
Perang Dagang ala Arab Saudi Sudah Dimulai, Ini Bahayanya

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19) dan perang dagang AS-China belum juga usai, tapi 'perang dagang' sudah ditabuh oleh banyak pihak. Kini giliran Arab Saudi yang menabuh genderang 'perang dagang' dengan para mitra dagangnya termasuk Indonesia.
Kerajaan Arab Saudi melalui keputusan kabinet nomor 559 pada 28 April 2020 untuk mengamandemen Harmonized Tariff Schedule (HTS) dan meningkatkan bea masuk impor untuk banyak produk. Kebijakan ini dilakukan di tengah tekanan harga minyak dan pandemi covid-19 yang menekan ekonomi banyak negara.
Mengutip PricewaterhouseCooper (PwC), berbagai produk yang akan dikenakan kenaikan bea impor antara lain makanan, bahan mineral, bahan kimia, produk plastik, karet, kulit, tekstil, alas kaki, logam, keramik, mesin, mainan, furnitur, kendaraan bermotor hingga produk manufaktur lainnya.
Jelas kebijakan ini akan berdampak juga bagi Indonesia yang merupakan salah satu mitra dagang Arab Saudi. Kenaikan bea masuk impor Arab Saudi akan menekan kinerja ekspor RI terutama untuk berbagai produk non-migas.
Jika mengacu pada data International Trade Center (ITC) Indonesia mengekspor berbagai produk mulai dari komoditas hingga produk manufaktur ke Arab Saudi. Nilai total ekspor RI ke Arab Saudi mencapai US$ 1,2 miliar pada 2018.
Sebanyak 10 barang ekspor RI ke Arab Saudi termasuk ke dalam barang yang terkena bea masuk. Padahal kesepuluh barang ini mencapai 79,6% dari total ekspor Tanah Air ke Kerajaan Arab.
Ekspor terbesar RI ke Arab Saudi adalah kendaraan bermotor beserta komponennya yang mencapai US$ 381,7 juta pada 2018. RI juga mengekspor produk lain seperti bahan makanan, kertas, kayu hingga produk tekstil dan turunannya ke Arab.
Total ekspor RI ke Kerajaan Arab porsinya termasuk kecil jika dibandingkan dengan total ekspor. Pada 2018, ekspor ke Arab Saudi hanya menyumbang 0,6% dari total ekspor Indonesia.
Namun yang perlu dicermati adalah bukan masalah besar kecilnya nilai ekspor, melainkan pada tren peningkatan bea masuk yang sering digunakan berbagai negara untuk berbagai tujuan seperti melindungi industri domestik hingga sebagai akibat dari naiknya tensi geopolitik.
Bagaimanapun juga bea masuk termasuk salah satu instrumen yang menghambat jalannya perdagangan (trade barrier). Jika semakin banyak negara mengambil langkah ini dan trade protectionism menjadi semakin meluas di tengah merebaknya pandemi Covid-19, maka perekonomian global dalam bahaya.
Pandemi Covid-19 telah menyebabkan lebih dari 3 miliar orang terkurung di dalam rumah. Kebijakan lockdown untuk menghentikan penyebaran wabah yang ditempuh oleh banyak negara membuat aktivitas ekonomi mandeg dan mati suri.
Karantina wilayah telah menimbulkan permasalahan besar yakni disrupsi rantai pasok global. Volume perdagangan global pun mengalami kontraksi. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mencatat volume perdagangan turun 3% (yoy) pada kuartal pertama.
WTO memperkirakan volume perdagangan global akan terkontraksi sebesar 18,5% pada kuartal kedua. Sementara untuk sepanjang tahun ini, volume perdagangan diperkirakan anjlok 13% untuk skenario pesimis atau 32% untuk skenario pesimistis.
Perekonomian dunia sejak era globalisasi berbasis mobilitas. Secara bersama mobilitas barang, orang dan modal turut menyokong perekonomian global. Namun mandeknya aktivitas ekonomi akibat lockdown seolah menjadi mimpi buruk yang jadi kenyataan bagi output global.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dunia mengalami kontraksi sebesar 3%.
Nilai ekspor RI ke Arab memang terbilang kecil porsinya. Namun tetap saja kebijakan Arab Saudi tersebut semakin memperburuk kinerja ekspor Tanah Air yang sudah mengalami kontraksi akibat pandemi.
Semakin melonjaknya kasus Covid-19 di berbagai belahan dunia telah menyebabkan ekspor RI turun -0,38% (yoy) pada Maret. Kontraksi yang terjadi semakin dalam. Pada April dan Mei, ekspor Indonesia mengalami penyusutan masing-masing sebesar -7,02% (yoy) dan -28,95% (yoy).
Meski porsi ekspor terhadap PDB RI mencapai lebih dari 17% pada kuartal I-2020, tetapi ekonomi Indonesia lebih disokong oleh konsumsi domestik dan tidak terlalu terpapar terhadap resesi global jika dibandingkan dengan negara Asia non Jepang lainnya (AxJ).
Melihat hal tersebut membuat bank investasi global Morgan Stanley optimis Indonesia mampu untuk pulih lebih cepat setelah China. Namun Morgan Stanley menggarisbawahi bahwa proyeksinya tersebut dibangun atas asumsi wabah sudah mencapai puncaknya di RI pada kuartal kedua 2020.
Namun jika wabah tak kunjung usai, tensi geopolitik meningkat dan trade protectionism menjadi semakin populer dan digalakkan, kinerja perekonomian RI bisa lebih sengsara dari sekarang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Siap-Siap! 'Perang Dagang' ala Arab Saudi Baru Dimulai