
AS-China Terus Berseteru, Resesi Global Bisa Makin Ngeri?

Jakarta, CNBC Indonesia - Bukan resolusi tetapi eskalasi. Itulah kalimat yang menggambarkan hubungan Washington dengan Beijing saat ini.
Meski sama-sama saling membutuhkan, kini keduanya terjebak dalam hubungan yang rumit. Apalagi setelah pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) merebak.
Kemarin (22/7/2020) Uncle Sam meminta China menutup konsulatnya di Houston dalam kurun waktu 72 jam sejak diputuskan. Dalihnya Negeri Tirai Bambu melakukan aksi spionase.
Tidak terima dengan aksi itu, China memprotes dan mengancam akan mengambil langkah balasan. "AS harus mencabut keputusannya yang salah. China pasti akan bereaksi dengan tindakan tegas," kata juru bicara kementerian luar negeri.
Sudah dua tahun hubungan kedua raksasa ekonomi itu retak. Awal mulanya adalah defisit neraca dagang AS yang terus melebar terhitung sejak 1985 dan semakin parah pada 2018. Presiden AS ke-45 Donald Trump menganggap China telah melakukan praktik dagang yang jauh dari kata fairness.
Trump menuding China sengaja melakukan devaluasi mata uangnya untuk mendorong ekspornya yang berbasis produk-produk manufaktur yang memiliki nilai tambah. Tidak hanya praktik dagang saja yang dinilai tak adil, masalah seputar perampasan teknologi oleh China juga ikut jadi bulan-bulanan.
Untuk menunjukkan hegemoninya, AS resmi menerapkan bea masuk impor untuk ratusan miliar dolar produk China. Baru selang setahun setelahnya China melakukan retaliasi. Perang dagang pun dimulai.
Bagaimanapun juga fenomena menaikkan bea masuk terhadap produk impor dari suatu negara menjadi suatu kemunduran dari globalisasi yang dalam tiga dekade terakhir ditandai dengan perdagangan bebas (free trade).
Kenaikan bea masuk barang impor telah melukai ekonomi kedua belah pihak. Konsumen di AS yang bergantung pada barang-barang murah made in China merasakan dampaknya. Petani AS pun ikut merasakan getahnya.
Perang dagang antara keduanya telah membuat ekonomi global mengalami perdagangan. Volume perdagangan mengalami perlambatan yang signifikan akibat kisruh dagang duo raksasa ekonomi global.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mencatat volume perdagangan barang pada 2019 hanya tumbuh 1,2% saja. Jauh lebih rendah dari perkiraan bulan April di 2,6%.
Pertumbuhan ekonomi pun melambat. Bank Dunia menyebutkan output hanya tumbuh 2,5% tahun lalu. Padahal ketika 2018 PDB global masih mampu tumbuh di angka 3,1%.
Harapan keduanya rujuk pun sempat bersemi. Apalagi ketika kedua belah pihak akhirnya menandatangani kesepakatan dagang fase 1 pada pertengahan Januari tahun ini. Hanya saja poin yang disasar dalam kesepakatan itu tidaklah substansial.
AS tak benar-benar mencabut semua tarif yang dikenakan. Negeri Adikuasa hanya memotong tarif dari 15% menjadi 7,5% untuk barang impor dari China senilai US$ 120 miliar mulai September. Sementara untuk barang senilai US$ 250 miliar masih dikenakan tarif sebesar 25%.
Beralih ke China, Negeri Panda sepakat untuk membeli barang dari AS senilai US$ 200 miliar dalam dua tahun ke depan. Kesepakatan ini dinilai tidaklah rasional. S&P memperkirakan China harus menaikkan impornya sebesar 6% per bulan untuk memenuhi kesepakatan tersebut.
Kendati tak ada yang substansial, Washington dan Beijing akan terus berupaya untuk mencapai kesepakatan yang benar-benar menyasar permasalahan utama. Belum juga kesepakatan dagang fase II dijadwalkan, pandemi Covid-19 yang bermula di China menghentak dunia dalam waktu singkat.
Penyebaran yang sangat pesat telah membuat lebih dari 200 negara dan teritori di dunia terjangkiti. Lebih dari 15 juta orang dinyatakan positif mengidap Covid-19 sampai hari ini.
Dari sekian banyak negara yang terinfeksi, AS lah yang paling menderita parah. Jumlah kasus dan angka kematian di AS merupakan yang tertinggi di dunia. Lockdown yang diterapkan di banyak negara bagian bukannya menurunkan kasus malah membuat ekonominya luluh lantak.
Trump kembali naik pitam dan menuding China telah gagal dalam menangani wabah sehingga menyebar luas. Isu transparansi juga menjadi sorotan AS terkait pandemi kali ini.
Hanya dalam kurun waktu kurang dari lima bulan setelah perjanjian fase I diteken, kedua negara telah berseteru akan banyak hal. AS secara impulsif mencoba menyingkirkan perusahaan-perusahaan China dari Wall Street.
Tindakan represif China atas Hong Kong juga tak luput dari sorotan. Pengesahan UU Keamanan Nasional Hong Kong oleh Partai Komunis China membuat kota bekas jajahan Inggris itu kehilangan otonominya. AS pun mencabut status istimewa Hong Kong. Kini pusat keuangan Asia itu tak ubahnya seperti China.
Eskalasi terus terjadi, yang paling baru adalah hadirnya armada militer AS di Laut China Selatan (LCS) untuk mempromosikan nilai-nilai kebebasan mobilitas atas jalur laut strategis itu.
Konflik tak berkesudahan ini jelas merupakan ancaman global. Ketika pandemi merebak, perang dagang atau kisruh AS-China semakin mempersuram prospek perekonomian.
Pasalnya ketika dua raksasa ekonomi dunia beradu, dampaknya juga akan dirasakan oleh negara-negara lain. Rantai pasok global yang dibentuk oleh mobilitas orang, barang dan modal terancam mengalami disrupsi besar-besaran.
Lockdown saat pandemi telah menjadi penghambat utama mobilitas ketiganya, jika ditambah dengan kebijakan trade protectionism yang membatasi pergerakan barang maka dampaknya jadi dobel atau bahkan bisa triple.
Perang dagang yang terus berlangsung atau bahkan tereskalasi hanya akan menyeret korban dari sektor usaha maupun konsumen. Ketika dua pelaku ekonomi tersebut yang sudah terpukul akibat pandemi harus makin menderita akibat perang dagang, maka resesi global akan semakin parah. Periode pemulihan kian tak pasti.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Awas! Ketegangan AS-China Diramal Jadi Perang Dunia III
