
Gegara Corona, Puasa-Lebaran Jadi Penuh Keprihatinan
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 May 2020 09:27

Jakarta, CNBC Indonesia - Ramadan-Idul Fitri seharusnya menjadi momentum suka-cita, kebahagiaan, dan perayaan. Namun gara-gara pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), puasa-lebaran tahun ini jadi penuh keprihatinan.
Biasanya Ramadan-Idul Fitri adalah puncak konsumsi rumah tangga. Peningkatan konsumsi lalu dicerminkan oleh lonjakan inflasi.
Misalnya pada 2015. Kala itu Ramadan jatuh pada 17 Juni dan Idul Fitri ditetapkan 17 Juli. Inflasi pada Juni dan Juli 2015 begitu tinggi yaitu masing-masing 0,54% dan 0,93% secara bulanan (month-to-month/mtm).
Bahkan pada tahun-tahun sebelumnya inflasi saat Ramadan-Idul Fitri bisa lebih tinggi. Pada 2013, di mana Ramadan adalah 8 Juli-7 Agustus, inflasi bulanan pada Juli mencapai 3,02%!
Akan tetapi, 2020 bukan tahun sembarangan. Periode yang membuat susah seluruh umat manusia.
Penyebabnya apalagi kalau bukan pandemi virus corona. Gara-gara penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu, miliaran manusia terpaksa (atau dipaksa oleh negara) tinggal di rumah. Bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.
Bukan apa-apa, virus corona menyebar dengan sangat cepat. Dalam tempo kurang dari lima bulan, jumlah penderita virus corona di seluruh dunia sudah lebih dari 3,8 juta orang. Korban jiwa tidak kurang dari 265.000 ribu orang.
Virus corona menyebar seiring tingkat intensitas interaksi dan kontak antar-manusia. Jadi untuk mempersempit ruang gerak penyebaran virus, manusia dibuat tidak melakukan kontak. Apalagi sampai berkerumun dalam jarak dekat.
Kebijakan pembatasan sosial (social distancing) sampai karantina wilayah (lockdown) menjadi hal yang umum diterapkan di banyak negara. Ketika miliaran manusia #dirumahaja, bagaimana permintaan bisa tinggi?
Social distancing dan lockdown membuat orang-orang hanya makan-tidur-kerja, makan-tidur-kerja, makan-tidur-kerja. Tidak ada yang namanya nongkrong di warung kopi, nonton bioskop, belanja di mal, rekreasi ke pantai, buka puasa bersama sahabat lama, dan sebagainya. Oleh karena itu, peningkatan permintaan menjadi sangat terbatas bahkan mungkin malah turun.
Belum lagi pemerintah memberi restu bagi pengusaha untuk menunda atau mencicil pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR). Padahal THR adalah uang kaget yang menjadi kunci utama pendorong permintaan saat Ramadan-Idul Fitri. Masyarakat yang tanpa tambahan pemasukan, apalagi kalau tidak ada pemasukan sama sekali karena menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), tentu akan kesulitan menambah pengeluaran.
"Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) pada minggu pertama Mei 2020, perkembangan harga-harga pada Mei 2020 diperkirakan mengalami deflasi sebesar -0,10% (mtm), lebih rendah dari bulan sebelumnya. Sehingga inflasi secara tahun kalender sebesar 0,74%, dan secara tahunan sebesar 2,02%," sebut keterangan tertulis Bank Indonesia (BI).
Wow. Ramadan-Idul Fitri bisa deflasi. Cuma 2020 yang bisa begini...
Deflasi menunjukkan kelesuan permintaan sehingga dunia usaha dan penjual ragu untuk menaikkan harga. Bagaimana bisa menaikkan harga, wong pembeli di rumah semua. Bagaimana bisa menaikkan harga, wong pembeli sedang tidak ada dana.
Keprihatinan pada musim Ramadan-Idul Fitri juga tergambar dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). BI melaporkan IKK pada April 2020 sebesar 84,8. Turun drastis dari bulan sebelumnya yaitu 113,8 sekaligus menjadi yang terendah sejak Juli 2008!
IKK menggunakan angka 100 sebagai titik start. Di atas 100 berarti konsumen pede, sebaliknya kalau di bawah 100 konsumen pesimistis.
Diblejeti sedikit lebih dalam, IKK terbagi dalam dua sub-indeks besar yaitu Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK). Dari dua sub-indeks ini, IKE yang mengalami penurunan paling dalam hingga ke 62,8.
"Persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini melemah cukup dalam, ditengarai akibat dampak penyebaran Covid-19," sebut keterangan tertulis BI.
IKE dibagi lagi menjadi tiga sub-indeks yaitu Penghasilan Saat ini, Ketersediaan Lapangan Kerja, dan Pembelian Barang Tahan Lama. Ketiganya menurun drastis dan berada di bawah 100.
Namun dari tiga sub-indeks di IKE, paling parah dialami Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja. Pandemi virus corona yang memaksa orang-orang 'terpenjara' di rumah membuat aktivitas ekonomi mati suri sehingga lapangan kerja semakin sempit.
"Penurunan optimisme konsumen seiring dengan keyakinan terhadap ketersediaan lapangan kerja yang semakin menurun. Hal tersebut disebabkan banyaknya pengurangan tenaga kerja yang dilakukan oleh perusahaan akibat pandemi Covid-19. Tercatat menurut data Kementerian Ketenagakerjaan per 20 April, jumlah tenaga kerja yang dirumahkan dan terkena PHK telah mencapai 2,08 juta pekerja," papar laporan BI.
Cerita pedih akibat wabah virus corona memang seakan tanpa henti. Bahkan virus ini sudah merenggut momen yang seharusnya menjadi saat-saat yang penuh tawa dan gembira-ria yaitu Ramadan-Idul Fitri.
Semoga cobaan ini segera berlalu...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Biasanya Ramadan-Idul Fitri adalah puncak konsumsi rumah tangga. Peningkatan konsumsi lalu dicerminkan oleh lonjakan inflasi.
Misalnya pada 2015. Kala itu Ramadan jatuh pada 17 Juni dan Idul Fitri ditetapkan 17 Juli. Inflasi pada Juni dan Juli 2015 begitu tinggi yaitu masing-masing 0,54% dan 0,93% secara bulanan (month-to-month/mtm).
Akan tetapi, 2020 bukan tahun sembarangan. Periode yang membuat susah seluruh umat manusia.
Penyebabnya apalagi kalau bukan pandemi virus corona. Gara-gara penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu, miliaran manusia terpaksa (atau dipaksa oleh negara) tinggal di rumah. Bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.
Bukan apa-apa, virus corona menyebar dengan sangat cepat. Dalam tempo kurang dari lima bulan, jumlah penderita virus corona di seluruh dunia sudah lebih dari 3,8 juta orang. Korban jiwa tidak kurang dari 265.000 ribu orang.
Virus corona menyebar seiring tingkat intensitas interaksi dan kontak antar-manusia. Jadi untuk mempersempit ruang gerak penyebaran virus, manusia dibuat tidak melakukan kontak. Apalagi sampai berkerumun dalam jarak dekat.
Kebijakan pembatasan sosial (social distancing) sampai karantina wilayah (lockdown) menjadi hal yang umum diterapkan di banyak negara. Ketika miliaran manusia #dirumahaja, bagaimana permintaan bisa tinggi?
Social distancing dan lockdown membuat orang-orang hanya makan-tidur-kerja, makan-tidur-kerja, makan-tidur-kerja. Tidak ada yang namanya nongkrong di warung kopi, nonton bioskop, belanja di mal, rekreasi ke pantai, buka puasa bersama sahabat lama, dan sebagainya. Oleh karena itu, peningkatan permintaan menjadi sangat terbatas bahkan mungkin malah turun.
Belum lagi pemerintah memberi restu bagi pengusaha untuk menunda atau mencicil pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR). Padahal THR adalah uang kaget yang menjadi kunci utama pendorong permintaan saat Ramadan-Idul Fitri. Masyarakat yang tanpa tambahan pemasukan, apalagi kalau tidak ada pemasukan sama sekali karena menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), tentu akan kesulitan menambah pengeluaran.
"Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) pada minggu pertama Mei 2020, perkembangan harga-harga pada Mei 2020 diperkirakan mengalami deflasi sebesar -0,10% (mtm), lebih rendah dari bulan sebelumnya. Sehingga inflasi secara tahun kalender sebesar 0,74%, dan secara tahunan sebesar 2,02%," sebut keterangan tertulis Bank Indonesia (BI).
Wow. Ramadan-Idul Fitri bisa deflasi. Cuma 2020 yang bisa begini...
Deflasi menunjukkan kelesuan permintaan sehingga dunia usaha dan penjual ragu untuk menaikkan harga. Bagaimana bisa menaikkan harga, wong pembeli di rumah semua. Bagaimana bisa menaikkan harga, wong pembeli sedang tidak ada dana.
Keprihatinan pada musim Ramadan-Idul Fitri juga tergambar dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). BI melaporkan IKK pada April 2020 sebesar 84,8. Turun drastis dari bulan sebelumnya yaitu 113,8 sekaligus menjadi yang terendah sejak Juli 2008!
IKK menggunakan angka 100 sebagai titik start. Di atas 100 berarti konsumen pede, sebaliknya kalau di bawah 100 konsumen pesimistis.
Diblejeti sedikit lebih dalam, IKK terbagi dalam dua sub-indeks besar yaitu Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK). Dari dua sub-indeks ini, IKE yang mengalami penurunan paling dalam hingga ke 62,8.
"Persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini melemah cukup dalam, ditengarai akibat dampak penyebaran Covid-19," sebut keterangan tertulis BI.
IKE dibagi lagi menjadi tiga sub-indeks yaitu Penghasilan Saat ini, Ketersediaan Lapangan Kerja, dan Pembelian Barang Tahan Lama. Ketiganya menurun drastis dan berada di bawah 100.
Namun dari tiga sub-indeks di IKE, paling parah dialami Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja. Pandemi virus corona yang memaksa orang-orang 'terpenjara' di rumah membuat aktivitas ekonomi mati suri sehingga lapangan kerja semakin sempit.
"Penurunan optimisme konsumen seiring dengan keyakinan terhadap ketersediaan lapangan kerja yang semakin menurun. Hal tersebut disebabkan banyaknya pengurangan tenaga kerja yang dilakukan oleh perusahaan akibat pandemi Covid-19. Tercatat menurut data Kementerian Ketenagakerjaan per 20 April, jumlah tenaga kerja yang dirumahkan dan terkena PHK telah mencapai 2,08 juta pekerja," papar laporan BI.
Cerita pedih akibat wabah virus corona memang seakan tanpa henti. Bahkan virus ini sudah merenggut momen yang seharusnya menjadi saat-saat yang penuh tawa dan gembira-ria yaitu Ramadan-Idul Fitri.
Semoga cobaan ini segera berlalu...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Most Popular