
Round Up
Dinamika Pengusaha & Buruh: Tsunami PHK hingga THR Dicicil!
Ferry Sandi, CNBC Indonesia
11 May 2020 07:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Data terkini untuk pekerja PHK dan dirumahkan akibat pandemi corona (COVID-19) memang masih banyak versi. Ada versi pengusaha yang jumlahnya lebih besar, ada juga versi pemerintah, terdiri dari Kemenaker hingga BP Jamsostek.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan di tengah pandemi sejauh ini mencapai 7 juta orang.
"Yang di rumahkan atau dicutikan di luar tanggungan perusahaan (unpaid leave), itu kondisinya mayoritas. Tapi kalau yang PHK, relatif sedikit," Ungkap Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani kepada CNBC Indonesia, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, angka tersebut, tak hanya pemutusan hubungan kerja (PHK). Tapi dari perusahaan yang melakukan cuti atau merumahkan karyawan yang jumlahnya diprediksi jumlahnya cukup besar.
Ia menyebut data terakhir di BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek), yang mulai mengalami kesulitan bayar jika di equivalent kan dengan jumlah tenaga kerjanya, sudah mencapai 7 juta. Jumlah ini jauh lebih besar dari data resmi pemerintah.
"Ini baru di bulan April sudah seperti itu, kenaikannya sudah sangat signifikan," jelasnya.
Adapun perusahaan yang mengalami kesulitan sebanyak 30 ribu. Di antaranya merupakan perusahaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
"Yang menengah ke bawah ini memang sudah bermasalah, kalau terus seperti ini, sangat mengkhawatirkan, sebab masyarakat yang menjadi miskin, jumlahnya jadi signifikan," katanya.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) sempat mengungkapkan data per 1 Mei bahwa jumlah pekerja sektor formal yang telah dirumahkan akibat pandemi sebanyak 1.032.960 orang. Sementara pekerja sektor formal yang di-PHK sebanyak 375.165 orang.
Sedangkan pekerja sektor informal yang terdampak Covid-19 sebanyak 314.833 orang. Dengan demikian, total pekerja sektor formal dan informal yang terdampak Covid-19 sebanyak 1.722.958 orang.
Persoalan lain di masa pandemi ini adalah pembayaran tunjangan hari raya (THR). Pemerintah melalui Kemenaker sudah mengizinkan perusahaan untuk menyicil pembayaran THR secara bertahap.
Hal ini tentu mendapat protes dari kalangan buruh. Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S. Cahyono menilai Menaker seharusnya menegakkan aturan dengan menjalankan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan, di mana seharusnya pengusaha wajib membayar THR kepada buruh sebesar 1 kali gaji untuk pegawai yang sudah satu tahun bekerja.
"Mestinya yang dilakukan (Menaker) melakukan penegakan hukum. Bukan justru melakukan pelanggaran hukum," kata Kahar.
Ia mengingatkan bahwa ada sanksi administratif bagi perusahaan yang tidak menjalankan aturan tersebut. Apalagi ini hak karyawan.
"Upah harusnya H-7 sebelum lebaran. Sementara menaker buka ruang untuk nggak bayar 100%. Dikatakan dirundingkan. Namanya hak itu nggak perlu dirundingkan lagi," sebutnya.
Di sisi lain, kalangan pengusaha tetap meminta pengertian dari pegawai mengenai kondisi terkini. Banyak pengusaha disebutnya sudah tidak lagi mampu, jangankan untuk membayar THR, namun untuk membayar gaji dan biaya operasional pun sudah kesulitan.
"Kalau dibagi sekarang likuiditas nggak ada. Produksi bisa, tapi nggak ada yang beli, yang kedua kalo beli sekarang saya rasa nggak bisa dinikmati dalam konteks budaya lebaran, karena nggak bisa kemana-kemana juga," kata Wakil Ketua Umum Kadin bidang Perdagangan Benny Soetrisno.
(sef/sef) Next Article Akibat Corona, Pengusaha Hanya Mampu Bertahan Sampai Juni
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan di tengah pandemi sejauh ini mencapai 7 juta orang.
"Yang di rumahkan atau dicutikan di luar tanggungan perusahaan (unpaid leave), itu kondisinya mayoritas. Tapi kalau yang PHK, relatif sedikit," Ungkap Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani kepada CNBC Indonesia, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, angka tersebut, tak hanya pemutusan hubungan kerja (PHK). Tapi dari perusahaan yang melakukan cuti atau merumahkan karyawan yang jumlahnya diprediksi jumlahnya cukup besar.
Ia menyebut data terakhir di BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek), yang mulai mengalami kesulitan bayar jika di equivalent kan dengan jumlah tenaga kerjanya, sudah mencapai 7 juta. Jumlah ini jauh lebih besar dari data resmi pemerintah.
"Ini baru di bulan April sudah seperti itu, kenaikannya sudah sangat signifikan," jelasnya.
Adapun perusahaan yang mengalami kesulitan sebanyak 30 ribu. Di antaranya merupakan perusahaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
"Yang menengah ke bawah ini memang sudah bermasalah, kalau terus seperti ini, sangat mengkhawatirkan, sebab masyarakat yang menjadi miskin, jumlahnya jadi signifikan," katanya.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) sempat mengungkapkan data per 1 Mei bahwa jumlah pekerja sektor formal yang telah dirumahkan akibat pandemi sebanyak 1.032.960 orang. Sementara pekerja sektor formal yang di-PHK sebanyak 375.165 orang.
Sedangkan pekerja sektor informal yang terdampak Covid-19 sebanyak 314.833 orang. Dengan demikian, total pekerja sektor formal dan informal yang terdampak Covid-19 sebanyak 1.722.958 orang.
Persoalan lain di masa pandemi ini adalah pembayaran tunjangan hari raya (THR). Pemerintah melalui Kemenaker sudah mengizinkan perusahaan untuk menyicil pembayaran THR secara bertahap.
Hal ini tentu mendapat protes dari kalangan buruh. Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S. Cahyono menilai Menaker seharusnya menegakkan aturan dengan menjalankan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan, di mana seharusnya pengusaha wajib membayar THR kepada buruh sebesar 1 kali gaji untuk pegawai yang sudah satu tahun bekerja.
"Mestinya yang dilakukan (Menaker) melakukan penegakan hukum. Bukan justru melakukan pelanggaran hukum," kata Kahar.
Ia mengingatkan bahwa ada sanksi administratif bagi perusahaan yang tidak menjalankan aturan tersebut. Apalagi ini hak karyawan.
"Upah harusnya H-7 sebelum lebaran. Sementara menaker buka ruang untuk nggak bayar 100%. Dikatakan dirundingkan. Namanya hak itu nggak perlu dirundingkan lagi," sebutnya.
Di sisi lain, kalangan pengusaha tetap meminta pengertian dari pegawai mengenai kondisi terkini. Banyak pengusaha disebutnya sudah tidak lagi mampu, jangankan untuk membayar THR, namun untuk membayar gaji dan biaya operasional pun sudah kesulitan.
"Kalau dibagi sekarang likuiditas nggak ada. Produksi bisa, tapi nggak ada yang beli, yang kedua kalo beli sekarang saya rasa nggak bisa dinikmati dalam konteks budaya lebaran, karena nggak bisa kemana-kemana juga," kata Wakil Ketua Umum Kadin bidang Perdagangan Benny Soetrisno.
(sef/sef) Next Article Akibat Corona, Pengusaha Hanya Mampu Bertahan Sampai Juni
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular