
Tiang Ekonomi Keropos Dimakan Corona, Pantas RI Resesi

Jakarta, CNBC Indonesia - Periode April hingga Juni menjadi masa sulit bagi ekonomi Indonesia. Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) memaksa roda ekonomi Tanah Air melaju dengan sangat lambat bahkan nyaris berhenti.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan PDB Indonesia pada kuartal II-2020 mengalami kontraksi sebesar -5,32% (yoy) dan -4,19% (qoq). Output perekonomian domestik tercatat menyusut dua kuartal berturut-turut.
Dengan begitu RI sah mengalami resesi. Memang tak ada definisi yang rigid terkait resesi. Kontraksi output dua kuartal berturut-turut menjadi standar yang umum sejak dikemukakan oleh ekonom Julius Shiskin pada 1974.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang banyak diterapkan di berbagai penjuru Tanah Air membuat sektor transportasi menjadi lapangan usaha yang paling terpuruk di sepanjang kuartal kedua kemarin.
Imbauan pemerintah untuk beraktivitas di rumah membuat mobilitas publik anjlok drastis. Junim yang bertepatan dengan hari raya Idul Fitri dan identik dengan mudik, menjadi tak seperti biasanya. Tahun ini, tak ada pulang kampung masif seperti yang sudah-sudah.
Turis asing yang melancong ke Indonesia pun jumlahnya anjlok mengingat karakteristik wabah ini merupakan pandemi global. PSBB juga membuat aktivitas pengiriman kargo mengalami penurunan. Akibatnya sektor ini mengalami kontraksi hingga 30,84% (yoy) pada tiga bulan kedua tahun 2020.
Fenomena belajar dan bekerja dari rumah juga membuat lebih banyak orang menahan diri untuk berbelanja. Restoran dan mall pun sepi pengunjung.
Konsekuensi dari minimnya kunjungan para pelancong membuat industri perhotelan layaknya mati suri. Penurunan demand ini membuat sektor akomodasi dan makan minum mengalami kontraksi yang paling dalam kedua setelah transportasi.
BPS mencatat lapangan usaha untuk sektor akomodasi dan makan minum merosot hingga -22,2% (yoy) dari sebelumnya tumbuh di angka 5,53% pada periode yang sama tahun lalu.
Kedua sektor ini menyumbang sekitar 5,85% dari total output domestik pada kuartal kedua tahun ini. Namun perkembangan kasus yang memburuk dan wabah yang makin menyebar membuat dampak dari pandemi juga dirasakan oleh sektor-sektor lain.
Empat sektor utama penopang ekonomi Indonesia yang berkontribusi sebesar nyaris 50% dari PDB seperti industri pengolahan, perdagangan, konstruksi dan pertambangan semuanya kompak mencatatkan pertumbuhan yang negatif di kuartal kedua.
Sebagai penopang utama yang berkontribusi sebesar 20% dari total PDB RI, industri pengolahan justru mengalami kontraksi yang lebih dalam dari headline pertumbuhan PDB nasional.
Sektor ini merosot 6,19% pada kuartal kedua. Delapan dari sebelas industri yang masuk kategori lapangan usaha ini mengalami kontraksi. Kontraksi yang paling dalam dialami oleh industri alat angkutan lantaran terjadi penurunan produksi mobil dan sepeda motor.
Setelah industri alat angkutan, ada industri tekstil dan produk tekstil yang mengalami kontraksi terdalam kedua. Pelemahan permintaan domestik akibat tutupnya mall dan pusat perbelanjaan serta melemahnya ekspor membuat industri ini kontraksi sebesar 14,23% (yoy).
Kontraksi juga diikuti oleh industri lainnya seperti industri pengolahan tembakau yang mengalami penurunan sebesar 10,84% akibat terganggunya produksi rokok selama masa PSBB berlaku.
Berbeda dengan industri yang lain, pandemi Covid-19 membuat industri farmasi dan obat tradisional mengalami pertumbuhan yang paling tinggi. Industri ini tumbuh 8,65% terutama didukung oleh produksi produk obat-obatan untuk memenuhi permintaan domestik dalam menghadapi wabah Covid-19.
Pertumbuhan Industri Pengolahan Berdasarkan Jenisnya ![]() |
Kontraksi di sektor industri pengolahan ini tercermin dari survei yang dilakukan terhadap pemilik pabrik dan manajer pembelian atau yang lebih sering dikenal dengan PMI. Angka PMI manufaktur RI sepanjang kuartal kedua selalu berada di bawah 50 yang berarti sektor ini mengalami kontraksi.