Aramco Tolak Kilang RI Tapi Pilih Korea & Malaysia, Kok Bisa?

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
15 June 2020 14:41
Kondisi fasilitas minyak Aramco usai serangan drone (REUTERS/Hamad l Mohammed)

Jakarta, CNBC Indonesia - Membangun kilang di RI tidak mudah, banyak kendala yang ditemui, mulai dari partner yang putus hingga isu mafia migas. Inikah yang membuat Indonesia kesusahan mencari investor kilang?

Menanggapi hal ini, Praktisi migas dari Bimasena Energy Team yang juga Eks Bos Pertamina Ari Soemarno mengatakan rekonsiliasi adalah jalan satu-satunya mencari akar permasalahan pembangunan kilang.

Ia mengatakan bisnis kilang tidak mudah selama keekonomian jelek. Dibutuhkan investasi besar untuk membangun kilang antara US$ 6-10 miliar, sehingga perlu pembiayaan jangka panjang. Permasalahan yang dihadapi dalam membangun kilang bukanlah hal baru, sehingga semua pihak perlu duduk bersama untuk mencari permasalahanya.

Ia menekankan jangan menganggap ini semua menjadi urusan Pertamina, namun antara pengambil keputusan, ESDM, BUMN, dan kementerian terkait lainnya harus duduk bersama.

"Itu mbok direkonsiliasi, dilihat gimana nih harus punya helikopter view ya melihat semua. Kondisi lingkungan usaha seperti apa, pasar seperti apa, investasi gimana," jelasnya.

Seperti diketahui PT Pertamina (Persero) sudah memutuskan akan mengembangkan Kilang Cilacap tanpa Saudi Aramco. Terkait hal ini, Ari sangat menyayangkan, pasalnya Aramco adalah partner yang sangat strategis dan berpengalaman.

Ia mencontohkan beberapa negara lain bisa sukses melakukan lobi-lobi dengan Aramco hingga akhirnya deal untuk invetasi.

Misalnya saja Malaysia, China, dan Korea. "Bagi saya investor selalu nyari yang bisa jamin investasinya. Dia punya standar investasi, misal saya investasi harus ada pengembalian rate of return sekian. Pertamina punya stanadar yang sama kalau saya investasi saya harus punya pengembalian investasi berapa," tegasnya.

Ari mempertanyakan kenapa valuasi nilai ini bisa tidak ketemu. Hal ini yang perlu dievaluasi apa yang menyebabkan. Jika melihat Aramco yang mau investasi di negara lain, mestinya di Indonesia mau juga.


"Nggak bisa dong, kalau valuasi saya yang  paling bener you harus nyampe ini ya nggak bakal ketemu. Bagaimana cara mempertemukan, apa yang menghambat selama ini. Semua harus terbuka, termasuk Pertamina," paparnya.

Ia kembali menegaskan agar pemerintah beserta Pertamina duduk bersama dan membuat buku putih terkait proyek. Apa saja kendala dan jalan keluar terkait dengan permasalahan inveastasi kilang yang sudah menjadi masalah bertahun-tahun. Identifiksi satu per satu permasalahan dan jalan keluarnya.


"Kalau enggak semua akan bilang mafia, saya bingung ya kan dari segi keekonomian murni ngapain kita bikin kilang ngapain invetasi gede-gede lebih untung beli. Tapi kemudian kita bilang kita perlu nih bikin sendiri karena kita pengen sekuritas enegri kita," tuturnya.


"Saya yakin ini salah satu kondisi Aramco di sini, minta margin dijamin. Saya kasih diskon minyak saya karena you ngolah minyak saya, kasih diskon US$ 3-4, itu saja sudah ada tambahan margin, ini dari segi produsen," katanya.

Hal yang sama juga Aramco lakukan di China, mereka meminta ada jaminan investasi kembali. Ia mengambil contoh harga BBM di Indonesia yang tidak turun saat ini, namun masyarakat masih bisa beli dan keuntungan dinikmati Pertamina.

"Kenapa kita nggak begitu saja untuk bangun kilang, buat kasih proteksi produk kilang baru yang akan diberikan di sini. Malah orang cenderung ke publik transportation, kita maunya apa, makanya dalam buku putih itu semua harus masuk," jelasnya.

Jika tidak dipetakan dengan baik, lagi-lagi ia mengatakan akan ada pihak-pihak yang menyebut keberadaan mafia biang kerok ini semua. Terlepas dari pandemi Covid-19 nyatanya invetasi Aramco di Malaysia, China, dan Korea jalan.

"Saya selalu bilang kita usahain supaya jadi karena kalau sudah putus dengan Saudi Aramco saya yakin partner lain gimana ya, sama Aramco aja bisa putus ya kan," tegasnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, Aramco adalah perusahaan minyak terbesar, crudenya bisa dijamin sampai 100 tahun pun. Ari kembali menyesalkan karena invetasi di Malaysia US$ 7,5 miliar, sementara di Indonesia tidak sampai US$ 6 miliar, ditambah Pertamina memberikan jaminan pasar. "Kok nggak mau, bingung saya."

Bahkan presiden sudah turun tangan memberikan semua dorongan sampai bertemu dengan Raja Salman. Upaya kerjasama sama dengan Aramco sudah berjalan selama empat tahun dan akhirnya batal. Ia menyarankan jika mencari partner harus yang punya reputasi bagus. "Yang reputasi bagus saja nggak bisa."

Senior Analyst pada Bowergroup Asia yang membawahi sektor migas, LNG, petrokimia, dan tambang Ahmad Syarif Syechabubakar mengatakan kondisi yang terjadi saat ini adalah bisnis kilang dan petrochemical marginnya tipis, sehingga perhitungan risiko harus hati-hati. Anjloknya harga minyak membuat investasi di kilang menjadi kurang tepat saat-saat ini.

"Aramco punya masalah internal, harga minyak yang jatuh kan juga memukul mereka, dan kedua mereka naik turun rencana IPO. Ada ketegangan geopolitik juga, ketegangan dengan Iran dan lain-lain," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Rabu, (10/06/2020).

Aramco melihat Indonesia sangat ideal untuk membangun kilang, namun saat ini waktunya kurang tepat di tengah harga minyak yang masih terhitung rendah.

Kekhawatiran dari perusahaan minyak adalah bergantinya masyarakat ke kendaraan listrik. Semantara ekonomi Timur Tengah ditopang oleh minyak.

Mereka berharap dengan membangun kilang akan menyerap minyaknya. Hal ini juga yang dilakukan oleh Chevron dan Exxon di Singapura. "Mereka bangun kilang juga pastikan supply upstream mereka bisa dikonsumsi pada kilang yang mereka miliki," jelasnya.

Aramco melihat Indonesia di era Jokowi, pembangunan jalan makin masif, artinya akan banyak minyak yang dikonsumsi. Di luar narasi adanya mafia migas, ia menyebut waktu saat ini adalah kurang tepat bagi Aramco.

"Ngomongin mafia migas dari dulu-dulu ada asumsi. Kalau terus terjebak di situ lupa pada faktor yang paling penting yakni nilai ekonomi," ungkapnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, berdasarkan hasil pembicaraanya dengan kolega investor di Singapura, yang dilihat saat ini bukan masalah mafia, namun masalah keekonomian. Selain nilai keekonomian yang mereka lihat juga stabilitas korporasi. Mereka ingin melihat Pertamina yang independent.
Hal yang sama menurutnya mereka lihat dari Petronas. Meski Dirutnya baru diganti namun setidaknya adalah perusahaan yang kurang didikte oleh politik.

"Orang Pertamina itu pinter-pinter, cuma masalahnya terkadang mereka harus melayani kepentingan politik. Tapi akses mereka untuk manuver itu gak kuat. Mereka harus hati-hati," paparnya.

Ia menegaskan terlalu seringnya pergantian direksi di tubuh Pertamina membuat investor ragu. Dalam beberapa tahun terakhir bisa jadi Pertamina adalah BUMN yang paling sering direksinya diganti. Kondisi ini membuat investor khawatir, karena harus berurusan dengan orang yang berbeda-beda.

"Ini berat karena bicara gak 2-3 tahun, return puluhan tahun, bisa projek 20-30 tahun. Stabilitas penting sekali terutama berpatner dengan BUMN. Aset BUMN kita sangat menarik, Pertamina sangat menarik, tapi selain menarik orang perlu kepastian," ungkapnya.

Menurutnya Presiden Jokowi meminta agar Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk berantas mafia migas di Pertamina. Berarti masalahnya saat ini bukan lagi di mafia, tapi pada ekonomi dan stabilitas. "Saya nggak bilang mafia itu gak ada ya, mungkin ada.

"Meski demikian, bukan berarti tidak mungkin untuk membangun kilang. Pembangunan kilang menurutnya tepat jika diintegrasikan dengan petrochemical. Pembangunan kilang paling tepat adalah dilakukan di Jawa karena terkait dengan lokasi dan konsumsi daripada petrochemical.


"Kilang yang paling ideal ya yang ada di Jawa karena ada industri yang bakal serap produk petrocemical," jelasnya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular