan aktivitas pasar yang tenang mendorong harga beras internasional turun ke posisi terendah dalam empat bulan, meskipun muncul kekhawatiran baru atas kemacetan logistik yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.
Beralih ke harga minyak nabati, Indeks Harga Minyak Nabati FAO tercatat rata-rata 93,2 poin di bulan Juli, atau naik 6,6 poin (+7,6%) sejak Juni dan mencapai level tertinggi dalam lima bulan. Kenaikan indeks yang berkelanjutan terutama mencerminkan nilai yang lebih kuat untuk minyak sawit, kedelai, dan lobak.
Harga minyak sawit internasional naik dua bulan terakhir secara berturut-turut. Kenaikan harga minyak nabati sebagian besar didukung oleh perlambatan produksi prospektif di negara-negara produsen utama karena banjir lokal setelah hujan lebat yang mengguyur Indonesia dan Malaysia.
Permintaan impor global yang lebih besar dari perkiraan dan kekhawatiran yang masih ada atas kekurangan tenaga kerja migran di Malaysia memberikan dukungan tambahan untuk harga minyak sawit.
Harga kedelai internasional juga meningkat tajam, terutama karena pengetatan pasokan di Brasil, salah satu eksportir kedelai terkemuka di dunia. Nilai minyak lobak didukung oleh permintaan baru dari sektor biodiesel dan makanan di UE.
Untuk produk susu, FAO mencatat Indeks Harga Susu FAO menunjukkan kenaikan 3,5% di di bulan Juli (mom). Untuk harga susu bubuk, terutama susu bubuk utuh (WMP), mengalami kenaikan karena permintaan impor yang kuat oleh importir asal Asia.
Kenaikan harga susu juga dipicu oleh adanya kekhawatiran atas potensi penurunan ketersediaan ekspor di Oseania pada musim produksi 2020/21.
Kendati tetap di bawah level sebelum pandemi, harga mentega dan keju terus meningkat, didukung oleh permintaan impor yang kuat di tengah pasokan ekspor yang menurun secara musiman dan permintaan internal yang terus meningkat di Eropa.
Indeks Harga Daging FAO bulan lalu memiliki rata-rata 93,0 poin, turun 1,7 poin (-1,8%) dari Juni dan menurun 9,4 poin (-9,2%) di bawah bulan yang sama tahun lalu (yoy).
Untuk harga daging babi dan sapi keduanya turun pada bulan Juli, karena volume permintaan impor global tetap di bawah ketersediaan ekspor, terlepas dari gangguan yang disebabkan oleh virus korona pada aktivitas pemotongan, pemrosesan, dan ekspor di wilayah pengekspor utama.
Daging unggas pun mencatat pemulihan, menyusul penurunan lima bulan berturut-turut, sebagian besar mencerminkan pengurangan produksi di Brasil, dipicu oleh biaya pakan yang tinggi dan kekhawatiran atas prospek permintaan di masa mendatang.
Menyusul kenaikan tajam di bulan Juni, harga daging ovine naik hanya sedikit di bulan Juli, mencerminkan permintaan yang lebih lemah.
Beralih ke gula, FAO mencatat Indeks Harga Gula bulan Juli berada di rata-rata 76,0 poin atau naik 1,0 poin (+1,4%) dari Juni dan 3,4 poin (+4,3%) dari Juli tahun lalu.
Naiknya harga energi, dikombinasikan dengan prospek produksi gula yang lebih rendah akibat kekeringan parah di Thailand, eksportir gula terbesar kedua dunia, mendukung pergerakan harga gula di bulan Juli.
Namun, meningkatnya aktivitas pemrosesan tebu menjadi gula dari Brasil yang merupakan produsen gula terbesar di dunia, mengindikasikan bahwa pabrik-pabrik lebih memilih untuk memproduksi gula daripada etanol. Pada akhirnya hal ini membatasi kenaikan harga secara keseluruhan.
Secara keseluruhan harga pangan memang naik. Namun kenaikan harga pangan ini tidak serta-merta dapat disimpulkan sebagai perbaikan ekonomi global saja tetapi juga dipicu oleh lemahnya permintaan di pasar hingga penurunan produksi dan disrupsi rantai pasok.
Harga pangan bulan Juli secara keseluruhan juga masih lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ke depan ancaman utama yang bakal mempengaruhi harga pangan masih sama yaitu pandemi Covid-19 yang belum usai dan masih terus merebak.
Tak hanya pandemi Covid-19 saja yang mempengaruhi pergerakan harga pangan global tetapi juga adanya perilaku trade protectionism bahkan trade war seperti yang sedang terjadi antara AS-China.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Cabai Sampai Daging Turun Berjamaah, Ada Apa?