Kalau Status Istimewa Hong Kong Dicabut, Apa Sih Dampaknya?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
28 May 2020 16:52
Demo Hong Kong, Rabu (27/5/2020).
Foto: Demo Hong Kong, Rabu (27/5/2020). (AP/Kin Cheung)
Jakarta, CNBC Indonesia - Konflik antara dua raksasa ekonomi dunia, yakni Amerika Serikat (AS) dengan China terus tereskalasi. Informasi teranyar, AS mencabut status istimewa Hong Kong yang berarti konflik Washington-Beijing menjadi semakin rumit.

China merupakan mitra dagang strategis terbesar ketiga bagi AS setelah Kanada dan Meksiko. Nilai perdagangan keduanya pada kuartal I-2020 mencapai US$ 98 miliar, yang terdiri dari US$ 22 miliar ekspor dan US$ 75,9 miliar impor bagi AS. Nilai perdagangan dengan China itu menyumbang 10% dari total nilai perdagangan AS sepanjang kuartal pertama tahun ini.





Namun, sejak tahun 2018, hubungan keduanya menjadi renggang dan bahkan retak. AS dan China terlibat dalam konflik berbalas bea masuk atau yang lebih dikenal dengan perang dagang sejak Maret dua tahun silam. Kisruh yang terjadi berlangsung selama dua tahun tanpa resolusi. 

Harapan mulai muncul ketika kedua belah pihak memutuskan untuk berunding secara diplomatis dan berbuah pada kesepakatan dagang fase I pertengahan Januari lalu. Walau poinnya tetap tidak esensial, tetapi Washington dan Beijing akan terus berunding untuk mencapai kesepakatan. 

Namun, kelanjutan dari kemesraan itu harus pupus ketika wabah yang diakibatkan oleh virus corona harus menyebar luas ke seantero bumi. Wabah yang awalnya berasal dari China itu kini sudah menjangkiti lebih dari 200 negara dan teritori. AS tak terkecuali.

Bahkan Negeri Paman Sam menjadi negara yang paling terkena dampaknya. Lebih dari 1,6 juta warga AS dinyatakan positif terinfeksi virus yang masih satu golongan dengan penyebab SARS itu. 

Wabah yang merebak di China dan meluluhlantakkan ekonomi Negeri Paman Sam membuat sang Presiden AS Donald Trump geram bukan main. Trump kembali menuding China dan mempersoalkan asal muasal dari sang virus. Trump juga menuding China telah gagal menangani wabah sehingga bisa menyebar luas seperti sekarang.

Di sinilah awal mula keretakan hubungan keduanya terjadi. Berbagai manuver dilakukan oleh Trump untuk menyudutkan China. Mulai dari rencana menaikkan tarif, menghapus China dari rantai pasok global, putus hubungan, sanksi ekonomi hingga yang terbaru soal Hong Kong.

Pada Rabu (27/5/2020), Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo mengatakan Hong Kong tak lagi otonom. Semua ini diakibatkan oleh rencana China yang akan menerapkan Undang-Undang Keamanan Hong Kong di tengah gelombang demonstrasi yang terjadi di kota tersebut.

"Tidak ada alasan yang dapat menyatakan bahwa hari ini Hong Kong bisa mempertahankan otonomi tingkat tinggi dari China melihat apa yang ada di lapangan," kata Mike Pompeo, mengutip CNBC International.

Di bawah Undang-Undang Kebijakan Amerika Serikat-Hong Kong tahun 1992, AS memperlakukan Hong Kong sebagai wilayah semi-otonom China, berbeda dari China daratan dalam perdagangan, perdagangan, dan bidang lainnya.

Sekarang semua ada di tangan Presiden AS Donald Trump. Bisa saja mantan taipan properti AS itu mencabut "status istimewa" tersebut untuk menghukum China atas tindakan baru-baru ini untuk memperketat cengkeramannya terhadap kota itu di tengah kebangkitan protes pro-demokrasi yang marak terjadi.

Lantas apa konsekuensinya bagi Hong Kong dan China jika status istimewa-nya dicabut? Konsekuensinya sangat beragam. Bisa mempengaruhi sektor perdagangan, bisnis hingga ke sektor finansial.



[Gambas:Video CNBC]



"Keputusan Pompeo membuka pintu bagi berbagai kemungkinan seperti tarif impor dari Hong Kong, pembatasan visa atau pembekuan aset untuk pejabat tinggi. China sebelumnya telah memperingatkan akan membalas jika AS ikut campur dalam urusannya," tulis Rodrigo Catril dari National Australia Bank dalam sebuah catatan pada Kamis pagi, melansir CNBC International.

Dampak ke Sektor Perdagangan AS-Hong Kong

Jika AS tak lagi memandang Hong Kong tak lagi otonom, maka kemungkinan AS juga akan mengenakan bea impor untuk Hong Kong. Aktivitas perdagangan antara kedua belah pihak pun akan terkena dampak yang signifikan.

Menurut Kantor Perwakilan Perdagangan AS (USTR), perdagangan barang dan jasa AS dengan Hong Kong mencapai lebih dari US$ 66 miliar pada 2018. Ekspor AS ke Hong Kong mencapai US$ 50,1 miliar, sedangkan impornya sebesar US$ 16,8 miliar. Barang-barang teratas yang diimpor dari Hong Kong termasuk mesin dan plastik.

Jika mengacu pada data Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Hong Kong, kota itu merupakan pasar terbesar ketiga Amerika untuk ekspor anggur, pasar terbesar keempat untuk daging sapi dan terbesar ketujuh untuk produk pertanian pada 2018.

"Risiko yang lebih besar adalah hilangnya status khusus membuat AS membatasi penjualan teknologi sensitif ke perusahaan-perusahaan Hong Kong," Mark Williams, kepala ekonom Asia di Capital Economics, menulis dalam sebuah catatan yang dikirim pada Kamis pagi, mengutip CNBC International.

"Produk-produk berteknologi tinggi dari AS hanya sekitar 5% dari total impor Hong Kong. Namun membatasi kemampuan perusahaan-perusahaan yang berbasis di Hong Kong untuk mencari produk-produk yang sensitif tersebut akan menghilangkan salah satu keunggulan yang membedakan Hong Kong sebagai lokasi bisnis relatif dari China," tulisnya.

Dampak ke Sektor Bisnis

Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri AS, ada lebih dari 1.300 perusahaan AS yang beroperasi di Hong Kong, serta 85.000 orang AS yang tinggal di kota itu. Persepsi komunitas internasional tentang Hong Kong sebagai tempat yang otonom dan menarik untuk melakukan bisnis juga akan ikut terdampak.

"Survei terbaru yang dilakukan oleh Kamar Dagang Amerika menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan AS sudah berencana untuk mengurangi investasi mereka di kota itu [Hong Kong]," kata Capital Economics.

"Banyak keberhasilan Hong Kong didasarkan pada kemampuannya untuk menarik FDI dan menikmati dividen produktivitas yang berasal dari hosting perusahaan-perusahaan multinasional."

Dalam sebuah pernyataan pada hari Selasa, Kamar Dagang AS mengatakan bahwa otonomi Hong Kong di bawah kerangka “satu negara, dua sistem” telah “lama menjadi salah satu aset terbesarnya” dalam membentuk ekonominya yang transparan dan dan dilindungi oleh hukum.

"Ini akan menjadi kesalahan serius di banyak tingkatan untuk membahayakan status khusus Hong Kong, yang mendasar bagi perannya sebagai tujuan investasi yang menarik dan pusat keuangan internasional," tulisnya, mendesak pemerintah Trump untuk memprioritaskan hubungan positif dengan Hong Kong.

Saat ini, orang AS juga menikmati perjalanan bebas visa ke wilayah China. Namun pembatasan visa bisa muncul jika ketegangan itu memburuk, kata para analis.

Dampak ke China Bagaimana?

Hong Kong tetap menjadi pintu gerbang utama Cina ke seluruh dunia. Namun peranan Hong Kong untuk China semakin kecil seiring dengan berjalannya waktu. Pada tahun 2019, sebanyak 12% ekspor China pergi ke atau melalui Hong Kong. Porsinya turun dari 45% pada tahun 1992.

China juga semakin tak bergantung pada arus masuk modal asing dan berbagai keahlian dari Hong Kong. Meskipun begitu, kota ini masih jadi penting bagi China. Transparansi Hong Kong dan kepatuhan terhadap standar tata kelola internasional menjadikannya sebagai basis penting bagi bank dan perusahaan perdagangan internasional, melansir Bloomberg. Sehingga pencabutan status istimewa Hong Kong juga akan berdampak bagi China.

Implikasi dari pencabutan status tersebut memang beragam. Semua tergantung opsi mana yang mau dipilih oleh AS. Namun yang pasti mengingat hubungan AS, China dan Hong Kong dibangun atas dasar saling membutuhkan maka jelas keputusan pencabutan status istimewa Hong Kong akan jadi kerugian bagi pihak-pihak yang berseteru.


TIM RISET CNBC INDONESIA

(twg/miq) Next Article Horor Rumah Duka Hong Kong Penuh Jenazah Pasien Covid-19

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular