
Tak Bangun Kilang 30 Tahun, Pertamina Butuh Investasi US$48 M

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero) memaparkan strategi dalam pengembangan program Refinery Development Master Plan (RDMP) dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI di ruang rapat Komisi VII DPR RI, Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (1/7/2020).
Menurut Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, ada sejumlah kemajuan yang sudah dicapai perseroan dalam program itu, antara lain RDMP di Balikpapan, Kalimantan Timur.
"Progres kilang dipantau tiap minggu. Kita pantau betul, ada real time dashboard kita pasang cctv di lapangan," ujar Nicke.
Setelah itu, Nicke meminta paparan dilakukan oleh CEO Refinery & Petrochemical Subholding Pertamina, yaitu PT Kilang Pertamina Internasional, Ignatius Tallulembang. Ignatius mengingatkan kalau selama 30 tahun, Indonesia belum membangun kilang.
"Kami ingin mengulang kembali karakteristik bisnis oil and gas. 30 tahun kita belum bangun kilang dalam konteks menaikkan kapasitas kilang," ujarnya.
Menurut Ignatius, prioritas pertama yang akan dilaksanakan adalah meng-upgrade kilang eksisting yang ada ditambah kilang baru yang akan dibangun di Tuban.
"Keseluruhan proyek ini 48 miliar dolar AS dan akan berlangsung 6-7 tahun ke depan," kata Ignatius.
Menurut dia, hal itu tentu membutuhkan strategi pendanaan. Multifunding yang berasal dari mitra strategis menjadi salah satu pilihan.
Persoalan kilang juga sempat dibahas saat Nicke Widyawati mengikuti rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, Senin (29/6/2020). Ia menjelaskan bahwa selama ini terjadi keragu-raguan dalam menentukan sikap.
"Ini adalah tentang view jangka pendek dan jangka panjang. Keragu-raguan inilah yang membuat 30 tahun kita tidak membangun kilang," ujarnya.
Padahal, menurut Nicke, secara kualitas kilang-kilang yang ada di Indonesia masih berstandar kategori euro 2. Nicke pun memberikan perbandingan di negara lain.
"Negara lain, itu hanya negara-negara yang terbelakang saja yang masih menggunakan euro 2. Ini sudah ditinggalkan. Jadi sebetulnya Ini mau di-upgrade apa enggak. Kalau nggak diupgrade menjadi euro 5 ini kilang harus ditutup. Karena lingkungan memang sudah tidak bisa lagi menerima besok-besok," katanya.
Nicke menegaskan, saat ini Indonesia masih membutuhkan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) 1,3 juta barel per hari.
"Hari ini impor crude, install kapasitas kita 1 juta barel per hari. Produksi cuma 900 ribu barel. Kita perlu crude 900 ribu barel per hari. Produksi kilang 750 ribu barel per hari. Kalau crude domestik kita serap masih kurang kan 150 ribu barel per hari. Itu impor kita. Produksi hulu kan kita serap semua, tapi tetap saja kita masih perlu impor," katanya.
"Kebutuhan kan 1,3-1,4 juta barel BBM, kita juga butuh impor BBM. Kalau kita nggak bangun ya tiap hari impor saja. Kita juga perlu impor pertamax dan premium," tuturnya.
Nicke ingin menghapus keragu-raguan membangun kilang. "Setelah kita buat trend EV perkiraan sebelumnya akan terjadi peak annual growth rate 4-5% sebelum Covid-19, sampai 2035. Hari ini 2020. Masih ada 15 tahun, kalau kita masih ragu-ragu ini untung apa enggak, ya kita impor terus," bebernya.
Bahkan, menurutnya Indonesia bisa terancam impor 100% bahan bakar jika nanti benar-benar standar euro 5 diterapkan secara ketat. Dikatakan bahwa sebenarnya euro 5 sudah diwajibkan sejak 2017.
"Secara regulasi sejak 2017 sebenarnya tuh kita wajib euro 5 kalau ikut regulasi KLHK. Jadi, ini masalahnya bukan untung nggak untung. Ini nggak bisa ditawar," tegasnya.
Kini, Pertamina tengah melakukan upgrade 4 kilang besar, yakni di Balikpapan, Balongan, Cilacap dan Dumai. Sedangkan untuk Plaju, Pertamina juga fokus upgrade agar bisa meningkatkan bio refinery, dari hasil olahan CPO.
"Cilacap Juni tahun depan bisa B100. 3.000 barel per hari. B100 itu dari unit yang kita upgrade. Juni tahun depan B100 dari CPO, langsung," katanya.
Berikut adalah target penyelesaian kilang Pertamina:
![]() |
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Tak Punya Kilang Baru, Faisal: Jangan Salahkan Pertamina