Internasional

Bukan Laut Tapi Sungai, Lokasi 'Pertempuran' Baru AS-China

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
03 August 2020 14:03
Sungai Mekong. (Foto: Mekong Kingdoms)
Foto: Sungai Mekong. (Foto: Mekong Kingdoms)

Jakarta, CNBC Indonesia - Lupakan sejenak Laut China Selatan. Kini medan pertempuran China dan Amerika Serikat (AS) "pindah" ke Sungai Mekong, salah satu sungai terpanjang dan terbesar di dunia yang menjadi sumber kehidupan bagi 60 juta warga.

Hulu sungai ini berada di Tibet, yang mengalir melalui provinsi Yunnan di China, dan beberapa negara ASEAN, yakni Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam.



Pada Juli kemarin, studi dari China merilis temuan kontroversi yang menyatakan bahwa bendungan yang dibuat Tiongkok bukanlah masalah yang menyebabkan kekeringan bagi negara-negara hilir di sepanjang Sungai Mekong. Namun menjadi bagian dari solusi.

Studi yang dilakukan antara Universitas Tsinghua dan Institut Sumber Daya Air China ini berpendapat bahwa sebenarnya bendungan membantu mengatasi masalah dengan menyimpan air musim hujan dan melepaskannya pada musim kemarau.

Hasil temuan tersebut sangat jauh berbeda dari laporan investigasi yang didukung AS. Laporan AS menuliskan bendungan di China adalah penyebab kekurangan air yang diderita oleh negara-negara Asia Tenggara di daerah hilir sungai.


Klaim China mengenai bendungan tersebut menyebabkan banyak diskusi akademis tentang akar penyebab kekurangan air di negara-negara Asia Tenggara di daerah hilir sungai yang begitu parah.

Situasi yang tidak menguntungkan itu membuat Vietnam menyatakan keadaan darurat dan Thailand meminta militernya dalam upaya bantuan pada pergantian tahun.

Para analis mengatakan klaim yang dilakukan China untuk mengendalikan narasi yang membingkai hubungan China dengan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara. Bisa dikatakan jika kini Sungai Mekong menjadi lokasi baru dalam persaingan AS-China.

Laporan media di negara-negara hilir menghubungkan kekeringan yang mereka rasakan dengan hadirnya bendungan China yang mengambil air dari hulu Sungai Mekong untuk pembangkit listrik tenaga air atau irigasi.

Sementara menurut laporan oleh konsultasi Eyes on Earth yang dilakukan oleh Kemitraan Infrastruktur Berkelanjutan yang didukung oleh PBB dan Prakarsa Bawah Mekong, AS dan semua negara hilir Mekong, kecuali China, pada April lalu menyimpulkan bahwa bendungan-bendungan buatan China telah menahan 47 miliar meter kubik air.

Namun, studi Cina, berdasarkan pada kerja delapan peneliti yang dipimpin oleh Profesor Tian Fuqiang, memiliki gambaran yang sangat berbeda. Studi mereka mengklaim bahwa kekeringan disebabkan oleh faktor lingkungan, termasuk suhu tinggi dan penurunan curah hujan.

Para peneliti China berpendapat bahwa waduk buatan yang menyimpan air di musim hujan dan melepaskannya di musim kemarau, seperti bendungan, akan membantu meredakan kekeringan di seluruh hulu ke hilir Sungai Mekong.

Sedangkan media harian berbahasa Inggris yang dikelola pemerintah China, Global Times, menuliskan jika temuan Profesor Tian dan kawan-kawan sangat kontras dengan "tuduhan sembrono oleh beberapa peneliti asing yang menyalahkan China atas kekeringan di negara-negara hilir sungai." yang lebih rendah."

Studi China juga berpendapat bahwa Beijing-lah yang menghadapi risiko kekeringan tertinggi dari semua negara Mekong. Dikatakan, frekuensi keseluruhan dari kekeringan parah di Mekong adalah sekitar 7%, tetapi ini mencapai 12% di bagian atas dan tengah tempat bendungan China berada tersebut.

Di sisi lain, rekan peneliti Goethe University Frankfurt, Sebastian Biba, yang juga penulis buku tentang hidro-politik China di Mekong, mengatakan laporan yang saling bertentangan itu merupakan pertanda sungai telah berubah menjadi medan pertempuran geopolitik antara AS dan China.

Poin ini juga telah disinggung oleh perusahaan tata kelola air dan energi Amperes, yang dalam laporan April mengatakan studi Eyes on Earth tidak definitif dan kesimpulannya melampaui bukti. Peringatan terhadap politisasi data, distorsi selektif atau penindasan data "mewakili upaya dari para aktor di semua sisi untuk mempengaruhi debat dan menyelaraskan hasil dengan kepentingan mereka sendiri."

"Insiden kelangkaan air menawarkan peluang strategis bagi para pemangku kepentingan untuk menggunakan data untuk meningkatkan atau mengurangi masalah dalam upaya mencapai tujuan politik mereka," kata laporan Amperes, sebagaimana dikutip dari South China Morning Post, Senin (3/8/2020).

Biba mengatakan bahwa dalam hal ini China tidak melakukan kebaikan dengan keengganannya untuk berbagi informasi dengan negara lain.

"Data ada, oleh karena itu bisa dibagikan. Keengganan China untuk melakukan hal itu dengan kuat memberi kesan bahwa pihak China memiliki sesuatu untuk disembunyikan... Tidak lagi penting apakah Cina benar-benar menyimpan air atau tidak, kerusakan sudah terjadi. Negara-negara hilir, kelompok aktivis regional, komunitas tepi sungai, dll. Mereka semua mulai tidak mempercayai China dan niatnya," kata Biba.

Marc Goichot, yang memimpin WWF Greater Mekong Regional Initiative setuju, menyarankan sistem pemantauan ketinggian air yang dikelola oleh keenam negara Mekong dapat membantu mengatasi masalah kepercayaan.

"Saat ini China hanya membagikan data musim banjir, bukan data tentang aliran musim kemarau, atau data sedimen. Ketika tidak ada data yang tersedia, ini menyisakan ruang untuk spekulasi, dan membuatnya sulit untuk mengevaluasi dampak bendungan pada aliran hilir," kata Goichot.

Pada pertemuan para menteri luar negeri wilayah Mekong pada Februari 2020, China mengatakan akan mempertimbangkan untuk berbagi informasi hidrologi sepanjang tahun dengan negara-negara Mekong dan memastikan penggunaan sumber daya air yang "rasional dan berkelanjutan".

Pada April, juru bicara kementerian luar negeri China, Geng Shuang berjanji Beijing akan berbagi informasi dan bekerja sama dengan negara-negara di sepanjang Mekong untuk menangani perubahan iklim dan bencana banjir.

Brian Eyler, direktur program Stimson Center Asia Tenggara, sebuah think tank yang berbasis di Washington, mengatakan sementara China selalu menyimpan data hulu sungai di dalam "kotak hitam", upayanya untuk mengatur sungai itu bukan "bagian dari skema geopolitik untuk mendominasi Mekong".

"Sebaliknya, pendekatan China berasal dari pengalaman sejarah yang panjang dalam mengendalikan sungai dan menanggapi bencana banjir yang telah menewaskan jutaan orang China selama berabad-abad," kata Eyler.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rusia-Ukraina Minggir, Situasi Genting Berada di Dekat RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular