Internasional

Indonesia 'Disentil' Media China, Soal Apa?

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
06 August 2020 09:35
FILE - In this April 3, 2020, file photo, the USS Theodore Roosevelt, a Nimitz-class nuclear powered aircraft carrier, is docked along Kilo Wharf of Naval Base Guam. The U.S. Navy says that after weeks of work, all of the roughly 4,800 sailors on the coronavirus-stricken USS Theodore Roosevelt aircraft carrier have been tested for the virus. The ship has been sidelined in Guam since March 27, moving sailors ashore, testing them and isolating them for nearly a month.(Rick Cruz/The Pacific Daily via AP, File)
Foto: Perairan laut china selatan AP/Rick Cruz

Jakarta, CNBC Indonesia - Global Times, media harian berbahasa Inggris yang dekat dengan pemerintah China, menyentil Indonesia dalam artikel terbarunya. Artikel itu berjudul "Indonesia harus membuat pertimbangan komprehensif tentang Laut China Selatan" dan ditulis seorang peneliti dari Universitas Nanjing.

Artikel yang tayang pada Selasa (4/8/2020) menuliskan jika Indonesia menggunakan "trik" dalam menyampaikan pendapatnya soal masalah di Laut China Selatan. Terutama saat Indonesia mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Mei lalu.



Dalam surat tersebut, Indonesia mengingatkan PBB bahwa klaim sepihak China di perairan Laut China Selatan tidak memiliki dasar hukum internasional. Itu, sama saja dengan bertentangan dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982.

Indonesia-pun mengklaim bahwa sengketa antar negara di wilayah Laut China Selatan harus diselesaikan sesuai dengan UNCLOS 1982.

Hal inilah yang membuat 'sentilan' muncul. Apalagi, tulis artikel itu, Indonesia dan China tidak memiliki sengketa wilayah mengenai Laut China Selatan, berbeda dengan negara-negara penuntut lainnya hanya tumpang tindih hanya di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

"China tidak pernah mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Natuna... Tetapi alasan mengapa Indonesia memainkan trik semacam itu tidaklah mengejutkan," tulis Global Times, menambahkan setidaknya ada tiga alasan mengapa Indonesia melakukan hal tersebut.

Pertama, Indonesia menghadapi tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya akibat wabah Covid-19. Pemotongan anggaran pertahanan telah melemahkan kemampuan militer negara itu di Laut China Selatan, termasuk Kepulauan Natuna.

Menurut Global Times, Indonesia telah mengumumkan akan memangkas anggaran pertahanannya tahun ini hampir US$ 588 juta karena Covid-19. Ini akan mengurangi jumlah dan frekuensi pelayaran, patroli, dan latihan militer angkatan laut Indonesia.



"Sistem militer dan kepolisian Indonesia khawatir bahwa negara tersebut akan kehilangan kekuatan sebelumnya untuk melindungi hak-haknya di laut," papar tulisan tersebut.

"Karena itu, sejak paruh kedua 2019, Indonesia tampaknya tetap fokus pada masalah Laut China Selatan. Presiden Indonesia dan pejabat militer tingkat tinggi telah berulang kali pergi ke Kepulauan Natuna untuk menyatakan kedaulatannya."

Kedua, dikatakan Indonesia salah menilai situasi ketika mencoba mengambil keuntungan dari kasus arbitrase Filipina di Laut China Selatan empat tahun lalu. Indonesia mencoba menggunakan pernyataan agresif yang dibuat oleh Sekretaris Negara Amerika Serikat Mike Pompeo tentang Laut China Selatan pada 13 Juli untuk membenarkan putusan ilegal tahun 2016 oleh Pengadilan Arbitrase Permanen guna menyelesaikan perselisihan yang ada di sekitar Kepulauan Natuna.

Ketiga, dituliskan jika Indonesia cenderung membuka rintangan untuk menarik investasi asing ke Kepulauan Natuna.

"Pada Januari 2020, Presiden Indonesia Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi memperkuat perjanjian investasi di bidang perikanan, energi, dan pariwisata di kepulauan Natuna, dan kemudian Indonesia tampaknya memperkuat posisi aslinya di Laut China Selatan," tulis media tersebut.

Sebagai tanggapan atas Indonesia yang menyurati Sekretaris Jenderal PBB, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying telah mengkomunikasikan posisi China di Laut China Selatan kepada PBB.

Menurut mereka, usulan bahwa perselisihan laut harus diselesaikan sesuai dengan UNCLOS sebenarnya tidak masuk akal. Salah satu masalah adalah bahwa penampilan konvensi datang lebih lambat dari klaim kedaulatan China.

"Beberapa negara bukan penandatangan UNCLOS, tetapi mereka dengan konyol meminta orang lain untuk mematuhi konvensi. Sebaliknya, Filipina dan Vietnam, keduanya dengan sengketa serius dengan China, tidak memihak AS pada masalah Laut China Selatan."

Pada 27 Juli, Presiden Filipina Rodrigo Duterte menyampaikan pidato kenegaraannya yang kelima. Dalam laporan itu, ia dengan tegas menunjukkan bahwa Filipina akan terus mengejar kebijakan luar negeri yang independen. Duterte mencatat bahwa negara itu tidak akan bermain umpan meriam untuk AS atau menghadapi China sehubungan dengan masalah Laut China Selatan.

"Ini menunjukkan bahwa kebijakan membangun kemitraan yang bersahabat dengan negara-negara tetangga alih-alih menerapkan kebijakan pengemis tidak hanya dapat memaksimalkan kepentingan nasional tetapi juga menghindari keterlibatan dalam perselisihan di antara negara-negara besar. Filipina dan Vietnam telah membuat pilihan yang tepat. Ini layak untuk refleksi bagi pihak berwenang Indonesia," tutup tulisan tersebut.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Xi Jinping Usir Kapal AS di Laut China Selatan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular