Curhatan Hati Pengusaha Mal, Babak Belur Dihantam COVID-19

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
28 April 2020 07:51
Pengunjung melintas di Blok M Mall, Jakarta, Kamis (7/2/2019). Blok M pernah jadi primadona pusat perbelanjaan Jakarta pada periode 1990 hingga awal 2000-an, namun saat ini sepi. (CNBC Indonesia / Andrean Kristianto)
Foto: Pengunjung melintas di Blok M Mall, Jakarta, Kamis (7/2/2019). Blok M pernah jadi primadona pusat perbelanjaan Jakarta pada periode 1990 hingga awal 2000-an, namun saat ini sepi. (CNBC Indonesia / Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Para tenant atau penyewa gerai atau ritel di pusat perbelanjaan atau mal mengaku sedang kesulitan membayar cicilan kepada pengelola. Penyebabnya adalah tidak lancar cashflow akibat kesulitan dalam menjalankan usaha karena penerapan skema Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membuat mal-mal tutup.

Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengungkapkan saat ini para penyewa banyak yang mengajukan keringanan biaya sewa. Skemanya tergantung kepada masing-masing mal, dengan penurunan biaya sewa maupun jangka waktunya diperpanjang.



"Kita memang nggak lakukan pembayaran penuh, mungkin sedang dilakukan pencicilan dan minta keringanan. Utamakan karyawan dulu dalam jangka sementara untuk bertahan. Nilainya ya B2B (business to business)," sebut Budihardjo, Senin (27/4/2020).

Ia juga menginstruksikan secara langsung para tenant untuk berterus terang kepada pengelola tentang kondisi yang dialami. Sehingga diharapkan ada penurunan biaya.

Meski dia tidak bisa menyembunyikan tetap kesulitan membayar, sekalipun ada penurunan biaya. Pasalnya, uang yang masuk bagi beberapa tenant pun tidak ada.

"Di situ kebijaksanaan mal, apa nanti bisa diberikan penundaan jangka panjang terhadap mereka yang tutup tadi. Karena mereka kan benar-benar nggak bisa buka. Intinya mau niat, tapi kas nggak ada bingung juga. Itu yang saya minta kebijaksanaannya ditunda apa gimana," jelasnya.



Meski demikian, ada sejumlah tenant yang dinilai mendapat limpahan untung dalam kondisi saat ini, yakni ritel, toko farmasi atau obat. Ritel-ritel dengan basis itu diharapkan tetap bisa membayar cicilan sebagaimana mestinya.

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan juga membenarkan situasi ini. "Ada tenant yang sekarang untung banyak kan. Contoh Supermarket yang beli ngantre, farmasi juga laku. Yang pasti malnya rugi, mana ada yang untung, operasional dan pendapatan nggak imbang," katanya kepada CNBC Indonesia.

Mengenai permintaan penurunan harga sewa, Stefanus sudah menerima sejumlah permintaan. Bahkan semenjak beberapa waktu lalu.

"Dari awal mereka juga minta keringanan dan udah diberikan sama mal-mal. Dan saya kira udah dibicarakan sama antara tenant dan mal yang disewa. Tiap mal, tiap tenant kondisinya beda," paparnya.

Imbasnya, para pengelola pusat perbelanjaan juga menjadi kesulitan. Pasalnya, mereka tetap harus mengeluarkan biaya operasional yang tidak sedikit.

"Operasional nggak ada penurunan sama sekali, dikit saja. Penggunaan listrik tetap jalan. Nggak mungkin digelapin, security tetap jaga, hand sanitizer lebih banyak. Jadi saya kira yang di sini, bandingan tenant dan mal, malnya lebih menderita dari tenant," kata Presiden Direktur PT Pakuwon Jati Tbk itu.

Selain operasional, biaya untuk Pajak pun tidak kalah memberatkan. Ia menyebut, jumlahnya tidak sedikit, mencapai puluhan miliar untuk satu mall yang ada di wilayah pusat Jakarta.

"Semua total (Pajak Bumi dan Bangunan) Kokas (Kota Kasablanka) Rp 30 m kira-kira. Jadi saya kira ngga gampang. Uang dapat dari mana? Uang ngga dapet apa-apa (pendapatan)," sebutnya.

PT Pakuwon Jati Tbk memang memegang beberapa properti di Jakarta, selain Kokas, ada Gandaria City Superblock, Blok M Plaza serta Apartemen Somerset Berlian.

Dalam situasi sulit saat ini, hampir semua properti tidak bisa diandalkan untuk meraup pendapatan. Sementara di sisi lain, ada beban yang harus dibayar.

"Contoh PBB DKI katanya sama dengan tahun lalu. Gimana mau bayar, duitnya aja ga ada. Sekarang duitnya ngga terima-terima, bayarnya miliaran. Semestinya bisa ngerti lah Pemda DKI, PBB mestinya kalau ini perlu dibebaskan. Bisnisnya aja ngga jelas. Kalau sama dengan tahun lalu gimana caranya?" sebut Stefanus.

Pengusaha sudah habis-habisan dalam nilai rugi. Hal ini tidak lepas dari kepatuhan mengikuti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sebagaimana imbauan dari pemerintah.

Sayangnya, Pemerintah dinilai justru tidak bisa balik kooperatif dengan memberi keringanan. Selain belum ada sinyal keringanan pajak, biaya operasional dasar seperti listrik dan air juga masih belum ada penurunan.

Stefanus mengatakan sudah mengajukan surat keringanan ke sejumlah instansi terkait dalam keringanan biaya operasional, misalnya PT PLN (Persero), Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Namun, hasilnya nihil.

"Nggak ada. Kesannya nggak bisa ngasih, tapi kan sebab dia juga oh ini Menteri BUMN, ESDM, Menkeu. Kita udah kirimin semuanya tapi sampai sekarang nggak ada balasan. Soalnya PLN sendiri nggak gampang," ungkapnya.

[Gambas:Video CNBC]





(sef/sef) Next Article Akibat Corona, Pengusaha Hanya Mampu Bertahan Sampai Juni

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular