
Lupakan 2020, Mari Berjuang untuk 2021 yang Lebih Baik!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
28 May 2020 06:45

Jakarta, CBC Indonesia - Sepertinya 2020 memang sudah tidak bisa diharapkan. Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) membuat ekonomi global terpukul keras hingga ke teritori kontraksi alias pertumbuhan negatif.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global tahun ini terkontraksi -3%. Namun ternyata pelaku pasar punya perkiraan yang lebih mengerikan.
Jajak pendapat yang dilakukan Reuters terhadap lebih dari 250 ekonom memperkirakan ekonomi dunia terkontraksi -3,2%. Lebih dalam ketimbang survei serupa sebulan sebelumnya yang memunculkan proyeksi -2%.
"Ekonomi dunia seperti sedang berlari di lintasan penuh halangan. Awalnya ada lubang besar, dimulai dari China pada kuartal I. Kemudian seluruh dunia masuk ke lubang itu dan terjebak sampai kuartal II dan kuartal III.
"Kemudian berikutnya ada tantangan berupa upaya membuka kembali aktivitas ekonomi tanpa membuat wabah menyebar lagi. Lalu kemudian ada halangan berupa bagaimana caranya untuk membuat konsumen kembali berbelanja. Sementara di sisi lapangan ada risiko berupa perang dagang yang siap menerkam kapan saja," papar Ethan Harris, Head of Global Economics Research di Bank of America Merrill Lynch, seperti dikutip dari Reuters.
Yup, 2020 memang seseram itu. Penyebaran virus corona yang bermula dari Kota Wuhan. Provinsi Hubei, Republik Rakyat China membuat pemerintah di berbagai negara menerapkan kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Masyarakat diminta (atau bahkan diperintahkan) untuk tetap #dirumahaja demi mempersempit ruang penyebaran virus.
Namun ketika orang-orang bekerja, belajar, dan beribadah di rumah, maka sama saja dengan melumpuhkan ekonomi. Produsen tidak mampu menjual barang dalam jumlah sebanyak biasanya karena permintaan turun drastis. Pendapatan turun, sementara tagihan terus berjalan. Akibatnya terpaksa harus ada efisiensi biaya, salah satunya dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Seperti lingkaran setan, tsunami PHK dan penyusutan lapangan kerja membuat konsumen enggan untuk berbelanja. Lebih baik menabung untuk mempersiapkan diri andai nestapa ini memakan waktu lama. Porsi pendapatan untuk konsumsi (prospensity to consume) berkurang, dan semakin membuat dunia usaha tertekan.
Namun seiring dengan penyebaran virus corona yang mulai melambat, sejumlah negara telah dan akan melonggarkan social distancing. Sedikit demi sedikit keran aktivitas publik mulai dibuka meski tetap harus mematuhi protokol kesehatan.
Ini yang disebut dengan kenormalan baru alias new normal. Namun seiring dengan peningkatan interaksi dan kontak antar-manusia, risiko penyebaran virus kembali meningkat. Akan menjadi sangat tricky bagaimana caranya menyeimbangkan agar tidak terjadi lonjakan kasus corona tetapi masyarakat jangan lagi 'terpenjara; di rumah.
Menambah keruh suasana adalah ancaman perang dagang lanjutan antara Amerika Serikat (AS) dan China. Bukankah kedua negara sudah meneken perjanjian damai dagang tahap I awal tahun ini?
Sekarang ceritanya berbeda. Presiden AS Donald Trump tidak terima mengapa negaranya sampai terkena krisis kesehatan, kemanusiaan, dan ekonomi akibat virus corona. Oleh karena itu, sang presiden Negeri Adidaya ke-45 menyalahkan China yang dianggap tidak becus dalam meredam penyebaran virus.
"Kami punya banyak informasi, dan itu tidak bagus. Apakah (virus corona) datang dari laboratorium atau dari kelelawar, pokoknya berasal dari China. Mereka semestinya bisa menghentikan itu dari sumbernya.
"Saya sangat kecewa terhadap China, mereka seharusnya tidak pernah membiarkan ini terjadi. Kami sudah membuat kesepakatan (dagang) yang luar biasa, tetapi sekarang rasanya sudah berbeda. Tinta belum kering, dan wabah ini datang. Rasanya tidak lagi sama," keluh Trump, dalam wawancara dengan Fox Business Network, seperti dikutip dari Reuters. belum lama ini.
Bahkan Trump kini malas berbicara dengan Presiden China Xi Jinping. Lebih jauh lagi, Trump menegaskan siap untuk memutus hubungan dengan China.
"Saat ini saya tidak mau berbicara dengan beliau. Banyak hal yang bisa kami lakukan. Kami bisa saja memutus seluruh hubungan," tegas Trump.
Pandemi virus corona saja sudah menyusahkan. Ditambah risiko perang dagang (atau malah bisa berkembang menjadi Peranng Dingin II bahkan Perang Dunia III), wajar apabila pelaku psar menilai prospek 2020 lebih suram dari perkiraan sebelumnya.
Oleh karena itu, mayoritas responden dalam survei Reuters meramal proses pemulihan ekonomi dunia akan membentuk pola seperti huruf U (U-Shaped). Ekonomi nyungsep sangat dalam terlebih dulu, bertahan agak lama, baru kemudian bangkit lagi.
Walau 2020 mungkin sudah tidak bisa terselamatkan, tetapi pelaku pasar kini semakin yakin bahwa 2021 akan menjadi tahunnya pemulihan ekonomi. Angka median untuk proyeksi pertumbuhan ekonomi 2021 adalah 5,4%, lebih tinggi dibandingkan survei sebulan lalu yang memunculkan angka 4,5%.
Penyebabnya adalah pelonggaran social distancing yang membawa harapan bahwa ekonomi bisa bangkit lagi. Kalau semua baik-baik saja, tidak ada gelombang serangan kedua (second wave outbreak), maka ekonomi bisa pulih dalam waktu yang tidak terlalu lama.
"Perputaran ekonomi berarti perputaran likuiditas, ini yang paling dibutuhkan. Ada harapan performa ekonomi ke depan akan membaik," kata Peter Cardillo, Chief Market Economist di Spantan Capital Securities, sebagaimana diwartakan Reuters.
Asa pemulihan pada 2021 bisa menjadi pelecut semangat bagi kita semua. Kalau 2020, ya sudah biarkan sajalah. Sekarang yang tidak kalah penting adalah mari menatap masa depan, dan peluang untuk masa depan yang lebih baik itu ada.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global tahun ini terkontraksi -3%. Namun ternyata pelaku pasar punya perkiraan yang lebih mengerikan.
Jajak pendapat yang dilakukan Reuters terhadap lebih dari 250 ekonom memperkirakan ekonomi dunia terkontraksi -3,2%. Lebih dalam ketimbang survei serupa sebulan sebelumnya yang memunculkan proyeksi -2%.
![]() |
"Ekonomi dunia seperti sedang berlari di lintasan penuh halangan. Awalnya ada lubang besar, dimulai dari China pada kuartal I. Kemudian seluruh dunia masuk ke lubang itu dan terjebak sampai kuartal II dan kuartal III.
"Kemudian berikutnya ada tantangan berupa upaya membuka kembali aktivitas ekonomi tanpa membuat wabah menyebar lagi. Lalu kemudian ada halangan berupa bagaimana caranya untuk membuat konsumen kembali berbelanja. Sementara di sisi lapangan ada risiko berupa perang dagang yang siap menerkam kapan saja," papar Ethan Harris, Head of Global Economics Research di Bank of America Merrill Lynch, seperti dikutip dari Reuters.
Yup, 2020 memang seseram itu. Penyebaran virus corona yang bermula dari Kota Wuhan. Provinsi Hubei, Republik Rakyat China membuat pemerintah di berbagai negara menerapkan kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Masyarakat diminta (atau bahkan diperintahkan) untuk tetap #dirumahaja demi mempersempit ruang penyebaran virus.
Namun ketika orang-orang bekerja, belajar, dan beribadah di rumah, maka sama saja dengan melumpuhkan ekonomi. Produsen tidak mampu menjual barang dalam jumlah sebanyak biasanya karena permintaan turun drastis. Pendapatan turun, sementara tagihan terus berjalan. Akibatnya terpaksa harus ada efisiensi biaya, salah satunya dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Seperti lingkaran setan, tsunami PHK dan penyusutan lapangan kerja membuat konsumen enggan untuk berbelanja. Lebih baik menabung untuk mempersiapkan diri andai nestapa ini memakan waktu lama. Porsi pendapatan untuk konsumsi (prospensity to consume) berkurang, dan semakin membuat dunia usaha tertekan.
Namun seiring dengan penyebaran virus corona yang mulai melambat, sejumlah negara telah dan akan melonggarkan social distancing. Sedikit demi sedikit keran aktivitas publik mulai dibuka meski tetap harus mematuhi protokol kesehatan.
Ini yang disebut dengan kenormalan baru alias new normal. Namun seiring dengan peningkatan interaksi dan kontak antar-manusia, risiko penyebaran virus kembali meningkat. Akan menjadi sangat tricky bagaimana caranya menyeimbangkan agar tidak terjadi lonjakan kasus corona tetapi masyarakat jangan lagi 'terpenjara; di rumah.
Menambah keruh suasana adalah ancaman perang dagang lanjutan antara Amerika Serikat (AS) dan China. Bukankah kedua negara sudah meneken perjanjian damai dagang tahap I awal tahun ini?
Sekarang ceritanya berbeda. Presiden AS Donald Trump tidak terima mengapa negaranya sampai terkena krisis kesehatan, kemanusiaan, dan ekonomi akibat virus corona. Oleh karena itu, sang presiden Negeri Adidaya ke-45 menyalahkan China yang dianggap tidak becus dalam meredam penyebaran virus.
"Kami punya banyak informasi, dan itu tidak bagus. Apakah (virus corona) datang dari laboratorium atau dari kelelawar, pokoknya berasal dari China. Mereka semestinya bisa menghentikan itu dari sumbernya.
"Saya sangat kecewa terhadap China, mereka seharusnya tidak pernah membiarkan ini terjadi. Kami sudah membuat kesepakatan (dagang) yang luar biasa, tetapi sekarang rasanya sudah berbeda. Tinta belum kering, dan wabah ini datang. Rasanya tidak lagi sama," keluh Trump, dalam wawancara dengan Fox Business Network, seperti dikutip dari Reuters. belum lama ini.
Bahkan Trump kini malas berbicara dengan Presiden China Xi Jinping. Lebih jauh lagi, Trump menegaskan siap untuk memutus hubungan dengan China.
"Saat ini saya tidak mau berbicara dengan beliau. Banyak hal yang bisa kami lakukan. Kami bisa saja memutus seluruh hubungan," tegas Trump.
Pandemi virus corona saja sudah menyusahkan. Ditambah risiko perang dagang (atau malah bisa berkembang menjadi Peranng Dingin II bahkan Perang Dunia III), wajar apabila pelaku psar menilai prospek 2020 lebih suram dari perkiraan sebelumnya.
Oleh karena itu, mayoritas responden dalam survei Reuters meramal proses pemulihan ekonomi dunia akan membentuk pola seperti huruf U (U-Shaped). Ekonomi nyungsep sangat dalam terlebih dulu, bertahan agak lama, baru kemudian bangkit lagi.
![]() |
Walau 2020 mungkin sudah tidak bisa terselamatkan, tetapi pelaku pasar kini semakin yakin bahwa 2021 akan menjadi tahunnya pemulihan ekonomi. Angka median untuk proyeksi pertumbuhan ekonomi 2021 adalah 5,4%, lebih tinggi dibandingkan survei sebulan lalu yang memunculkan angka 4,5%.
Penyebabnya adalah pelonggaran social distancing yang membawa harapan bahwa ekonomi bisa bangkit lagi. Kalau semua baik-baik saja, tidak ada gelombang serangan kedua (second wave outbreak), maka ekonomi bisa pulih dalam waktu yang tidak terlalu lama.
"Perputaran ekonomi berarti perputaran likuiditas, ini yang paling dibutuhkan. Ada harapan performa ekonomi ke depan akan membaik," kata Peter Cardillo, Chief Market Economist di Spantan Capital Securities, sebagaimana diwartakan Reuters.
Asa pemulihan pada 2021 bisa menjadi pelecut semangat bagi kita semua. Kalau 2020, ya sudah biarkan sajalah. Sekarang yang tidak kalah penting adalah mari menatap masa depan, dan peluang untuk masa depan yang lebih baik itu ada.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Most Popular