
Pertamina Buka-bukaan, Kilang hingga Bebas Impor Solar 2026

Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah 30 tahun pembangunan kilang tidak kunjung terwujud. Terkait hal ini, CEO Refinery & Petrochemical Subholding (PT Kilang Pertamina Internasional) Ignatius Tallulembang memaparkan jika bisnis minyak dan gas adalah bisnis yang berisiko tinggi di hulu dan midsteram.
"Risiko cost of run bisa juga karena keterlambatan pembangunan kilang dampak dari return. Unschedule shutdown, ledakan dan sebagainya. Deep Water Horizon di Meksiko mengakibatkan 11 orang meninggal, BP hampir bangkrut," ujarnya dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara Pertamina dengan Komisi VII DPR RI, Rabu, (1/7/2020).
Menurutnya risiko ini bisa terpapar dalam bisnis yang pihaknya kelola. Untuk mengantisipasi, selain dengan budaya yang diperketat, juga dengan mencari strategic partner untuk berbagi risiko.
"Investasi yang besar, biaya besar bangun kilang satu progress yang berjalan prioritas pertama yang akan kami laksanakan upgrading kilang eksisting yang ada ditambah kilang baru yang akan dibangun di Tuban," katanya
Angka untuk membangun semua projek ini jumlahnya mencapai US$ 48 miliar, di mana pembangunan akan memakan waktu selama 6 -7 tahun. "Dari sisi pembangunan operasi dana butuh capital besar, working capital," ujar Ignatius.
Ia menyebut untuk kebutuhannya dibutuhkan US$ 20 miliar per tahun, sehingga butuh investasi yang besar. Bisa dari mitra bond, loan, dan lain-lain. "Equity 40-50%, debt 60%. Kita mengupayakan lebih banyak debtnya," ungkapnya.
Sementara itu Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengungkapkan ada tugas besar yang dibebankan pemerintah kepada perseroan. Tugas itu adalah mengurangi impor minyak.
Nicke menjelaskan, kebijakan pemerintah yang mendorong kendaraan listrik hingga meningkatkan penggunaan biodiesel (B20, B30, B50, dan B100) berpengaruh kepada perubahan permintaan minyak ke depan.
"Maka penting untuk melihat kembali supply demand ke depan. Pemerintah saat ini sedang menyusun kembali, membuat revisi RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) yang kemudian diterjemahkan ke kebijakan energi nasional. Ini yang menjadi landasan, ini gak bisa jadi keputusan Pertamina sendiri, Pertamina harus ikut kebijakan energi nasional ke depan," kata Nicke.
Namun, lanjut dia, fakta hari ini menunjukkan Indonesia masih melakukan impor minyak. "Salah satu tanggung jawab Pertamina adalah mengurangi defisit neraca perdagangan dengan membangun kilang," ujar Nicke.
Oleh karena itu, Pertamina terus mempercepat pengembangan kilang proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan pembangunan kilang baru proyek Grass Roof Refinery (GRR).
Setelah proyek ini rampung nantinya kilang yang saat ini berkapasitas 1 juta barel per hari akan meningkat dua kali lipat menjadi 2 juta barel per hari, sehingga kebutuhan kilang terpenuhi tanpa perlu impor lagi.
"Dengan pembangunan 4 RDMP dan 1 GRR di 2026, kita sudah tidak lagi melakukan impor gasoil (solar), kita gak impor, malah berlebih. Kita lakukan ekspor. Kita hanya butuh sedikit gasoline (bensin) untuk impor. Dengan 4 RDMP dan 1 GRR cukup. Tapi ini kan butuh kesepakatan semua. Seluruh pembangunan kilang itu dan merupakan PSN. Jadi kami tetap jalankan," kata Nicke.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pertamina Pastikan Stok BBM Aman, Tak Usah Panic Buying!
