Jika AS-China Tempur (Amit-amit), Siapa Unggul?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 July 2020 14:18
Kapal Perang Amerika di Laut China Timur
Foto: Kapal Perang Amerika di Laut China Timur (Twitter @USNavy)

Jakarta, CNBC Indonesia - Laut China Selatan (LCS) sudah cukup lama menjadi pusaran konflik antar-negara. Penyebab utamanya adalah klaim China atas wilayah perairan yang bersinggungan dengan batas wilayah kedaulatan negara-negara lain.

China mengklaim sekitar 90% LCS adalah wilayah kedaulatan mereka. Dasarnya menggunakan Sembilan Garis Putus (Nine Dash Line), yang sudah ada sejak era Dinasti Han pada 110 Sebelum Masehi.

Kala itu, dilakukan ekspedisi laut ke Kepulauan Spratly dan para nelayan serta pedagang China sudah bekerja dan menetap di wilayah tersebut. Klaim China ini diperkuat dengan mengeluarkan peta Nine Dash Line pada 1947 dan 2009.

9 dash lineRadio Free Asia

"Klaim historis RRT atas ZEEI dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982. Argumen ini telah dibahas dan dimentahkan oleh Keputusan SCS Tribunal 2016. Indonesia juga menolak istilah 'relevant waters' yang diklaim oleh RRT karena istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Indonesia mendesak RRT untuk menjelaskan dasar hukum dan batas-batas yang jelas perihal klaim RRT di ZEEI berdasarkan UNCLOS 1982," sebut keterangan tertulis Kementerian Luar Negeri Indonesia tertanggal 1 Januari 2020.

Tidak hanya Indonesia, klaim China atas LCS juga menyenggol negara-negara lain. Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina menolak klaim China dan mencoba mempertahankan kedaulatan masing-masing. Bahkan Filipina telah memenangkan gugatan di Mahkamah Arbitrase PBB, yang menyatakan China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan di Laut China Selatan.

Mahkamah Arbitrase menyatakan tidak ada bukti sejarah bahwa China menguasai dan mengendalikan sumber daya secara eksklusif di wilayah Laut China Selatan. Meski demikian, Tiongkok menegaskan tidak menerima keputusan tersebut.

Filipina (juga Vietnam, Brunei Darussalam, dan Malaysia) menganggap klaim Tiongkok atas wilayahnya di Laut Tiongkok Selatan tidak berdasar karena hanya mengacu kepada faktor sejarah dan tidak ada persetujuan tertulis. Ini membuat klaim tersebut sangat subjektif dan tidak sesuai dengan tata pergaulan internasional.

Friksi di LCS juga menarik 'raksasa' lainya yaitu Amerika Serikat (AS). Negeri Adidaya yang memposisikan dirinya sebagai polisi dunia berkepentingan untuk meredam pengaruh China di Asia Tenggara.

AS sudah menyiagakan pesawat bomber B-52H dan dua kapal induk Nimitz dan USS Ronald Reagan ke LCS. Sedangkan China bersiap dengan senjata anti pesawat terbang seperti rudal DF-21D dan DF-26.

"AS sengaja mengirimkan dan mengerahkan militer untuk latihan skala besar di LCS, dan memamerkan 'ototnya'. Mereka memiliki tujuan tersembunyi. AS menciptakan perpecahan di antara negara-negara di kawasan ini dan membuat militerisasi LCS," tegas Zhao Lijian, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, seperti diberitakan South China Morning Post.

Gesekan AS-China di LCS sejauh ini baru sebatas perang kata-kata dan retorika. Namun apabila terus tereskalasi, bukan tidak mungkin bisa agresi militer bisa meletus. Perang...

Andai konflk bersenjata alias perang betul-betul terjadi di LCS (amit-amit), sebenarnya kekuatan militer AS dan China hampir setara. Mengutip Global Fire Power, AS memiliki kekuatan militer terbesar di dunia dengan Power Index (PwrIndx) 0,0606. Sementara China berada di peringkat ketiga dengan PwrIndx 0,0691.

Mari kita kuliti kekuatan militer Negeri Paman Sam. Saat ini jumlah anggota militer AS diperkirakan 2,26 juta orang atau 0,7% dari total populasi. Jumlah tentara aktif adalah 1,4 juta orang sementara pasukan cadangan ada 860.000 orang.

Di matra darat, AS memiliki tank sebanyak 6.289 unit. Kemudian kendaraan tempur (ranpur) berjumlah 39.253 unit, self-propelled artillery 1.465 unit, towered artillery 2.740 unit, dan peluncur roket 1.366 unit.

Lalu di matra udara, AS menguasai 2.085 unit jet tempur. Ditambah dengan 5.768 unit helikopter dan 967 unit helikopter tempur.Kemudian di matra laut, AS memiliki 20 unit kapal induk pengangkut pesawat, 91 unit kapal penyerbu, 19 corvette, 66 unit kapal selam, 13 unit kapal patroli, dan 11 unit kapal ranjau.

Bagaimana dengan China? Dari sisi jumlah personel, China sedikit lebih banyak ketimbang AS dengan 2,69 juta orang. Terdiri dari 2,18 juta tentara aktif dan 510.000 orang pasukan cadangan.

Namun dalam hal perlengkapan, AS sedikit unggul. Angkatan darat Negeri Tirai Bambu memiliki 3.500 tank, 33.000 ranpur, 3.800 self-propelled artillery, 3.600 towered artillery, dan 2.650 pelontar roket.

Sementara angkatan udara China dibekali dengan 3.210 jet tempur, 911 helikopter, dan 281 helikopter tempur. Sedangkan angkatan laut China memiliki 2 kapal induk pengangkut pesawat, 36 unit kapal penyerbu, 50 corvette, 74 unit kapal selam, 220 unit kapal patroli, dan 29 unit kapal ranjau.

Selain dari sisi personel dan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista), keunggulan AS juga dibantu oleh faktor lain. Misalnya dukungan pendanaan.

Pada tahun anggaran 2020, Presiden AS Donald Trump menyetujui anggaran pertahanan sebesar US$ 750 miliar (Rp 10.839,37 triliun dengan kurs saat ini). Sementara pemerintah China menganggarkan dana CNY 1,27 triliun (Rp 2.608,41 triliun).

Kemudian, AS juga merupakan produsen minyak terbesar di dunia. Per 26 Juni 2020, produksi minyak AS mencapai 11 juta barel/hari. Sementara per Maret 2020, produksi minyak China adalah 3,9 juta barel/hari. Produksi minyak akan menentukan seberapa lama 'napas' dalam pertempuran.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article AS & China Debat Sengit Soal Laut China Selatan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular