
Krisis Corona, Airlangga: Pemerintah Harus Ahead of the Curve

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan pandangan perihal krisis yang sedang dihadapi Indonesia saat ini. Dalam sejumlah kesempatan, Presiden Joko Widodo mengingatkan kalau krisis yang dihadapi bukan hanya dari sisi kesehatan lantaran Covid-19 semata, melainkan juga dari segi ekonomi.
"Jadi kalau kita lihat periode krisis ini Indonesia sudah belajar tiga kali," ujar Airlangga dalam serial diskusi bertajuk "Pemulihan Ekonomi Indonesia" yang berlangsung secara virtual, Jumat (3/7/2020) malam.
Pertama, krisis ekonomi 1998. Menurut Airlangga, krisis itu hanya menimpa empat negara Asia. Kemudian, lanjut dia, berbagai negara lain di dunia tidak mengalami krisis sehingga Indonesia masih tertolong oleh usaha mikro kecil dan menengah yang tidak terdampak.
"Karena kan krisisnya di sektor finansial terutama akibat dari pada rupiah dan mereka yang tidak pinjam rupiah itu relatif aman dan pasar ekspor relatif terjamin.
Sehingga ini adalah krisis yang secara agregat paling dalam dan recovery-nya memakan waktu tiga sampai empat tahun bahkan tahun 1998 sampai 2004 pemerintah berkali-kali terjadi pergantian. Ada tiga presiden di dalam periode tersebut dan tentu di sana ada BPPN kemudian ada yang menjadi trauma terhadap institusi yang namanya BI di mana BI dipecah menjadi OJK kemudian ada LPS dan yang lain," kata Airlangga.
Kedua, krisis di 2004-2005 terkait dengan hi tech bubble. Akan tetapi ekonomi Indonesia tidak terlalu terdampak.
Ketiga, krisis ekonomi 2008 akibat subprime mortgage di Amerika Serikat. Menurut Airlangga, ekonomi Indonesia terbantu karena tidak memiliki regulasi yang berkaitan dengan subprime mortgage, meski di pasar modal terdampak lantaran sentimen negatif.
Lalu, bagaimana dengan krisis sekarang yang ditimbulkan oleh Covid-19?
"Selalu kita perbandingkan krisis di tahun sekarang ini itu yang kena adalah human capital. Jadi orangnya yang kena plus 215 negara sehingga tidak ada ekonomi yang bisa menghela dari segi demand dan di sini terjadi demand shock dan supply shock," kata Airlangga.
"Tetapi kita masih ada yang menjadi buffer, yaitu sektor finansial. Sektor finansial kita lebih kuat dibandingkan dua krisis yang lalu bahkan hari ini pun BI masih mempunyai dana US$ 130 miliar cadangan devisa dan trade juga, karena kita menerapkan PSBB yang tidak sama dengan yang lain, maka neraca perdagangan pun positif US$ 2,8 miliar," lanjut Ketua Umum Partai Golongan Karya itu.
Namun, menurut Airlangga, ada tantangan agar krisis akibat Covid-19 tidak terlalu dalam alias tidak L-shape atau U-shape.
"Nah oleh karena itu pemerintah harus ahead of the curve, jalannya harus di depan. Salah satu jalan di depan adalah melakukan stimulus ekonomi terhadap sektor-sektor UMKM kemudian berikutnya adalah sektor korporasi," ujarnya.
Jadi, menurut Airlangga, berdasarkan ketiga pengalaman tersebut, makan Indonesia dinilai sebagai negara yang memiliki resilient yang tinggi. Bahkan, lanjut dia, Duta Besar Inggris pun mengapresiasi langkah Indonesia yang mengambil langkah-langkah cepat di berbagai bidang.
"Dan berbagai negara melihat langkah yang dilakukan Indonesia cukup positif sehingga sampai kuartal pertama hanya tiga negara berada di jalur positif, yaitu Indonesia, India, dan China. Nah oleh karena itu menurut Morgan Stanley dan yang lain akan keluar dari krisis ini lebih dulu," kata Airlangga.
"Oleh karena itu kita juga mendorong dan pemerintah sangat sadar bahwa ini seluruhnya bersifat dinamis. Jadi kita terus memperbaiki dari segi regulasi, dari segi governance, dan juga menjaga kepercayaan publik. Tetapi yang utama dan terutama adalah ini kesempatan untuk reform di sektor kesehatan karena kesehatan itu menjadi kunci langkah-langkah yang dilakukan pemerintah di sini," lanjutnya.
(miq/roy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dua Kali Sehari, Jokowi Bicara 'Awan Gelap' yang Selimuti RI