
Harga Minyak Naik, Kontraktor Pusing Review Bisnis Migas RI
Anisatul Umah, CNBC Indonesia
09 June 2020 11:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Beberapa hari iniĀ harga minyak terus merangkak naik ke posisi US$ 40 per barel.
Deputi Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Julius Wiratno mengatakan operator atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) mulai melihat lagi sebagai peluang untuk menghitung ulang keekonomian suatu proyek.
SKK Migas juga saat ini tengah melakukan review kembali. Apabila keekonomian bagus, insentif dan stimulus sudah tidak diperlukan lagi. "Namun ya itu semua harus dikalkulasi dengan pertimbangan asumsi-asumsi tertentu dan juga perhitungan bagaimana jangka menengah atau panjangnya. Diskusi terus berjalan," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Selasa, (09/06/2020).
Praktisi Migas sekaligus Mantan Direktur Utama PT Pertamina EP Nanang Abdul Manaf mengatakan meski harga minyak merangkak naik namun harus tetap bersabar menuggu harga minyak stabil. "Walaupun tentunya sangat gembira ada signal kenaikan harga yang cukup signifikan," paparnya.
Di sisi lain, kenaikan harga minyak juga dikhawatirkan akan memicu peningkatan produksi, terutama dari lapangan-lapangan shale gas di Amerika. Sehingga otomatis memicu harga melorot lagi karena supply meningkat.
"Industri pasti lebih menyukai harga relatif baik, kisaran US$ 45-55 tapi secara jangka panjang lebih stabil. Ketika mengevaluasi keekonomian program atau project akan lebih confident," jelasnya.
Pengamat Migas dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengungkapkan kenaikan harga minyak ini perlu disikapi dengan wait and see sambil menunggu stabil. Jangan terlalu reaktif dengan fluktuasi harga yang ada karena pergerakan harga harian di market tidak selalu beriringan dengan fundamentalnya.
"Toh juga (wacana) paket stimulus yang sebelumnya diusulkan juga belum (tentu) bisa direalisasikan semuanya," ucapnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, pemberian stimulus harusnya lebih selektif, tergantung objektif dan peruntukannya untuk apa. Menurutnya perlu dilihat case by case, tidak digeneralisir. Karena sepanjang harga sudah di atas US$ 30 per barel, kalau hanya untuk operasi normal saja sebenarnya sebagian besar sudah ekonomis.
"Tetapi kalau untuk eksplorasi atau project EOR misalnya, atau di lapangan-lapangan yang jauh dengan akses pasar, tentu diperlukan," ungkapnya.
(gus) Next Article Harga Minyak Terjun Bebas, Ini Siasat Efisiensi SKK Migas
Deputi Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Julius Wiratno mengatakan operator atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) mulai melihat lagi sebagai peluang untuk menghitung ulang keekonomian suatu proyek.
SKK Migas juga saat ini tengah melakukan review kembali. Apabila keekonomian bagus, insentif dan stimulus sudah tidak diperlukan lagi. "Namun ya itu semua harus dikalkulasi dengan pertimbangan asumsi-asumsi tertentu dan juga perhitungan bagaimana jangka menengah atau panjangnya. Diskusi terus berjalan," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Selasa, (09/06/2020).
Di sisi lain, kenaikan harga minyak juga dikhawatirkan akan memicu peningkatan produksi, terutama dari lapangan-lapangan shale gas di Amerika. Sehingga otomatis memicu harga melorot lagi karena supply meningkat.
"Industri pasti lebih menyukai harga relatif baik, kisaran US$ 45-55 tapi secara jangka panjang lebih stabil. Ketika mengevaluasi keekonomian program atau project akan lebih confident," jelasnya.
Pengamat Migas dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengungkapkan kenaikan harga minyak ini perlu disikapi dengan wait and see sambil menunggu stabil. Jangan terlalu reaktif dengan fluktuasi harga yang ada karena pergerakan harga harian di market tidak selalu beriringan dengan fundamentalnya.
"Toh juga (wacana) paket stimulus yang sebelumnya diusulkan juga belum (tentu) bisa direalisasikan semuanya," ucapnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, pemberian stimulus harusnya lebih selektif, tergantung objektif dan peruntukannya untuk apa. Menurutnya perlu dilihat case by case, tidak digeneralisir. Karena sepanjang harga sudah di atas US$ 30 per barel, kalau hanya untuk operasi normal saja sebenarnya sebagian besar sudah ekonomis.
"Tetapi kalau untuk eksplorasi atau project EOR misalnya, atau di lapangan-lapangan yang jauh dengan akses pasar, tentu diperlukan," ungkapnya.
(gus) Next Article Harga Minyak Terjun Bebas, Ini Siasat Efisiensi SKK Migas
Most Popular