
Selain Krisis Covid-19, Krisis Pangan di Depan Mata

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi corona (Covid-19) tak hanya menyebabkan krisis kesehatan secara global, tetapi juga menjadi ancaman yang dapat menimbulkan krisis pangan. Risiko terjadinya krisis pangan juga mengintai Indonesia.
Secara global jumlah penderita Covid-19 sudah tembus angka lebih dari 8,3 juta orang. Tak kurang dari 448 ribu orang terenggut jiwanya. Sementara itu di Indonesia wabah ini sudah menyebabkan lebih dari 40 ribu orang terinfeksi dan 2 ribu di antaranya meninggal dunia.
Berbagai upaya ditempuh untuk menekan persebaran wabah agar tidak semakin meluas. Ada yang penanganan ketat dengan karantina wilayah (lockdown) ada yang lebih longgar dengan social distancing yang masif.
Namun semua upaya tersebut memiliki kesamaan dalam hal pembatasan mobilitas publik. Di Indonesia pembatasan mobilitas publik ini dikenal dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diawali di DKI Jakarta pada 10 April dan kemudian diikuti wilayah lain setelah itu.
Wabah yang pertama kali merebak di China ini telah menyebabkan disrupsi rantai pasok dan melemahnya permintaan. Dampak lain yang juga ditimbulkan adalah 'trade protectionism'.
Awalnya krisis kesehatan ini berdampak pada industri pariwisata, transportasi dan perhotelan. Namun seiring dengan eskalasi jumlah kasus dan geografis, dampak semakin dirasakan di sektor lain, tak terkecuali sektor pangan.
Krisis pangan benar-benar menjadi ancaman serius bagi banyak negara terutama Indonesia. Ada beberapa faktor yang bisa memicu terjadinya krisis pangan di Tanah Air seperti penurunan tenaga kerja di sektor pertanian, penurunan output hingga disrupsi transportasi dan logistik.
Dengan adanya pembatasan sosial yang masif yang terjadi di seluruh negeri, banyak orang harus 'terkurung' di dalam rumah dan mengerjakan seluruh aktivitasnya secara remote.
Namun sayangnya tidak semua pekerjaan dapat dilakukan dari rumah. Sektor pertanian menjadi salah satu contohnya. Memang awalnya di pedesaan jumlah kasus infeksi Covid-19 tidak sebanyak di daerah urban.
Namun dengan banyaknya karyawan yang dirumahkan dan terkena PHK di kota-kota besar seperti DKI Jakarta membuat mereka kehilangan mata pekerjaan dan memilih untuk pulang kampung.
Kondisi ini jelas sangat berisiko terutama dalam hal menyebabkan laju penyebaran wabah Covid-19 yang berpotensi meningkat di kampung halaman masing-masing. Pada akhirnya wabah menjadi semakin meluas dan pembatasan pun semakin digalakkan.
Menurut Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) akibat pandemi Covid-19 jumlah tenaga kerja di sektor pertanian RI diperkirakan akan mengalami kontraksi 4,87% tahun ini.
Bayangkan saja jika jumlah pekerja yang sangat tergantung pada periode musiman ini harus terkontraksi. Padahal jumlah tenaga kerja di sektor pertanian dalam negeri menyumbang angka yang paling besar dibandingkan dengan sektor lainnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pekerja di sektor pertanian RI pada Februari 2020 proporsinya nyaris mencapai 30% sendiri.
Ketika jumlah tenaga kerjanya mengalami penurunan maka dampaknya juga akan dirasakan dari sisi output. CIPS memperkirakan suplai agrikultur domestik akan terkontraksi sebesar 6,2% tahun ini.
Turunnya angka tenaga kerja di sektor pertanian membuat pendapatan masyarakat Indonesia ikut terganggu. Daya beli masyarakat Tanah Air pun tergerus.