Resesi Ekonomi RI di Depan Mata, Begini Fakta Sesungguhnya

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
27 June 2020 09:44
Aktifitas Peti Kemas di Daerah Priok. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Aktifitas Peti Kemas di Daerah Priok. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona atau covid-19 membuat perekonomian dunia luluh lantak. Kontraksi ekonomi terjadi dimana-mana di belahan dunia, bahkan menurut Bank Dunia terparah sejak Perang Dunia II.

Resesi ekonomi dunia semakit tak terhindari di sejumlah negara, termasuk di Indonesia. Bank Dunia mencatat, aktivitas ekonomi di antara negara-negara maju menyusut drastis hingga 7% di tahun 2020 dan IMF meramalkan ekonomi global di 2020 akan -4,9%.

Pasar ekonomi berkembang juga menyusut hingga 2,5%. Ini merupakan pertama kalinya ekonomi negara berkembang terkontraksi sejak 60 tahun lalu.

Bank dunia juga meramal pendapatan per kapita akan menurun 3,6% yang membawa kepada jutaan orang jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem. Pukulan itu menghantam paling keras di negara-negara di mana pandemi menjadi yang paling parah dan di mana ada ketergantungan besar pada perdagangan global, pariwisata, ekspor komoditas, dan pembiayaan eksternal. Indonesia termasuk di dalamnya.

"Ini adalah pandangan yang sangat mendalam, dengan krisis yang cenderung meninggalkan bekas luka jangka panjang dan menimbulkan tantangan global yang besar," kata Wakil Presiden Bank Dunia Ceyla Pazarbasioglu dalam risetnya.

Sementara itu, Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di angka -0,3% di tahun 2020. Namun pada tahun berikutnya produk domestik bruto (PDB) RI diperkirakan akan kembali mencatatkan pertumbuhan lebih dari 6%.

IMF meramalkan ekonomi global di 2020 akan -4,9%. Angka ini lebih rendah 1,9 poin persentase dibanding outlook IMF pada April 2020, yakni -3%.



"Pandemi Covid-19 memiliki dampak yang negatif pada paruh pertama 2020 daripada yang diperkirakan," tulis lembaga itu.


Pemulihan ekonomi diproyeksi akan lebih lambat dan bertahan dari yang diprediksi sebelumnya. Di 2021 ekonomi global diramal 5,4%, atau lebih rendah 6,5 poin persentase dibanding outlook Januari 2020.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan jika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah direlaksasi namun publik tidak spending alias berbelanja maka Indonesia bisa jatuh ke jurang resesi.

Dalam proyeksi Kemenkeu, dengan adanya biaya penanganan Covid-19 yang mulai tersalurkan dan PSBB yang direlaksasi namun dengan dukungan belanja maka kuartal III dan IV PDB bisa tumbuh 1,4%.

"Tapi kalau dalam [dengan asumsi tidak berbelanja] bisa -1,6%. Itu technically bisa resesi. Kalau kuartal III negatif dan secara teknis Indonesia bisa masuk ke zona resesi," papar Sri Mulyani dalam perbincangannya dengan Komisi XI DPR, Senin (22/6/2020).

Skenario tersebut masuk ke dalam proyeksi Kemenkeu. Di mana pada kuartal III dan IV PDB akan tumbuh 1,4% sampai negatif 1,6%. "Sementara outlook seluruh tahun -0,14 sampai positif 1 persen," tegas Sri Mulyani.

Sri Mulyani menegaskan bahwa 2020 adalah tahun yang luar biasa. Bukan dalam konteks yang positif, tetapi tantangannya yang sangat besar.

Akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019.Covid-19), lanjut Sri Mulyani, Bank Dunia memperkirakan ekonomi global terkontraksi atau tumbuh negatif -5,2%. "IMF (Dana Moneter Internasional) kita akan lihat beberapa bulan ke depan, biasanya outlook Juli. Pasti ada revisi," katanya.

Indonesia, tambah Sri Mulyani, tidak terkecuali. Pada kuartal II-2020, eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengungkapkan kontraksi ekonomi nasional akan sebesar -3,1%.

"Pada kuartal II akan ada kontraksi karena PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dilakukan dan memberi kontribusi ke pertumbuhan ekonomi yang besar. Ini akan mempengaruhi kuartal II yang kita perkirakan -3,1%," katanya.

Jika dalam dua kuartal berturut-turut ekonomi Indonesia negatif maka sudah pasti masuk zona resesi.

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan memproyeksikan terjadinya penambahan jumlah angka kemiskinan di Indonesia, akibat pandemi covid-19.

Direktur Dana Transfer Khusus DJPK, Putut Hari Satyaka mengatakan, penambahan angka kemiskinan paling besar, akan terjadi di Pulau Jawa, mengingat pulau Jawa merupakan daerah epicentrum penyebaran covid-19.

Angka kemiskinan yang bertambah itu, kata Putut merupakan efek dari terganggunya aktivitas ekonomi nasional dan adanya penerapan pembatasan sosial skala besar (PSBB), yang akhirnya membuat ekonomi di beberapa daerah lesu.

Dengan begitu, potensi dampak sosial penurunan pertumbuhan ekonomi berdampak terhadap penambahan angka kemiskinan. Kata Putut untuk skenario berat akan bertambah sekitar 1,16 juta orang, sangat berat 3,78 juta orang.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, dengan kondisi ini saat ini, maka pengangguran ini tahun depan bisa tembus hingga 12,7 juta orang.

"Karena 2020 pengangguran (diproyeksi) bertambah sekitar 4 juta orang hingga 5,5 juta orang dan kalau ini terjadi maka 2021 pengangguran akan sampai 10,7 juta orang-12,7 juta orang," ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (22/6/2020).

Menurut Suharso, jumlah pengangguran ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan data terakhir. Per Februari 2020, jumlah pengangguran telah mencapai 6,88 juta orang.

Dengan demikian, maka saat ini pemerintah akan melakukan berbagai kebijakan untuk bisa mengurangi hal tersebut. Salah satunya dengan memberikan bantuan agar semua sektor industri bisa kembali berjalan dan juga dengan melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Kadin Indonesia mencatat ada 6 juta lebih pekerja yang terkena dampak pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan akibat covid-19. Jumlah yang dirumahkan memang lebih besar hingga 90%.


Namun, mulai dibukanya ekonomi dengan transisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memang berdampak dengan aktivitas ekonomi mulai menggeliat. Namun, aktivitas ekonomi belum sepenuhnya normal sediakala. Sebagian besar pekerja bahkan harus masih dirumahkan alias menganggur di rumah.

Wakil Ketua Kadin Indonesia Shinta Widjaja Kamdani mengatakan selama pandemi menurut laporan-laporan asosiasi bahwa jumlah pekerja yang dirumahkan dan PHK mencapai 6 juta orang. Meski berdasarkan data Kemenaker per 27 Mei 2020, sektor formal yang dirumahkan mencapai 1.058.284 pekerja dan yang di-PHK sebanyak 380.221 orang pekerja.

"Data asosiasi sudah lebih 6 juta dirumahkan dan PHK, yang sekarang banyak yang masih dirumahkan," kata Shinta kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (23/6).

Ia mengakui semenjak ada pembukaan ekonomi kembali pada medio Juni 2020 memang ada denyut ekonomi yang mulai bergerak, tapi masih butuh waktu lagi untuk bisa ke kondisi normal.

"Setelah pelonggaran PSBB, perbaikan jelas ada, sebelumnya aktivitas ekonomi berhenti, sekarang perlahan dibuka, cuma tak bisa langsung, perlahan dan bertahap," katanya.

Ia mengatakan dari sisi permintaan saat ekonomi mulai dibuka tak langsung lompat karena butuh proses apalagi sektor-sektor yang bukan primer. Sedangkan sektor-sektor ritel seperti mal yang sudah buka pun tak langsung bergeliat pesat.

"Kegiatan mal itu tak bisa langsung. Ada cashflow yang sudah parah, perlu ada bantuan," katanya.

Sejumlah kalangan menilai krisis ekonomi akibat pandemi covid-19 saat ini tingkat kerawanannya jauh lebih rendah, jika dibandingkan dengan krisis 1998.

Ekonom Senior Raden Pardede menjelaskan, Indonesia memang pernah mengalami resesi ekonomi pada 1998. Bahkan kala itu bisa dibilang adalah sebuah depresi. Karena pertumbuhan ekonomi terkontraksi hampir 1,5 tahun lamanya.

"Saat itu bukan hanya dua kuartal [Pertumbuhan ekonomi terkontraksi], tapi hampir 1,5 tahun growth kita mengalami kontrakasi. Kita alami kontraksi hingga minus 13% dan itu paling dalam," jelas Raden dalam acara Squawbox CNBC Indonesia TV, Jumat (25/6/2020).

Menurut Raden, apabila Indonesia mengalami krisis di tahun ini, kemungkinan kondisinya tidak akan separah dengan krisis 1998. Hal ini juga senada dengan ramalan Bank Dunia atau World Baank, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)

Di mana Bank Dunia memproyeksikan perekonomian Indonesia sepanjang tahun 2020 tidak tumbuh atau 0%. Sementara IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2020 akan kontraksi atau -0,5%. Sementara meramal pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2020 akan -2,8%.

"Kita akan menghadapi ini no doubt dan tidak akan separah seperti 1998. Tapi jauh lebih buruk dari krisis 2008. Tapi mudah-mudahan pemerintah mampu mengatasi ini," kata Raden.

Sementara apabila dibandingkan dengan krisis 2008, krisis ekonomi pada 2020 memang terbilang lebih parah. Pasalnya pada krisis 2008, harga komoditas saat itu masih menguntungkan, dan pada akhirnya membuat ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 4,6%.

"Krisis karena pandemi ini belum pernah kita alami sebelumnya dan dalam merespon krisis karena virus. Cara mengatasinya harus melakukan penyesuaian dan bisa meresponnya dengan dinamis," kata Raden.

Senada, Vice President Economist Bank Permata, Josua Pardede menilai, dari proyeksinya pertumbuhan ekonomi pada 2020 ini bisa -1% sampai 0,5%. Namun krisis ekonomi pada tahun ini tidak akan separah dengan krisis 1998.

Josua menjelaskan, saat 1998, krisis ekonomi tidak dimitigasi oleh pemerintah. Ditambah kala itu ada ketidakstabilan politik pemerintah.

"Saat itu kita mengalami social unrest kaena harga-harga melambung naik, penjarahan di mana-mana. Kita harapkan di tahun ini, sekalipun pertumbuhan negatif, potensinya tidak terjadi social unrest," jelas Josua kepada CNBC Indonesia, Kamis (25/6/2020).

Secara teknikal, kata Josua Indonesia memang mengalami krisis, tapi dampaknya kepada ekonomi dan sosial sudah diantisipasi oleh pemerintah dengan mengeluarkan stimulus dan jaring pengaman sosial.

Menurut Josua pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2020 sebenarnya bisa tumbuh positif asalkan penyerapan dana penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi bisa cepat dilakukan.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular