Serem! 2020 Jadi Tahun 'Kematian' Maskapai & Pabrik Pesawat

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
15 July 2020 13:58
Boeing 777 bawa 40 ton alat kesehatan untuk penanganan Covid-19. (Ist)
Foto: Boeing 777 bawa 40 ton alat kesehatan untuk penanganan Covid-19. (Ist)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) telah membuat bisnis maskapai penerbangan dan pesawat terbang terdampak signifikan. Hal ini seiring dengan pembatasan mobilitas publik secara global untuk menekan penyebaran virus ganas yang bermula di Wuhan, China. 

Karantina wilayah (lockdown) yang marak diterapkan oleh berbagai negara di berbagai penjuru dunia membuat lebih dari tiga miliar penduduk bumi terisolasi di rumah. Tak ada yang bepergian.

Akibatnya perjalanan melalui jalur udara anjlok 98% pada April lalu. International Air Transport Association (IATA) memperkirakan dampak pandemi Covid-19 bagi industri maskapai sangatlah signifikan.

"Kami perkirakan maskapai akan mengalami kerugian yang belum pernah terjadi sebelumnya hingga US$ 84 miliar di tahun 2020" kata Brian Pearce, chief economist IATA, saat diwawancarai CNBC International pada 25 Juni lalu. 

Saat pandemi lebih dari 5.000 pesawat tak mengudara dan dikandangkan. Korban yang paling dirugikan adalah Boeing 747 jumbo, yang dulunya dijuluki 'Queens of the Skies'. Pesawat raksasa yang mampu menampung 366 penumpang ini harus berada di kandang sepanjang 2020. 

Nasib serupa juga dialami oleh pesawat jumbo lainnya, kali ini buatan Airbus A380. "Nasib A380 sudah berakhir" begitu keluh Tim Clark dari Emirates. Kini maskapai global hanya menggantungkan nasibnya ke dukungan pemerintah (bailout). IATA memperkirakan dukungan yang dibutuhkan senilai US$ 200 miliar.

Mengutip The Economist, beberapa maskapai penerbangan global yang sudah disuntik oleh pemerintah antara lain maskapai penerbangan AS yang mendapat suntikan hibah dan pinjaman federal senilai US$ 25 miliar. Kemudian ada Air France-KLM dan Lufthansa yang masing-masing mendapat talangan sebesar US$ 11 miliar.

Meskipun sudah mendapat dukungan dari pemerintah, nasib maskapai penerbangan tetaplah terlunta-lunta. Pandemi Covid-19 yang awalnya dikira dapat ditangani dengan tuntas seperti yang sudah terjadi sebelumnya (SARS & MERS) nyatanya tak semudah itu ditaklukkan. 

Skala yang jauh lebih masif dan penyebaran ke berbagai penjuru dunia membuat pandemi Covid-19 telah menjadi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya (unprecedented). 

Ketika kasus di China dan sebagian negara Eropa mulai menurun, negara-negara tersebut mulai melonggarkan pembatasan. Mobilitas pada bulan Mei mulai terpantau membaik. Alhasil tingkat penerbangan komersial sempat meningkat meski masih tertekan jika dibandingkan dengan awal tahun. 

Menurut data flightradar24, rata-rata jumlah penerbangan per hari hingga Rabu (24/6/2020) mencapai 52.000. Angka tersebut jauh lebih baik dari titik rendahnya yang tercatat pada 12 April lalu dengan jumlah penerbangan hanya mencapai angka 24.000 saja. Padahal saat Februari lalu, lebih dari 100.000 penerbangan terjadi dalam sehari. 

Penerbangan internasional memang anjlok parah. Namun penerbangan domestik di Amerika Serikat (AS), China dan Indonesia diperkirakan oleh IATA akan tetap mengalami fluktuasi.

IATA memperkirakan mobilitas orang lewat jalur udara akan kembali pulih ke level sebelum pandemi pada 2023. Namun proyeksi tersebut dinilai terlalu optimistis. Lonjakan kasus Covid-19 di berbagai negara seperti AS, Australia, China dan Inggris membuat beberapa wilayah kembali memikirkan untuk membuka ekonominya. 

Ancaman gelombang kedua wabah menjadi sebuah keniscayaan. Bisnis maskapai terancam semakin terpukul jika pembatasan mobilitas publik berupa lockdown kembali diterapkan. 

Sampai saat ini data kompilasi John Hopkins University CSSE menunjukkan jumlah penderita Covid-19 secara akumulatif sudah mencapai 13,29 juta orang secara global. Lebih dari 578 ribu orang terenggut nyawanya akibat tak kuasa menahan sakit dari infeksi virus ganas tersebut. 

Bisnis maskapai penerbangan seolah mati. Pandemi Covid-19 telah membawa disrupsi total (total disruption) bagi usaha di sektor ini. Perjalanan bisnis yang marak terjadi sebelum pandemi kemungkinan akan anjlok meski wabah berakhir. 

Pasalnya dengan adanya teknologi video conference untuk mengadakan rapat pertemuan menjadi alternatif lain yang lebih menguntungkan dari segi biaya dan waktu. Bisnis maskapai penerbangan kini tak hanya berkompetisi dengan alternatif transportasi lain tetapi juga bisnis video konferensi. 

Prospek yang begitu suram bahkan membuat investor kawakan global Warren Buffet menjual semua kepemilikan sahamnya di empat maskapai terbesar di AS. Perlu diketahui bersama, perusahaan holding Buffet yakni Berkshire Hathaway memiliki 11% saham di Delta Airlines, 10% di American Airlines, 10% di Southwest Airlines dan 9% di United Airlines.

"Dunia telah berubah karena pandemi virus corona kata Buffet, melansir BBC. "Kami membuat keputusan ini dalam hal bisnis di sektor maskapai penerbangan. Kami mengambil seluruh uang kami bahkan dengan kerugian besar, kami tak akan mendanai perusahaan yang kami pikir hanya akan menelan uang di masa mendatang" tambahnya.

Ketika bisnis maskapai terdampak, otomatis bisnis manufaktur pesawat terbang juga ikut terseret. Duo raksasa pembuat pesawat terbang global yakni Airbus dan Boeing juga jadi korban dari pademi.

Data perusahaan mencatat ada penurunan pengiriman dan kenaikan pembatalan pemesanan pesawat untuk kedua pabrik tersebut. Pada paruh pertama 2020 Airbus mencatatkan pengiriman sebanyak 196, turun dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai 389. 

Sementara itu di saat yang sama Boeing juga mengalami penurunan pengiriman. Pada semester I-2020 Boeing tercatat mengirimkan hanya 70 pesawat dari 239 pesawat pada semester I-2019. 

Angka pembatalan pemesanan pesawat paling banyak dicatatkan oleh Boeing yang mencapai 382 pembatalan hingga akhir Juni lalu. Selain karena masalah pandemi, insiden kecelakaan yang menewaskan ratusan penumpang Lion Air dan Ethiopian Air menggunakan Boeing 737 Max juga jadi alasan lain banyaknya pembatalan. 

Kondisi yang tak karuan ini membuat produsen pesawat terbang asal AS dan Eropa itu akan memangkas produksinya. The Economist melaporkan, Boeing berencana memangkas produksinya sebesar 50% dan enggan menggarap dua model baru dalam beberapa dekade ke depan.

Bahkan Airbus yang sedang ramai pesanan sebelum pandemi terjadi memutuskan untuk mengurangi produksinya hingga 30%. 

Pandemi Covid-19 memang tak main-main. Virus yang berukuran ultra mikroskopik tersebut bisa menumbangkan industri yang berjaya di langit luas. Miris memang.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Diam-Diam 'Kiamat' Kursi Pesawat Ancam Maskapai Penerbangan!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular