
Cegah PHK, Ini yang Dibutuhkan Industri Properti RI
Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
14 May 2020 19:43

Jakarta, CNBC Indonesia- Di tengah tekanan Pandemi COVID-19, industri properti berupaya mempertahankan kelangsungan usaha beserta nasib sedikitnya 30 juta pekerja di sektor properti dan industri yang terkait.
Dalam situasi sekarang ini pergerakan sektor properti dalam negeri harus dioptimalkan, apalagi properti adalah salah satu industri yang bisa masuk ke pelosok-pelosok daerah di Indonesia dan menghidupkan ekonomi lokal dengan pembangunannya.
"Sekarang saatnya untuk memaksimalkan potensi lokal. Industri properti Indonesia itu 90% kandungannya adalah lokal, bahkan 100% untuk rumah sederhana. Ini sangat strategis untuk menggerakkan perekonomian kita," kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Properti Hendro Gondokusumo, Kamis (14/05/2020).
Hendro mengatakan saat ini baik developer yang tengah berkembang terus berupaya kreatif untuk melihat pasar mana yang bisa dioptimalkan di masa pandemi ini. Hal ini dilakukan karena pengusaha properti pun mencegah gelombang PHK meski situasi sedang sulit.
"Saya mengarahkan kepada developer untuk lebih kreatif melihat pasar mana yang masih bisa diambil di saat seperti ini," katanya.
Ketua Umum REI Totok Lusida juga menegaskan industri properti tetap berjalan di tengah situasi sulit ini. Saat ini penjualan banyak yang tertunda karena masyarakat menahan pembelian.
Permasalahan juga bukan hanya penjualan turun, karena eksistensi industri properti sangat memakai tenaga kerja yang banyak sebelum dan sesudah realisasi pengembangan.
"Kami berupaya terus jalan karena kalau berhenti sama sekali justru akan berat buat kami dan sulit untuk memulainya lagi," ujar Totok.
Sekjen Apindo Eddy Hussy mengatakan pengembang tetap berupa menjaga bisnisnya semaksimal mungkin dan tetap berjalan apa adanya. Apalagi saat ini sulit melakukan pengenalan produk kepada masyarakat di tengah situasi PSBB. Meski demikian tetap harus ada dukungan dari sektor perbankan dan pemerintah yang nyata dan cepat, agar dampak terhadap industri properti tidak berlarut-larut.
"Apa yang sudah ada kami jaga baik-baik, asalkan bisa jalan dan bekerja terus maka mudah-mudahan tidak akan ada PHK. Suport dari perbankan dan pemerintah harus nyata dan cepat karena kita melawan waktu," ujarnya.
Totok Lusida menambahkan sektor properti memiliki keterkaitan langsung yang erat dengan industri perbankan. Dukungan perbankan amat penting, apalagi dengan kondisi pandemik sekarang ini yang semakin membuat para pengembang tertekan.
Menurut data BI per-Maret 2020, total kredit yang disalurkan oleh perbankan kepada 17 sektor industri adalah sebesar Rp 5.703 triliun, di mana 17,9%-nya disalurkan kepada sektor realestat sebesar Rp 1.024 triliun yang terdiri dari kredit konstruksi (Rp 351 triliun), kredit realestat (Rp 166 triliun) dan KPR KPA (Rp 507 triliun). Dari Rp 1.024 triliun yang disalurkan ke sektor properti, Rp 62 triliun di antaranya adalah kredit modal kerja jangka pendek.
Berdasarkan strukturnya, Rp 51,1 triliun (82%) penyalurannya ditujukan untuk modal kerja perusahaan properti terbuka. Perlu dicermati bahwa 24% (Rp 12,5 triliun) kredit modal kerja perusahaan properti terbuka tersebut merupakan hutang jangka pendek yang perlu ditangani secara cepat.
"Jelas sekali bahwa porsi kredit di sisi supply dan demand properti hampir berimbang. Kredit modal kerja dan konstruksi amat penting bagi pengembang untuk melakukan pendanaan awal, yang kemudian diteruskan oleh KPR KPA oleh konsumen. Jika salah satu porsi kredit ini terganggu maka pendanaan pengembang pasti akan terpukul," jelas Totok.
Maka sangat penting untuk menjalankan secara cepat restrukturisasi hutang para pengembang dan konsumen properti karena multiplier effect dari stimulus restrukturisasi tersebut dapat menggerakkan industri ikutan properti secara signifikan dan menyelamatkan tenaga kerja yang ada di dalam industri properti dan industri ikutannya serta meredam dampak sistemik jika terjadi NPL di perbankan.
Data Bursa Efek Indonesia menyebutkan sekitar 76,2% hutang jangka pendek perusahaan pengembang terbuka ada di bank swasta, yang justru sulit sekali melakukan restrukturisasi dikarenakan masih adanya tekanan OJK terhadap KPI (Key Performance Indicator) dari bank-bank tersebut, di mana salah satunya adalah perihal NPL yang masih dijadikan tolok ukur.
"Ada kebijakan yang tidak sinkron dari OJK di mana di satu sisi meminta agar dilakukan stimulus restrukturisasi namun di pihak lain tetap memegang acuan ketat mengenai NPL dan KPI perbankan. Hingga saat ini, POJK No.11/POJK.03/2020 dirasa belum cukup efektif pelaksanaannya di level operasional," kata Totok. "Kami berusaha keras untuk tidak melakukan PHK, namun kalau tidak didukung oleh perbankan, berat bagi industri properti untuk bertahan", tegas Totok.
(dob/dob) Next Article Rawan PHK, Industri Properti Sulit Dapat Keringanan Kredit
Dalam situasi sekarang ini pergerakan sektor properti dalam negeri harus dioptimalkan, apalagi properti adalah salah satu industri yang bisa masuk ke pelosok-pelosok daerah di Indonesia dan menghidupkan ekonomi lokal dengan pembangunannya.
"Sekarang saatnya untuk memaksimalkan potensi lokal. Industri properti Indonesia itu 90% kandungannya adalah lokal, bahkan 100% untuk rumah sederhana. Ini sangat strategis untuk menggerakkan perekonomian kita," kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Properti Hendro Gondokusumo, Kamis (14/05/2020).
"Saya mengarahkan kepada developer untuk lebih kreatif melihat pasar mana yang masih bisa diambil di saat seperti ini," katanya.
Ketua Umum REI Totok Lusida juga menegaskan industri properti tetap berjalan di tengah situasi sulit ini. Saat ini penjualan banyak yang tertunda karena masyarakat menahan pembelian.
Permasalahan juga bukan hanya penjualan turun, karena eksistensi industri properti sangat memakai tenaga kerja yang banyak sebelum dan sesudah realisasi pengembangan.
"Kami berupaya terus jalan karena kalau berhenti sama sekali justru akan berat buat kami dan sulit untuk memulainya lagi," ujar Totok.
Sekjen Apindo Eddy Hussy mengatakan pengembang tetap berupa menjaga bisnisnya semaksimal mungkin dan tetap berjalan apa adanya. Apalagi saat ini sulit melakukan pengenalan produk kepada masyarakat di tengah situasi PSBB. Meski demikian tetap harus ada dukungan dari sektor perbankan dan pemerintah yang nyata dan cepat, agar dampak terhadap industri properti tidak berlarut-larut.
"Apa yang sudah ada kami jaga baik-baik, asalkan bisa jalan dan bekerja terus maka mudah-mudahan tidak akan ada PHK. Suport dari perbankan dan pemerintah harus nyata dan cepat karena kita melawan waktu," ujarnya.
Totok Lusida menambahkan sektor properti memiliki keterkaitan langsung yang erat dengan industri perbankan. Dukungan perbankan amat penting, apalagi dengan kondisi pandemik sekarang ini yang semakin membuat para pengembang tertekan.
Menurut data BI per-Maret 2020, total kredit yang disalurkan oleh perbankan kepada 17 sektor industri adalah sebesar Rp 5.703 triliun, di mana 17,9%-nya disalurkan kepada sektor realestat sebesar Rp 1.024 triliun yang terdiri dari kredit konstruksi (Rp 351 triliun), kredit realestat (Rp 166 triliun) dan KPR KPA (Rp 507 triliun). Dari Rp 1.024 triliun yang disalurkan ke sektor properti, Rp 62 triliun di antaranya adalah kredit modal kerja jangka pendek.
Berdasarkan strukturnya, Rp 51,1 triliun (82%) penyalurannya ditujukan untuk modal kerja perusahaan properti terbuka. Perlu dicermati bahwa 24% (Rp 12,5 triliun) kredit modal kerja perusahaan properti terbuka tersebut merupakan hutang jangka pendek yang perlu ditangani secara cepat.
"Jelas sekali bahwa porsi kredit di sisi supply dan demand properti hampir berimbang. Kredit modal kerja dan konstruksi amat penting bagi pengembang untuk melakukan pendanaan awal, yang kemudian diteruskan oleh KPR KPA oleh konsumen. Jika salah satu porsi kredit ini terganggu maka pendanaan pengembang pasti akan terpukul," jelas Totok.
Maka sangat penting untuk menjalankan secara cepat restrukturisasi hutang para pengembang dan konsumen properti karena multiplier effect dari stimulus restrukturisasi tersebut dapat menggerakkan industri ikutan properti secara signifikan dan menyelamatkan tenaga kerja yang ada di dalam industri properti dan industri ikutannya serta meredam dampak sistemik jika terjadi NPL di perbankan.
Data Bursa Efek Indonesia menyebutkan sekitar 76,2% hutang jangka pendek perusahaan pengembang terbuka ada di bank swasta, yang justru sulit sekali melakukan restrukturisasi dikarenakan masih adanya tekanan OJK terhadap KPI (Key Performance Indicator) dari bank-bank tersebut, di mana salah satunya adalah perihal NPL yang masih dijadikan tolok ukur.
"Ada kebijakan yang tidak sinkron dari OJK di mana di satu sisi meminta agar dilakukan stimulus restrukturisasi namun di pihak lain tetap memegang acuan ketat mengenai NPL dan KPI perbankan. Hingga saat ini, POJK No.11/POJK.03/2020 dirasa belum cukup efektif pelaksanaannya di level operasional," kata Totok. "Kami berusaha keras untuk tidak melakukan PHK, namun kalau tidak didukung oleh perbankan, berat bagi industri properti untuk bertahan", tegas Totok.
(dob/dob) Next Article Rawan PHK, Industri Properti Sulit Dapat Keringanan Kredit
Most Popular