
Shell Mau Cabut dari Masela & IDD Chevron 'Gelap', Ada Apa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Investasi hulu minyak dan gas (migas) Tanah Air diwarnai sejumlah isu besar beberapa waktu belakangan. Raksasa migas asal Belanda, Royal Dutch Shell Plc (Shell), dikabarkan bakal cabut dari pengelolaan Lapangan Abadi, Blok Masela, Laut Arafuru, Maluku.
Kemudian, PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) belum memberikan kepastian untuk proyek Indonesia Deep Water Development (IDD) alias ultra laut dalam. Lalu, apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam investasi hulu migas Indonesia?
Eks Menteri dan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral periode 2014-2019 Arcandra Tahar mengingatkan investasi hulu migas tidak mengenal kewarganegaraan.
"Artinya di mana ada investasi yang menguntungkan, dia akan masuk," ujarnya dalam sebuah diskusi secara virtual, Rabu (29/7/2020) petang.
"Coba lihat data. Apakah Exxon keluar dari negara lain di Eropa atau Shell atau perusahaan-perusahaan besar lain. Mereka banyak fokus di mana? shale oil. Kenapa? Dari harga minyak yang normal, maka margin di shale oil itu dibandingkan dengan margin bisnis dan tingkat kesulitan dan lain-lain akhirnya mereka memutuskan untuk fokus ke shale oil," lanjut Arcandra.
Ia pun menyebut jika perusahaan-perusahaan besar itu akan menjual aset-aset di luar negeri. Itu artinya, jika dilihat secara komprehensif, perusahaan migas melihat parameter mana yang lebih memungkinkan bagi bisnis mereka.
"Mana yang secara strategis bisnis mereka inline dengan tujuan korporasi mereka 5-10 tahun ke depan," kata Arcandra.
Kuncinya selain mengembangkan bisnis hulu dan hilir, lanjut, mereka melakukan efisiensi. Karena tidak ada yang mampu mengontrol harga.
"Artinya itu berimbas ke oil company ini. Karena efisiensi ini menjadi sesuatu yang bisa dikontrol perusahaan," ujar Arcandra.
Seperti diketahui, Shell melalui Shell Upstream Overseas memiliki saham partisipasi Lapangan Abadi, Blok Masela, Laut Arafuru, Maluku, sebesar 35%. Sedangkan sisanya dimiliki oleh Inpex via Inpex Masela sebanyak 65%. Dari blok itu ditargetkan produksi LNG 9,5 juta ton. Nilai investasi pengembangan Blok Masela akan mencapai sekitar US$ 20 miliar (Rp 288 triliun).
SKK Migas memproyeksikan Blok Masela untuk onstream pada tahun 2027 mendatang. Sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengharapkan satu tahun lebih lekas.
Setali tiga utang, proyek IDD tak kunjung menemui titik temu sampai sekarang, Chevron tak kunjung memberikan kepastian apakah bakal lanjut di proyek ini atau tidak. Megaproyek dengan nilai US$ 5 miliar atau Rp 70 triliun (kurs Rp 14.000) tadinya akan dikembangkan raksasa migas AS, Chevron.
Proposal rencana pengembangan proyek (Plan of Development/PoD) berganti-ganti seiring dengan fluktuasi harga minyak dunia, dari US$ 6,9 miliar meroket ke US$ 12 miliar, lalu terus turun hingga menjadi US$ 5 miliar.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengungkapkan sampai saat ini SKK Migas masih menunggu laporan dari Chevron.
"Kita sudah mendesak beberapa kali," ujar Dwi dalam paparan kinerja industri migas semester I-2020, Jumat (17/7/2020).
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Q1-2022, Lifting Migas Belum Capai Target