
Pasca Corona China Kembali Didera Musibah, Apakah Itu?

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), kini China kembali didera musibah. Banjir bandang harus menerjang China di saat pandemi belum usai serta tingginya tensi geopolitik dengan Negeri Paman Sam.
South China Morning Post (SCMP) melaporkan China saat ini tengah diterpa oleh banjir akibat meluapnya Sungai Yangtze. Sungai ini merupakan sungai terpanjang di Asia yang melintasi 175 kota di China yang juga menjadi markas berbagai perusahaan multinasional.
Peran Sungai Yangtze terhadap perekonomian China tak bisa diremehkan. Lembah Sungai Yangtze berperan sebagai pembangkit pembangkit energi (powerhouse) bagi output perindustrian yang menghasilkan hampir setengah dari PDB Negeri Tirai Bambu.
Hujan lebat yang mengguyur China sejak Juni menjadi pemicu utama meluapnya Sungai Yangtze. Puncaknya terjadi pada 2 Juli ketika Sungai Yangtze mengalami banjir pertama tahun ini.
Komisi Sumber Daya Air Changjiang melaporkan ketinggian air mencapai 146.97 meter dengan debit air mencapai 53.000 meter kubik per detik, tingkat yang sama dengan banjir tahun 1998. Hal ini berpotensi besar memicu terjadinya banjir bandang terbesar di China dalam satu tahun terakhir.
Saat ini, ketinggian air di 433 sungai berada di atas garis kendali banjir, dengan 33 di antaranya bahkan sudah mencapai rekor tertinggi.
Hujan lebat melanda 27 dari 31 provinsi di China. Hujan lebat telah mempengaruhi lebih dari 37 juta orang juga menewaskan serta menghilangkan kurang lebih 141 orang menurut pernyataan Kementerian Manajemen Darurat.
Dalam sebuah artikel, SCMP menyebutkan potensi kerugian ekonomi diperkirakan mencapai 86 miliar yuan (US$ 12,3 miliar) sejauh ini.
Danau Poyang, danau air tawar terbesar di China yang terletak di provinsi Jiangxi di bagian timur, dilaporkan mengalami kenaikan level airnya menjadi 22,6 meter pada 13 Juli dan ini menjadi level tertinggi yang pernah tercatat serta melampaui rekor sebelumnya di 22,52 meter pada 1998.
Banjir bandang yang melanda China pada 1998 merupakan bencana alam yang telah menyebabkan lebih dari 20 juta hektar lahan terendam, lebih dari 6 juta bangunan rumah hancur, 4.000 orang meninggal dunia dan kerugian ekonominya ditaksir mencapai hampir 30 miliar yuan kala itu.
Fenomena hujan lebat yang mengguyur China akhir-akhir ini disebut juga dengan istilah plum rain. Plum rain, yang biasanya dimulai pada bulan Juni dan dapat berlangsung hingga Agustus, adalah akibat cuaca yang terbentuk dari udara lembab dari Samudra Pasifik yang memenuhi massa udara kontinental yang lebih dingin.
Banjir bandang menjadi risiko lain yang dihadapi oleh ekonomi China yang baru bangkit selain belum usainya pandemi Covid-19 dan tingginya tensi geopolitik Washington-Beijing
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 12 Orang Tewas, 200 Ribu Dievakuasi Akibat Banjir di China