
Duh, Pengusaha Ngeluh Covid-19 Bikin Kredit Bank Susah Cair

Jakarta, CNBC Indonesia - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan selama pandemi covid-19 saat ini, banyak pengusaha di dalam negeri sulit untuk mendapatkan kredit dari perbankan.
"Rata-rata pengusaha itu jumpa sama saya, kredit mereka sudah oke dan sudah diiyakan, tapi tidak ada eksekusi sama banknya. Pinjaman bank, kalau mau pinjam uang di bank lambat proses pencairan [...] padahal uangnya ada," ujar Bahlil dalam konferensi pers virtual, Rabu (22/7/2020).
Oleh karena itu, kata Bahlil sedang melakukan terobosan, agar para pengusaha yang ingin mengajukan kredit kepada perbankan bisa disetujui dan direalisasikan.
Menurut Bahlil, seharusnya bank bisa saja memberikan kredit dengan melihat arus kas atau cashflow dengan bijak.
"Kalau memang dilihat usahanya bagus, ya eksekusi. Jangan di oke [disetujui] kreditnya, tapi tidak direalisasi. Bank ini harus bekerja sama dengan pengusaha. Kita nggak mau kayak gini, harus betul-betul yang real," tutur Bahlil.
Sebelumnya, Ekonom Universitas Indonesia, Chatib Basri memandang permasalahan perbankan saat ini bukanlah mengenai likuiditas, tapi karena sektor riil yang lesu.
Seperti diketahui, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70/PMK.05/2020 tentang Penempatan Uang Negara pada Bank Umum dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional, sebagai upaya injeksi likuiditas pada perbankan.
"Loan to deposit ratio masih menurun, likuiditas ample. Upaya mendorong perbankan dengan likuiditas mungkin tidak akan terlalu efektif [...] belajar dari krisis 2008, tidak ada bank satu pun di dunia yang mau memberikan pinjaman kepada eksportir," jelas Chatib dalam diskusi virtual, Senin (20/7/2020).
Chatib yang juga merupakan Menteri Keuangan (periode 2013-2014) ini menyarankan kepada pemerintah untuk bisa mengantisipasi agar tidak credit crunch di tengah pandemi saat ini. Di mana credit crunch adalah keengganan bank dan penghematan pinjaman yang dilakukan oleh bank.
Bila ada perbankan yang likuiditasnya bermasalah, menurut Chatib hal itu dikarenakan adanya masalah yang sebenarnya sudah terjadi pada sebelum covid-19.
Dari kacamata Chatib, restrukturisasi kredit yang diberikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan berdampak ke sektor riil di tahun depan.
"Persoalan sektor rill kita akan muncul di 2021, kenapa? Karena sekarang itu kredit direlaksasi, di mana kolektibilitas 1 dan 2 dianggap lancar. Sampai nanti OJK mengakhiri relaksasi kreditnya, sehingga nanti kita akan tahu, apakah itu kreditnya akan macet betulan atau tidak," tuturnya.
Longgarnya kondisi likuiditas tercermin pada rendahnya suku bunga pasar uang antarbank (PUAB), yaitu di sekitar 4% pada Juni 2020, serta rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) tetap besar yakni 24,33 persen pada Mei 2020.
Sejalan dengan penurunan suku bunga PUAB, rerata tertimbang suku bunga deposito dan kredit modal kerja pada Juni 2020 menurun dari 5,85% dan 9,60% pada Mei 2020, menjadi 5,74% dan 9,48%.
Pertumbuhan besaran moneter M1 dan M2 pada Mei 2020 juga meningkat menjadi 9,7% (yoy) dan 10,4% (yoy). Selain itu, Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan Mei 2020 tetap tinggi yakni 22,14%, dan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah yakni 3% (bruto) dan 1,17% (neto).
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tahun Baru, Kasus Covid-19 di Australia Cetak Rekor Baru