
'New Normal', Harapan & Potensi Ekonomi RI Bersemi Kembali
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
22 May 2020 17:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Sempat tersiar kabar bahwa Indonesia bersiap untuk hidup normal lagi bulan Juni. Namun ini bukan sembarang normal tetapi normal yang baru (new normal). Ada harapan ekonomi yang jatuh bisa bangkit lagi, tetapi ada syarat yang harus dipenuhi dan tantangan yang dihadapi guna mencapai kehidupan the new normal.
Istilah the new normal merujuk pada kembali bergeliatnya aktivitas ekonomi pasca pandemi. Sekolah dan kampus akan dibuka, pekerja kantoran akan mulai sibuk dan pabrik kembali beroperasi.
Namun jangan bayangkan kehidupan yang normal ini adalah kehidupan seperti sebelum pandemi. New normal berarti protokol kesehatan masih akan tetap diterapkan terutama di fasilitas publik.
Pengukuran suhu sebelum masuk kantor dan kawasan akademis, orang-orang yang menggunakan masker, jalan berjarak hingga sabun cuci tangan dan hand sanitizer di berbagai sudut lokasi akan jadi pemandangan lazim nantinya sebelum vaksin benar-benar ditemukan.
Sebenarnya ketika vaksin ditemukan pun bukan berarti ada jaminan bahwa wabah akan benar-benar musnah dan kehidupan pulih seperti sedia kala. Namun seiring dengan penurunan jumlah kasus di banyak negara, pelonggaran pembatasan mulai diberlakukan untuk memecut kembali laju perekonomian yang sempat melambat bahkan mandek.
Lantas bagaimana dengan Indonesia?
Jumlah kasus di Indonesia per kemarin sudah lebih dari 20 ribu. Dalam sehari jumlah kasus bertambah sebanyak 973. Ini merupakan pertambahan kasus harian tertinggi yang pernah tercatat.
Wacana dilonggarkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan momentum jelang hari raya Idul Fitri membuat jalanan kembali dipadati kendaraan bermotor. Hiruk pikuk ibu kota dan beberapa wilayah lain mulai tampak seperti kehidupan sebelumnya.
Ditambah dengan tes corona yang terus dilakukan pemerintah (walau ukuran sampel masih tergolong sangat sedikit dibandingkan negara ASEAN lain), maka wajarlah lonjakan kasus terjadi secara signifikan.
Sementara itu pada kuartal pertama tahun 2020, ekonomi Indonesia sudah jatuh. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan PDB RI kuartal I-2020 sebesar 2,97% (yoy). Angka ini jelas jauh lebih rendah dari konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 4,3% (yoy). Artinya terpaut 100 bps lebih.
Ekonomi Indonesia tumbuh dengan laju yang paling lambat dalam kurun waktu 19 tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi RI mengalami kontraksi secara kuartalan dua kalu berturut-turut.
Namun sebenarnya PSBB baru diterapkan di kuartal kedua yaitu tepatnya pada April dimulai dari DKI Jakarta pada 10 April 2020. Artinya mimpi buruk ekonomi Indonesia makin anjlok baru akan benar-benar terasa di kuartal kedua.
Beberapa indikator makro sudah menunjukkan tanda-tanda makin anjloknya ekonomi pada kuartal II-2020. Misal dari sektor manufaktur Purchasing Manager's Index bulan April Indonesia berada di level 27,5. Kontraksi yang sangat dalam dari bulan sebelumnya yang masih berada di angka 45,3.
Sektor manufaktur merupakan sektor yang memiliki kontribusi tinggi terhadap PDB RI, hampir 20%. Bayangkan saja, jika sektor manufaktur RI mengalami kontraksi yang sangat dalam maka pertumbuhan ekonomi juga akan melambat.
Sentimen konsumen pun memburuk. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pun merosot drastis. Konsumen yang sebelumnya masih optimis berubah menjadi pesimis. Untuk ekonomi Indonesia yang bertumpu pada permintaan domestik memburuknya sentimen konsumen jelas bukan kabar bagus.
Pasalnya ekonomi Indonesia digerakkan oleh konsumsi rumah tangga yang berkontribusi sebesar hampir 58%. Ketika konsumen cenderung menahan uangnya dan tidak berbelanja maka roda perekonomian akan seret.
Melihat kondisi yang memprihatinkan ini ekonomi RI di kuartal kedua akan anjlok semakin dalam. Pandemi yang meluluhlantakkan perekonomian global memang sangat kejam. RI pun tak bisa lolos. Bank Indonesia memperkirakan pada 2020 pertumbuhan PDB RI berada di angka 2,3%.
Sementara itu Dana Moneter Internasional (IMF) lebih konservatif lagi. Lembaga keuangan bentukan perjanjian Bretton Wood di New Hampshire itu meramal RI tumbuh sangat minimalis 0,5% tahun ini.
Belum juga kasus di Indonesia turun, sudah ada wacana new normal. Masih terlalu dini dan berisiko untuk membuka kembali perekonomian. Pasalnya jumlah kasus di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda surut.
Berdasarkan dokumen kajian Kementerian PPN/Bappenas yang diterima oleh CNBC Indonesia, angka reproduksi efektif (Rt) wabah masih berada di atas 1 di berbagai daerah di Tanah Air.
Rt menunjukkan rata-rata infeksi yang terjadi akibat adanya infeksi tunggal dalam kurun waktu tertentu. Angka Rt di atas 1 menunjukkan bahwa virus masih terus menjangkiti banyak orang. Epidemi dikatakan berhasil ditekan jika angka Rt di bawah 1.
Memang langkah untuk mencapai new normal harus tetap dipikirkan. Namun untuk mencapai kondisi normal yang baru syarat utama yang harus dipenuhi adalah penurunan jumlah kasus yang signifikan dan konsisten.
Fokus pemerintah saat ini perlu menyamakan visi dan memperkuat koordinasi dengan berbagai pihak untuk menangani wabah corona, kebijakan yang jelas, tegas dan terukur mutlak diperlukan.
Sembari menyiapkan new normal, pemerintah perlu meningkatkan jumlah tes dan secara disiplin melakukan strategi contact tracing dan isolasi bagi yang berisiko tinggi dan positif (test-track-isolate).
Jika melihat realita sekarang ini dengan minimnya tes yang dilakukan, kebijakan pemerintah yang inkonsisten dan tidak tegas terutama pada transportasi serta larangan mudik, hingga efektivitas stimulus fiskal yang ada seperti bantuan untuk sektor pariwisata yang tidak tepat sasaran hingga karut marut BLT membuat ekonomi Indonesia berpotensi pulih secara gradual membentuk kurva 'U' daripada 'V'.
(twg/twg) Next Article Catat, Ini 3 Syarat Mutlak untuk Kembali Hidup Normal!
Istilah the new normal merujuk pada kembali bergeliatnya aktivitas ekonomi pasca pandemi. Sekolah dan kampus akan dibuka, pekerja kantoran akan mulai sibuk dan pabrik kembali beroperasi.
Namun jangan bayangkan kehidupan yang normal ini adalah kehidupan seperti sebelum pandemi. New normal berarti protokol kesehatan masih akan tetap diterapkan terutama di fasilitas publik.
Sebenarnya ketika vaksin ditemukan pun bukan berarti ada jaminan bahwa wabah akan benar-benar musnah dan kehidupan pulih seperti sedia kala. Namun seiring dengan penurunan jumlah kasus di banyak negara, pelonggaran pembatasan mulai diberlakukan untuk memecut kembali laju perekonomian yang sempat melambat bahkan mandek.
Lantas bagaimana dengan Indonesia?
Jumlah kasus di Indonesia per kemarin sudah lebih dari 20 ribu. Dalam sehari jumlah kasus bertambah sebanyak 973. Ini merupakan pertambahan kasus harian tertinggi yang pernah tercatat.
Wacana dilonggarkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan momentum jelang hari raya Idul Fitri membuat jalanan kembali dipadati kendaraan bermotor. Hiruk pikuk ibu kota dan beberapa wilayah lain mulai tampak seperti kehidupan sebelumnya.
Ditambah dengan tes corona yang terus dilakukan pemerintah (walau ukuran sampel masih tergolong sangat sedikit dibandingkan negara ASEAN lain), maka wajarlah lonjakan kasus terjadi secara signifikan.
Sementara itu pada kuartal pertama tahun 2020, ekonomi Indonesia sudah jatuh. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan PDB RI kuartal I-2020 sebesar 2,97% (yoy). Angka ini jelas jauh lebih rendah dari konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 4,3% (yoy). Artinya terpaut 100 bps lebih.
Ekonomi Indonesia tumbuh dengan laju yang paling lambat dalam kurun waktu 19 tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi RI mengalami kontraksi secara kuartalan dua kalu berturut-turut.
Namun sebenarnya PSBB baru diterapkan di kuartal kedua yaitu tepatnya pada April dimulai dari DKI Jakarta pada 10 April 2020. Artinya mimpi buruk ekonomi Indonesia makin anjlok baru akan benar-benar terasa di kuartal kedua.
Beberapa indikator makro sudah menunjukkan tanda-tanda makin anjloknya ekonomi pada kuartal II-2020. Misal dari sektor manufaktur Purchasing Manager's Index bulan April Indonesia berada di level 27,5. Kontraksi yang sangat dalam dari bulan sebelumnya yang masih berada di angka 45,3.
Sektor manufaktur merupakan sektor yang memiliki kontribusi tinggi terhadap PDB RI, hampir 20%. Bayangkan saja, jika sektor manufaktur RI mengalami kontraksi yang sangat dalam maka pertumbuhan ekonomi juga akan melambat.
Sentimen konsumen pun memburuk. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pun merosot drastis. Konsumen yang sebelumnya masih optimis berubah menjadi pesimis. Untuk ekonomi Indonesia yang bertumpu pada permintaan domestik memburuknya sentimen konsumen jelas bukan kabar bagus.
Pasalnya ekonomi Indonesia digerakkan oleh konsumsi rumah tangga yang berkontribusi sebesar hampir 58%. Ketika konsumen cenderung menahan uangnya dan tidak berbelanja maka roda perekonomian akan seret.
Melihat kondisi yang memprihatinkan ini ekonomi RI di kuartal kedua akan anjlok semakin dalam. Pandemi yang meluluhlantakkan perekonomian global memang sangat kejam. RI pun tak bisa lolos. Bank Indonesia memperkirakan pada 2020 pertumbuhan PDB RI berada di angka 2,3%.
Sementara itu Dana Moneter Internasional (IMF) lebih konservatif lagi. Lembaga keuangan bentukan perjanjian Bretton Wood di New Hampshire itu meramal RI tumbuh sangat minimalis 0,5% tahun ini.
Belum juga kasus di Indonesia turun, sudah ada wacana new normal. Masih terlalu dini dan berisiko untuk membuka kembali perekonomian. Pasalnya jumlah kasus di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda surut.
Berdasarkan dokumen kajian Kementerian PPN/Bappenas yang diterima oleh CNBC Indonesia, angka reproduksi efektif (Rt) wabah masih berada di atas 1 di berbagai daerah di Tanah Air.
Rt menunjukkan rata-rata infeksi yang terjadi akibat adanya infeksi tunggal dalam kurun waktu tertentu. Angka Rt di atas 1 menunjukkan bahwa virus masih terus menjangkiti banyak orang. Epidemi dikatakan berhasil ditekan jika angka Rt di bawah 1.
Angka Reproduksi Efektif (Rt) Covid-19 di Indonesia ![]() |
![]() |
Memang langkah untuk mencapai new normal harus tetap dipikirkan. Namun untuk mencapai kondisi normal yang baru syarat utama yang harus dipenuhi adalah penurunan jumlah kasus yang signifikan dan konsisten.
Fokus pemerintah saat ini perlu menyamakan visi dan memperkuat koordinasi dengan berbagai pihak untuk menangani wabah corona, kebijakan yang jelas, tegas dan terukur mutlak diperlukan.
Sembari menyiapkan new normal, pemerintah perlu meningkatkan jumlah tes dan secara disiplin melakukan strategi contact tracing dan isolasi bagi yang berisiko tinggi dan positif (test-track-isolate).
Jika melihat realita sekarang ini dengan minimnya tes yang dilakukan, kebijakan pemerintah yang inkonsisten dan tidak tegas terutama pada transportasi serta larangan mudik, hingga efektivitas stimulus fiskal yang ada seperti bantuan untuk sektor pariwisata yang tidak tepat sasaran hingga karut marut BLT membuat ekonomi Indonesia berpotensi pulih secara gradual membentuk kurva 'U' daripada 'V'.
(twg/twg) Next Article Catat, Ini 3 Syarat Mutlak untuk Kembali Hidup Normal!
Most Popular