
Rawan PHK, Industri Properti Sulit Dapat Keringanan Kredit
Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
18 May 2020 14:42

Jakarta, CNBC Indonesia- Industri properti merasa kesulitan mendapatkan restrukturisasi kredit di tengah pandemi COVID-19. Padahal restrukturisasi kredit ini penting untuk mencegah perusahaan kolaps dan menimbulkan gelombang PHK massal di sektor properti.
Ketua Umum REI Totok Lusida mengatakan saat ini sektor properti masih belum mendapatkan kepastian dari perbankan untuk mendapatkan restrukturisasi kredit. Menurutnya perusahaan properti membutuhkan restrukturisasi penundaan pembayaran pokok dan bunga untuk membayar karyawan.
"Kalau digantung terlalu lama oleh perbankan, dan kurangnya ketegasan pemerintah untuk menginstruksikannya, meskupun itu bank swasta. Tapi karena domino efeknya begitu besar, sektor properti kami perlukan adanya kepastian," kata Totok belum lama ini.
Berat bagi industri properti memenuhi permintaan pemerintah dimana harus tetap membayar gaji karyawan, dan tetap melakukan pembayaran terhadap bank dengan tidak ada pemasukan karena turunnya penjualan.
"Tolonglah ketegasan dari pemerintah dan OJK supaya bank ini benar-benar melakukan (restruktursasi), kalau OJK tegas mereka pasti akan melakukan. Kalau ini digantung terus, developer, end user, dan perbankan sendiri bisa sama-sama mati," kata Totok.
Berdasarkan Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia (BI) penjualan properti residensial pada kuartal I-2020 turun 43,19% (yoy), jauh lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang tumbuh terbatas sebesar 1,19% (yoy). Penurunan penjualan properti residensial tersebut terjadi pada seluruh tipe rumah.
Survei ini mencatat sektor properti terguncang akibat pandemi COVID-19 yang membuat permintaan dari konsumen lesu dan penyaluran kredit makin ketat.
Sementara itu, berdasarkan catatan Kadin, Apindo dan Rei, total kredit yang disalurkan oleh perbankan kepada 17 sektor industri adalah sebesar Rp 5.703 triliun, sebanyak 17,9% disalurkan untuk sektor realestat sebesar Rp 1.024 triliun. Nilai ini terdiri dari kredit konstruksi Rp 351 triliun, kredit realestat Rp 166 triliun dan KPR KPA Rp 507 triliun.
Dari jumlah tersebut yang disalurkan ke sektor properti senilai Rp 62 triliun di antaranya adalah kredit modal kerja jangka pendek. Berdasarkan strukturnya, Rp 51,1 triliun (82%) penyalurannya ditujukan untuk modal kerja perusahaan properti terbuka.
Perlu dicermati bahwa 24% atau senilai Rp 12,5 triliun berupa kredit modal kerja perusahaan properti terbuka tersebut merupakan hutang jangka pendek yang perlu ditangani secara cepat. Jika sampai ada permasalahan, maka akan berdampak pada kelangsungan perusahaan, proyek, dan masyarakat yang membutuhkan.
"Pengembang berusaha keras tidak PHK, sampai berapa lama tahan tergantung restrukturisasi. Kami disurati agar tidak PHK, tetapi tetap bayar bank. Tolonglah ketegasannya," ujar Totok.
Sebelumnya, OJK mencatat berdasarkan 50% dari total kredit UMKM di perbankan yang mencapai Rp 1.100 triliun - Rp 1.200 triliun, maka potensi kredit yang direstrukturisasi bisa mencapai Rp 500 triliun hingga Rp 600 triliun.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, sampai dengan 10 Mei 2020, total kredit UMKM yang sudah direstrukturisasi mencapai Rp 167,1 triliun dari 3,42 juta debitur UMKM.
Jumlah tersebut, kata Wimboh masih dinamis dan masih berpotensi bertambah, seiring dengan proses restrukturisasi yang masih dilakukan oleh perbankan saat ini.
"Dengan asumsi, kalau 50% dan perbankan bilang antara 40% sampai 50%. Kredit UMKM direstrukturisasi, angkanya antara Rp 500 triliun sampai Rp 600 triliun," kata Wimboh dalam video conference, Jumat (15/5/2020).
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Properti Hendro Gondokusumo menekankan pemerintah dan OJK harus segera memutuskan nasib industri properti dengan bank, karena terkait erat dengan daya tahan sektor ini. Apalagi dengan penurunan penjualan, dan ketidak pastian kapan pandemi ini berakhir semakin menekan sektor properti.
"Sampai berapa lama kita akan tahan kalau pemerintah tidak memberikan kepastian. Jika terlalu lama, maka akan tambah jelek. Makanya kami minta pemerintah harus cepat memutuskan bagaimana nasib kami dengan bank," kata Hendro.
Industri properti terganggu berujung potensi PHK 30 juta orang
Dari hasil kajian terbatas Kadin dan Apindo jika industri properti dan industri yang berkaitan terganggu, maka ada 30,34 juta pekerja yang berpotensi di-PHK.
Hendro mengatakan kedudukan sektor properti yang berkaitan erat dengan sektor lain (backward linkage) dan mempengaruhi pertumbuhan sektor lain (forward linkage), menjadikan sektor properti memiliki peran sentral pada pembangunan.
"Dari 175 sektor industri yang bergerak dengan keterkaitan langsung dan tidak langsung dengan sektor properti, industri properti memiliki pangsa jumlah permintaan akhir 33,9% sehingga ini yang menjadikan industri properti sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional," ungkap Hendro.
Menurutnya, angka itu menunjukkan multiplier effect yang tinggi di mana jika sektor properti meningkat akan memiliki dampak langsung pada 33,9% sektor yang berkaitan. Padahal, kontribusi sektor properti Indonesia terhadap PDB masih kecil dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN.
(dob/dob) Next Article Cegah PHK, Ini yang Dibutuhkan Industri Properti RI
Ketua Umum REI Totok Lusida mengatakan saat ini sektor properti masih belum mendapatkan kepastian dari perbankan untuk mendapatkan restrukturisasi kredit. Menurutnya perusahaan properti membutuhkan restrukturisasi penundaan pembayaran pokok dan bunga untuk membayar karyawan.
"Kalau digantung terlalu lama oleh perbankan, dan kurangnya ketegasan pemerintah untuk menginstruksikannya, meskupun itu bank swasta. Tapi karena domino efeknya begitu besar, sektor properti kami perlukan adanya kepastian," kata Totok belum lama ini.
"Tolonglah ketegasan dari pemerintah dan OJK supaya bank ini benar-benar melakukan (restruktursasi), kalau OJK tegas mereka pasti akan melakukan. Kalau ini digantung terus, developer, end user, dan perbankan sendiri bisa sama-sama mati," kata Totok.
Berdasarkan Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia (BI) penjualan properti residensial pada kuartal I-2020 turun 43,19% (yoy), jauh lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang tumbuh terbatas sebesar 1,19% (yoy). Penurunan penjualan properti residensial tersebut terjadi pada seluruh tipe rumah.
Survei ini mencatat sektor properti terguncang akibat pandemi COVID-19 yang membuat permintaan dari konsumen lesu dan penyaluran kredit makin ketat.
Sementara itu, berdasarkan catatan Kadin, Apindo dan Rei, total kredit yang disalurkan oleh perbankan kepada 17 sektor industri adalah sebesar Rp 5.703 triliun, sebanyak 17,9% disalurkan untuk sektor realestat sebesar Rp 1.024 triliun. Nilai ini terdiri dari kredit konstruksi Rp 351 triliun, kredit realestat Rp 166 triliun dan KPR KPA Rp 507 triliun.
Dari jumlah tersebut yang disalurkan ke sektor properti senilai Rp 62 triliun di antaranya adalah kredit modal kerja jangka pendek. Berdasarkan strukturnya, Rp 51,1 triliun (82%) penyalurannya ditujukan untuk modal kerja perusahaan properti terbuka.
Perlu dicermati bahwa 24% atau senilai Rp 12,5 triliun berupa kredit modal kerja perusahaan properti terbuka tersebut merupakan hutang jangka pendek yang perlu ditangani secara cepat. Jika sampai ada permasalahan, maka akan berdampak pada kelangsungan perusahaan, proyek, dan masyarakat yang membutuhkan.
"Pengembang berusaha keras tidak PHK, sampai berapa lama tahan tergantung restrukturisasi. Kami disurati agar tidak PHK, tetapi tetap bayar bank. Tolonglah ketegasannya," ujar Totok.
Sebelumnya, OJK mencatat berdasarkan 50% dari total kredit UMKM di perbankan yang mencapai Rp 1.100 triliun - Rp 1.200 triliun, maka potensi kredit yang direstrukturisasi bisa mencapai Rp 500 triliun hingga Rp 600 triliun.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, sampai dengan 10 Mei 2020, total kredit UMKM yang sudah direstrukturisasi mencapai Rp 167,1 triliun dari 3,42 juta debitur UMKM.
Jumlah tersebut, kata Wimboh masih dinamis dan masih berpotensi bertambah, seiring dengan proses restrukturisasi yang masih dilakukan oleh perbankan saat ini.
"Dengan asumsi, kalau 50% dan perbankan bilang antara 40% sampai 50%. Kredit UMKM direstrukturisasi, angkanya antara Rp 500 triliun sampai Rp 600 triliun," kata Wimboh dalam video conference, Jumat (15/5/2020).
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Properti Hendro Gondokusumo menekankan pemerintah dan OJK harus segera memutuskan nasib industri properti dengan bank, karena terkait erat dengan daya tahan sektor ini. Apalagi dengan penurunan penjualan, dan ketidak pastian kapan pandemi ini berakhir semakin menekan sektor properti.
"Sampai berapa lama kita akan tahan kalau pemerintah tidak memberikan kepastian. Jika terlalu lama, maka akan tambah jelek. Makanya kami minta pemerintah harus cepat memutuskan bagaimana nasib kami dengan bank," kata Hendro.
Industri properti terganggu berujung potensi PHK 30 juta orang
Dari hasil kajian terbatas Kadin dan Apindo jika industri properti dan industri yang berkaitan terganggu, maka ada 30,34 juta pekerja yang berpotensi di-PHK.
Hendro mengatakan kedudukan sektor properti yang berkaitan erat dengan sektor lain (backward linkage) dan mempengaruhi pertumbuhan sektor lain (forward linkage), menjadikan sektor properti memiliki peran sentral pada pembangunan.
"Dari 175 sektor industri yang bergerak dengan keterkaitan langsung dan tidak langsung dengan sektor properti, industri properti memiliki pangsa jumlah permintaan akhir 33,9% sehingga ini yang menjadikan industri properti sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional," ungkap Hendro.
Menurutnya, angka itu menunjukkan multiplier effect yang tinggi di mana jika sektor properti meningkat akan memiliki dampak langsung pada 33,9% sektor yang berkaitan. Padahal, kontribusi sektor properti Indonesia terhadap PDB masih kecil dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN.
(dob/dob) Next Article Cegah PHK, Ini yang Dibutuhkan Industri Properti RI
Most Popular