
Mohon Maaf! Resesi Itu Jadi Bagian The New Nomal

Jakarta, CNBC Indonesia- Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menyatakan Indonesia sudah berada di depan mata memasuki masa resesi.
Meski demikian menurutnya resesi bukanlah hal yang luar biasa di masa Covid-19, karena hampir semua negara di dunia mengalaminya. Normal baru bukan hanya untuk aplikasi protokol kesehatan, melainkan resesi adalah sebuah kenormalan baru di dunia.
"Resesi bukan hal yang luar biasa, yang paling penting adalah kita masih bisa menjaga dunia usaha, menjaga sektor keuangan. Supaya kita tetap bertahan sehingga ketika wabah berlalu kita bisa recovery dengan cepat," kata Peter dalam DBS Asian Insights Conference dengan Tema Navigating a Brave New World, Kamis (16/07/2020).
Yang terpenting adalah Indonesia tidak masuk dalam jurang krisis. CORE memperkirakan kontraksi ekonomi Indonesia bisa lebih dalam, di kuartal II-2020 diperkirakan bisa minus 5%, di kuartal III-2020 minus 3%, dan di kuartal IV-2020 diperkirakan minus 2%. Dia mengakui dengan pelonggaran PSBB ada perbaikan aktivitas ekonomi, namun kontraksi ekonomi tidak bisa terhindarkan.
Selain itu kontraksi pada ekonomi Indonesia juga dikhawatirkan berdampak pada tekanan APBN. Piter menilai dalam kondisi ini dibutuhkan dua kebijakan penting yakni kebijakan fiskal dan moneter, selama bisa bisa bahu membahu maka tidak menjadi masalah. Back up dari bank sentral membantu pembiayaan fiskal, yang penting tidak ada politisasi.
"Dalam kondisi ini dibutuhkan sense of crisis yang sama," kata Piter.
Dalam kesempatan yang sama Staf Khusus Menteri Keuangan Masyita Crystallin mengatakan pembagian beban (burden sharing) antara Kementerian Keuangan dengan Bank Indonesia sudah berjalan lancar. Seluruh negara melakukan penyeimbangan dengan dibantu bank sentral dengan biaya di bawah market, hal inilah yang dicoba oleh BI dan pemerintah.
"Tapi kita harus mempunyai beberapa norma yang diperhatikan, yang dilakukan ini bukan helicopter money atau printing uang. Yang dilakukan sesuai mekanisme pasar sehingga ketika kondisi baik bisa dijadikan instrumen moneter, sehingga BI ketika perlu menariknya kembali sudah dalam bentuk instrumen," katanya.
Pembagian beban ini dibagi dalam dua bagian, pertama public goods yakni pengeluaran prioritas seperti pengeluaran kesehatan, jaminan sosial, yang jumlahnya di atas Rp 300 triliun, dengan biaya yang sangat rendah dan dilakukan dengan mekanisme pasar.
"Nanti yield yang dibayarkan pemerintah ke BI akan dikembalikan lagi ke pemerintah dalam bentuk burden sharing. sharenya tentu sedang dibicarakan. Mekanisme lainnya seperti yang sudah dibicarakan," katanya.
Masyita mengatakan pemerintah dan BI menentukan mana yang akan dipikul bersama karena beban bunga yang dipikul pemerintah sangat tinggi, apalagi sejak Maret-April terjadi peningkatan yield obligasi yang sangat signifikan. Selain itu karena di awal tahun rally emerging market masih kuat, sektor keuangan bisa mendadak punya reaksi yang cukup dalam. Untuk itulah pemerintah dan BI bersiap-siap.
Jika kondisi berlangsung panjang dan membebani APBN, menurutnya defisit fiskal Indonesia dibandingkan negara lain Indonesia memiliki akses pasar internasional yang cukup baik dibanding negara berkembang lainnya.
"Jika dibandingkan negara lain yang dari akses pasar terbatas, sisi financing Indonesia relatif aman. Tetapi Saya setuju mewaspadai tekanan APBN, untuk itu di Perpu yang kini menjadi UU pemerintah melakukan pelebaran defisit 3% selama 3 tahun. Kenapa tidak satu tahun karena kita ga bisa di periode recovery kita melakukan kontraksi ekonomi mendadak, karena malah akan shock mendadak," jelasnya.
(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article DBS Indonesia Borong Penghargaan Nasional & Internasional