
Corona Belum Usai, Konsumen RI Masih Ragu Arungi Ekonomi

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa keyakinan konsumen Tanah Air pada bulan Juni mencatatkan perbaikan. Namun konsumen masih belum benar-benar 'pede' dalam memandang perekonomian.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan Juni tercatat naik 6 poin pada bulan lalu menjadi 83,8 dari sebelumnya di angka 77,8 pada Mei. Angka di atas 100 mengindikasikan bahwa konsumen optimis dalam mengarungi perekonomian saat ini dan di masa mendatang.
Kenaikan IKK bulan Juni lebih ditopang oleh membaiknya ekspektasi konsumen dalam memandang perekonomian enam bulan mendatang. Namun jika melihat kondisi ekonomi saat ini, konsumen masih sangat pesimis.
Penurunan optimisme konsumen dalam memandang perekonomian saat ini dibanding enam bulan lalu tercermin dari penurunan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) yang makin turun menjadi 45,8 di bulan Juni dari sebelumnya 50,7 di bulan Mei.
Ketiga indikator penyusun utama IKE, semuanya kompak mencatatkan penurunan. Indeks Penghasilan Saat ini turun dari 50,8 menjadi 46,8 bulan lalu. Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja juga mengalami penurunan dari 28,2 menjadi 24,5.
Begitu juga dengan Indeks Pembelian Barang Tahan Lama yang juga turun menjadi 66 dari sebelumnya di 73,2.
Kendati tak menerapkan lockdown ketat seperti kebanyakan negara Eropa, Indonesia juga membatasi mobilitas masyarakatnya melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pertama kali diterapkan di DKI Jakarta pada 10 April lalu, PSBB kemudian mulai dilakukan di hampir setiap wilayah Tanah Air.
Ekonomi RI pun bisa dibilang mati suri. Pabrik yang tutup atau beroperasi dengan kapasitas di bawah normal membuat permintaan terhadap tenaga kerja melambat bahkan turun. Akibatnya banyak karyawan yang dirumahkan dan terkena PHK.
Berdasarkan catatan Kamar Dagang Indonesia (KADIN), jumlah karyawan yang dirumahkan dan terkena PHK mencapai lebih dari 6,4 juta orang. Hal ini memicu terjadinya penurunan pendapatan masyarakat RI.
Survei Sosial Demografi Dampak Covid-19 BPS menyebutkan, pendapatan 4 dari 10 responden yang disuvei mengalami penurunan. Daya beli yang bermasalah tercermin dari rendahnya inflasi dalam tiga bulan terakhir. BPS mencatat inflasi dan inflasi inti pada bulan April hingga Juni terus mengalami perlambatan.
Daya beli masyarakat yang bermasalah juga tercermin dari penjualan ritel yang mengalami kontraksi dalam di bulan April. Kontraksi pertumbuhan ritel secara tahunan sebenarnya sudah mulai tampak di bulan Februari.
Penjualan barang tahan lama seperti mobil bahkan kontraksinya jauh lebih dalam. Pada Mei lalu, GAIKINDO mencatat penjualan mobil di Tanah Air mengalami kontraksi nyaris 96% dibanding tahun lalu (yoy). Ini merupakan kontraksi terbesar sepanjang sejarah tercatat, bahkan jauh lebih dalam dari krisis moneter 1998.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh perusahaan konsultan manajemen global McKinsey & Company menunjukkan bahwa 65% responden yang merupakan konsumen di Tanah Air mengatakan mereka memangkas belanja mereka. Sementara itu 82% responden mengaku lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya.
Konsumen yang menahan diri untuk berbelanja, bank dan perusahaan pembiayaan yang lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit terutama kredit konsumsi serta adanya restrukturisasi menjadi alasan kenapa penjualan mobil anjlok signifikan.
