Seiring dengan penurunan jumlah kasus infeksi virus corona (Covid-19) di berbagai belahan dunia, banyak negara mulai dari Amerika Serikat (AS), Eropa, hingga Asia mengendorkan pembatasan sosial. Namun dibalik kembali bergeliatnya aktivitas ekonomi, ada ancaman yang mengerikan dari gelombang kedua wabah.
Sah sudah! Kini lebih dari 4 juta orang yang menghuni planet bumi dinyatakan telah positif terinfeksi Covid-19. Sejak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan wabah yang diakibatkan oleh virus SARS-CoV-2 ini pada 11 Maret lalu, jumlah kasus terus bertambah dengan signifikan.
Banyak negara-negara seperti AS dan Eropa (Italia, Perancis dan Spanyol) yang paling terpukul oleh pandemi Covi-19 mengikuti langkah ekstrem China untuk menerapkan karantina wilayah (
). Sudah lebih dari sebulan negara-negara Eropa dengan negara lainnya menerapkan pembatasan sosial dengan skala masif.
Spanyol, Italia, Perancis dan Jerman telah menunjukkan perkembangan yang baik dari segi pertumbuhan jumlah kasus harian yang terus menurun sejak April lalu. Penurunan kasus baru ini dikaitkan dengan kesuksesan pembatasan sosial yang dilakukan di empat negara tersebut yang merupakan episentrum wabah untuk Zona Euro. Penurunan jumlah kasus juga diikuti oleh negara lain seperti di kawasan Asia.
dan pembatasan sosial yang masif telah menimbulkan konsekuensi berupa jatuhnya perekonomian suatu negara. Kebetulan negara-negara G20 yang menyumbang lebih dari 60% penduduk dunia dan lebih dari 70% output perekonomian global adalah negara yang paling terkena dampak dari pandemi Covid-19. Hal ini membuat perekonomian negara anggota G20 luluh lantak pada kuartal pertama 2020.
dan berbagai pembatasan, penurunan jumlah kasus baru menjadi sinyal positif untuk melonggarkan pembatasan. Orang-orang sudah mulai kembali bekerja, toko ritel, salon dan bar sudah mulai dibuka di negara-negara Eropa maupun Asia.
Namun pembukaan kembali perekonomian yang terlalu cepat juga sangatlah berbahaya. Pasalnya saat ini penangkal dari virus baik itu vaksin maupun obat masih belum ditemukan. Ditambah masih banyak negara lain yang masih berada di fase eksponensial membuat potensi terjadinya gelombang kedua wabah menjadi ancaman paling serius.
Hal ini pun disorot oleh ahli epidemiologi Ben Cowling, seorang profesor di School of Public Health at the University of Hong Kong. ″ ... Saya pikir untuk memiliki timeline akan jadi sangat menantang. Tidak ada negara yang ingin membuka terlalu dini, dan kemudian menjadi negara pertama yang memiliki gelombang kedua yang besar," kata Cowling kepada CNBC International pertengahan April lalu.
"Saya pikir itu akan sangat sulit karena kita tahu bahwa bahkan negara-negara yang mengatasi gelombang pertama mereka, mereka akan mendapat tantangan dari negara-negara lain yang masih mengalami gelombang pertama mereka atau bahkan mengalami gelombang kedua, yang bisa mulai sekarang di Cina," tambah Cowling.
Walau kasus infeksi virus corona tampaknya telah meruncing di negara-negara seperti Cina dan Singapura, keduanya melaporkan lebih banyak kasus yang diimpor dari luar negeri setelahnya.
"Ini benar-benar akan sangat sulit, saya pikir pengujian menjadi sangat penting, tetapi juga masih perlu disertai dengan pembatasan sosial . Jadi itu mungkin bukan pembukaan penuh, bahkan pada bulan Juni atau Juli," ujarnya mengutip CNBC International.
"Tapi pelajaran lain dari Hong Kong, Singapura dan tempat lain di Asia adalah bahwa kasus impor benar-benar dapat menyebabkan masalah besar bagi pengendalian epidemi lokal," Cowling memperingatkan.
Berkaca dari Singapura, Negeri Singa sebelumnya mendapat pujian global atas intervensi awalnya pada bulan Januari yang telah berhasil menyebabkan infeksi mereda. Namun Singapura kembali mengalami ledakan jumlah kasus secara mendadak.
"Di Singapura, mereka memilih (uji dan lacak) sebagai prioritas, dan tampaknya berfungsi dengan baik sampai ada banyak dan banyak kasus impor yang menyebabkan masalah untuk pengujian dan penelusuran," jelas Cowling.
Menurut Cowling, pelajaran dari Singapura adalah bahwa menguji kasus dan melacak kontak tetap penting, tetapi perlu ada pembatasan sosial sebagai bagian dari exit strategy.
"Kalau tidak, ada bahaya bahwa tes dan penelusuran akan bekerja dengan baik untuk suatu periode, tetapi kemudian akan kewalahan dengan kasus impor," katanya. Itulah sebabnya ada tantangan nyata untuk menekan angka, karena tes dan penelusuran akan menjadi kurang efektif jika lonjakan kasus gelombang kedua terjadi.
Apa yang dikhawatirkan Cowling tampaknya sudah mulai terlihat tanda-tandanya. Kekhawatiran tersebut pun mulai terlihat dari data perkembangan terbaru kasus Covid-19 yang mulai meningkat di beberapa negara.
Di AS misalnya. Sejak awal Mei Paman Sam telah memperbolehkan beberapa wilayah mulai membuka kembali pertokoan seperti di Texas. Ternyata laju penambahan pasien baru di AS sedikit meningkat selepas pelonggaran
social distancing. Sejak 5-8 Mei, Tim Riset CNBC Indonesia mencatat terjadi kenaikan kasus baru berturut-turut sebesar 1,66%, 1,9%, 2,12%, dan 2,38%.
Kenaikan kasus tak hanya terjadi di AS, di beberapa negara lain juga ada kekhawatiran serupa. Di Korea Selatan, kasus corona agak meningkat karena penyebaran di sebuah klub malam yang menyebabkan 34 orang terinfeksi. Ini terjadi usai pemerintah Negeri Ginseng melonggarkan aturan pembatasan sosialnya.
Sementara di Kota Wuhan (China) yang merupakan
ground zero penyebaran virus corona, terdapat satu pasien lagi setelah belum lama ini ibu kota Provinsi Hubei itu dinyatakan bebas corona. Pasien baru itu tidak menunjukkan gejala (asimptomatik).
Reuters melaporkan, pihak berwenang China juga sudah mewanti-wanti akan kemungkinan terjadinya
second wave outbreak. Kali ini yang disorot adalah salah satu kota di Provinsi Jilin Timur Laut China yang direklasifikasi menjadi zona merah alias berisiko tinggi.
Gelombang kedua wabah bukanlah hal yang mustahil. Sejarah sudah pernah mencatatkannya seabad lalu. Pada 1918, ketika AS terlibat dalam Perang Dunia pertama (PD I), pandemi akibat infeksi virus influenza H1N1 yang dikenal sebagai
Spanish Flu atau Flu Spanyol merebak di seluruh dunia.
Pada masa PD I, ratusan ribu tentara Negeri Paman Sam melakukan perjalanan dan melintasi Atlantik. Mobilitas pasukan ini telah berkontribusi besar terhadap penyebaran virus H1N1. Lebih dari 500 juta orang atau sepertiga populasi dunia kala itu telah terinfeksi Flu Spanyol. Sebanyak 50 juta orang terenggut nyawanya akibat wabah.
Pandemi Flu Spanyol merupakan tragedi umat manusia terburuk abad ini. Pasalnya pandemi terus terjadi seolah tak berkesudahan. Dimulai di awal musim semi 1918 dan berakhir pada awal musim kemarau tahun berikutnya.
Tragedi kemanusiaan yang telah menyapu sebagian besar umat manusia kala itu terjadi dalam tiga fase. Fase pertama adalah ketika AS melakukan mobilisasi pasukannya untuk berperang ke berbagai penjuru dunia.
Fase atau gelombang kedua terjadi saat musim gugur, di mana di tahap kedua ini kematian paling tinggi tercatat di AS. Kala itu Negeri Adidaya tengah disibukkan dengan peperangan sehingga pasokan dan tenaga medis fokus pada perawatan personel militer. Hal ini semakin memperburuk keadaan.
Jumlah kematian melonjak dan di tengah kondisi perang banyak perusahaan harus mengalami kebangkrutan. Gelombang kedua wabah menjadi fase yang paling suram kala itu, sebelum akhirnya disusul gelombang ketiga dengan jumlah kematian lebih rendah pada musim dingin dan semi awal tahun 1919.
Gelombang Wabah Flu Spanyol Sumber : Journal Plos One |
Sebuah kajian yang dilakukan oleh para peneliti Hong Kong dan Kanada yang dipublikasikan di Jurnal Proceedings Biological Science tahun 2013 menyorot kemungkinan berbagai penyebab mengapa pandemi Flu Spanyol terjadi dalam tiga fase. Dalam laporan ilmiah tersebut, negara yang dijadikan objek penelitian adalah Inggris.
kesimpulan dari penelitian itu adalah libur dan dimulai kembalinya sekolah, temperatur selama wabah dan perilaku manusia menjadi faktor yang memiliki kaitan erat dengan masing-masing gelombang wabah.
"Secara khusus, penurunan gelombang kedua di musim dingin diikuti dengan kebangkitan [gelombang ketiga] hanya dapat dijelaskan melalui mode respons perilaku [manusia], setidaknya dalam kerangka kerja penelitian ini. Akhir dari gelombang pertama, setelah sejumlah kecil kematian terjadi, di sisi lain, lebih mungkin disebabkan oleh iklim atau dampak jangka waktu sekolah" tulis laporan tersebut.
Melihat hal ini semua bisa disimpulkan bahwa kapan wabah ini akan berakhir sangat tergantung pada interaksi kompleks antara manusia dengan virus (sistem imun), manusia dengan manusia (transmisi penyakit) serta faktor iklim.
Walau ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di bidang medis jauh lebih berkembang sekarag. Namun dengan adanya globalisasi di mana dunia menjadi lebih
integrated dan
borderless menyisakan ancaman yang sangat serius bagi perekonomian global. Ekonomi berpotensi mengalami kontraksi berkepanjangan dan periode pemulihah berjalan sangat lambat.
Selagi vaksin dan pengobatan yang efektif belum ditemukan, maka perang belum usai. Jika lengah dalam melakukan pelonggaran
lockdown & pembatasan sosial, musuh tak kasat mata bisa sewaktu-waktu kembali menyerang. Waspadalah! Waspadalah!
TIM RISET CNBC INDONESIA