
Pak Jokowi! Nasib UMKM Perlu Juga Diperhatikan di Omnibus Law
Ferry Sandi, CNBC Indonesia
04 May 2020 12:05

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR Puan Maharani sepakat menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Bila klaster ketenagakerjaan keluar dari pembahasan omnibus law, maka yang harus diprioritaskan adalah justru sektor yang banyak menciptakan lapangan kerja dalam skala besar yaitu Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
"Menurut saya fokusnya haruslah pada pemberdayaan Usaha Kecil Menengah. Bukankah tujuan utama dari Undang-Undang Cipnaker ini adalah untuk menciptakan lapangan kerja bagi rakyat Indonesia," kata Pengamat Ekonomi, Peneliti Senior Institute of Developing Entrepreneurship Sutrisno Iwantono kepada CNBC Indonesia, Senin (4/5).
Ia mengatakan sektor UMKM selama ini harus jadi perhatian, karena selain sebagai penyerap tenaga kerja yang besar, tapi banyak aspek yang belum diperhatikan antara lain ketentuan soal upah, soal saluran aspirasi dan lainnya yang tak tersalurkan. Selain itu, soal perpajakan bagi UMKM, hingga persoalan definisi dan kriteria yang masih rancu dan beragam.
Iwantono mengatakan berdasarkan data dari Kantor Kementerian Koperasi pada tahun 2018 terdapat 64.199.606 unit usaha di Indonesia, terdiri dari Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) 64.194.057 unit dan Usaha Besar (UB) 5.550 unit. UMKM tersebut menyerap tenaga kerja 120.598.138 orang atau 97%.
Sedang yang diserap usaha besar adalah 3.619.507 orang atau 3%. Tenaga kerja pada sektor usaha besar yang 3% inilah sebagian di antaranya diwadahi dalam organisasi buruh atau sarikat pekerja, masih banyak yang tidak. Ia mengatakan anggota sarikat pekerja ini sangat kecil tetapi mereka terorganisir sehingga sanggup memberikan tekanan politis yang kuat pada pemerintah maupun DPR, sedangkan UMKM sebaliknya.
Menurutnya pelaku UMKM meskipun mereka mampu menyerap 97% dari angkatan kerja di Indonesia tetapi mereka tidak terorganisir, sehingga tidak dapat menyampaikan aspirasinya di ruang public, apalagi melakukan tekanan politis.
Selain itu, pekerja di UMKM memang belum semua mengacu pada upah minimum. Ia bilang menurut data BPS pada Agustus 2019 rata-rata upah per orang per bulan menurut lapangan pekerjaan, yang paling rendah di sektor jasa lainnya yaitu Rp 1.770.103, sedang yang paling tinggi di sektor pertambangan dan penggalian Rp 5.029.084, lapangan pekerjaan lain sebagian besar angkanya antara Rp 2 s/d Rp 3 juta, contoh di pertanian sektor yang menyumbang paling besar tenaga kerja tingkat upahnya adalah Rp. 2.051.084.
"Jika usaha mikro dan kecil (UMK) ini harus bayar sebesar upah minimum maka akan bangkrut semua. Karena itulah sudah sepatutnya upah minimum tidak berlaku di UMKM. Karena itulah kalau kita ingin menciptakan lapangan kerja, maka pemberdayaan UMKM itu adalah kata kunci," katanya.
Pentingnya pemberdayaan UKM ini tak terpisahkan dari aspek serapan tenaga kerja. Saat ini Indonesia punya pengangguran terbuka saat ini ada 7,05 juta orang dan akan bertambah sangat masif akibat krisis ekonomi dampak pandemi korona ini. Lebih dari itu setiap tahun akan ada penambahan angkatan kerja baru sekitar 2,3 juta orang. Tentu yang paling terbuka bisa menampung mereka adalah sektor UMKM. Sedangkan masalahnya belum ada UU yang konkret melindungi UMKM
"Dibanding undang-undang sebelumnya tidak ada muatan yang kongkret bisa langsung mengangkat posisi UMKM. Soal kriteria UMKM saja Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 yang sekarang berlaku, menurut saya sudah tidak relevan lagi, sudah terlalu sempit dan tidak memberikan ruang gerak untuk meningkatkan kelas dan jauh ketinggalan di banding pesaingnya di negara lain," katanya
Ia bilang apalagi setiap lembaga punya definisi masing-masing. Menurut undang-undang yang dibuat 12 tahun lalu itu kriteria UKM adalah misalnya Usaha Mikro omset di bawah Rp 300 juta per tahun asset di bawah Rp 50 juta, Usaha Kecil antara Rp 300 juta sampai Rp 2,5 miliar aset antara Rp 50 juta sd Rp 500 juta, dan Usaha Menengah antara Rp Rp2,5 sampai Rp 50 miliar.
Di Thailand Usaha Kecil sektor manufaktur modal adalah Rp 22 miliar ke bawah tidak termasuk tanah, kalau Usaha Menengah antara Rp 22 sd 90 miliar. Di Vietnam untuk Usaha Kecil di pertanian modal sampai dengan Rp 60 M, Omset usaha untuk Usaha Kecil sampai Rp 50 miliar, sedang Usaha Menengah sampai Rp 250 miliar.
"Jadi bagaimana UKM kita bisa bersaing bila disandingkan dengan usaha yang sama dari negara lain?" tanya Iwantono.
Ia bilang UKM Center Feb Universitas Indonesia dalam penelitian tahun 2018 menyimpulkan bahwa: definisi UKM yang digunakan di Indonesia saat ini, baik yang berdasarkan omzet, aset, maupun tenaga kerja, masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan negara-negara pesaing seperti Tiongkok, Malaysia dan Vietnam.
"Sehingga kalau di negara lain usaha kecil atau menengah masih mendapatkan fasilitas perpajakan atau perkreditan dan perlindungan dari pemerintah, maka di Indonesia sudah tidak mendapatkan apa-apa. Jika seperti itu bagaimana UMKM kita bisa bersaing dengan negara lain," katanya.
Iwantono mengatakan yang tak kalah penting dalam Omnibus Law ini harus dibahas perpajakan bagi sektor UMKM. Sekarang itu, usaha kecil menurut pajak adalah omset di bawah Rp 4,8 M yang dapat pajak final 0,5%, dan ini hanya berlaku 3 tahun untuk UMKM yang berbadan hukum. Setelah lewat 3 tahun mereka tidak lagi diperlakukan sebagai UMKM yang dikenakan pajak final.
Ia bilang ada dua kelemahan yang pertama angka Rp 4,8 miliar itu sudah terlalu kecil, sejak tahun 2013 angkanya seperti itu tidak berubah. Selain itu, jangka waktu hanya 3 tahun, setelah itu tidak berlaku.
"Masalahnya membuat pembukuan untuk pajak itu yang sulit dilakukan bagi usaha kecil, bayangkan kalau harus mengganji tenaga yang bisa membuat administrasi sebagaimana dikehendaki oleh laporan pajak, dia harus gaji 1 orang Rp. 4,5 juta per bulan, setahun sudah Rp. 54 juta. Untungnya saja tidak ada segitu, hal ini yang memberatkan," katanya
"Apalagi saya dengar untuk pajak UMK ini akan dibikin klaster-klaster misalnya tukang cukur akan dikenakan pajak final 5 persen, matilah mereka. Pada akhirnya nanti mereka tidak lagi menjadi wajib pajak yang patuh dan negara kehilangan sumber pendapatan. Karena itu besaran omset dan jangka waktu seharusnya diperbaiki," katanya
Menurutnya soal kriteria sebaiknya diselaraskan saja angka-angka dengan negara lain yang menjadi pesaing Indonesia, paling tidak misalnya untuk kriteria omset saja usaha mikro itu omset antara Rp 100 juta sd Rp 2 miliar, usaha kecil antara Rp 2 sampai 10 miliar, usaha menengah antara Rp10 sd Rp 40 miliar. Sedangkan untuk besarnya aset dan tenaga kerja menyesuaikan saja dengan referensi negara lain.
Ia mengusulkan usaha yang omzetnya di bawah Rp 100 juta per tahun usaha yang diberi perlakuan khusus, karena bukan usaha sungguhan, orang yang terpaksa kerja karena tak ada pekerjaan lain, sehingga tidak pernah berkelanjutan.
"Hari ini dagang koran, 2 minggu kemudian nganggur, seminggu berikutnya jadi kuli bangunan, bulan berikutnya dagang buah, jualan pasir dan seterusnya tidak menentu. Ada yang mengatakan bahwa berubah-ubah ini adalah cerminan usaha yang inovatif," katanya.
Selain itu, bisa juga ada dorongan ke sektor perbankan untuk memberdayakan UMKM, antara lain dibuat ketentuan kongkret bank diwajibkan untuk mengalokasikan kredit dalam jumlah perse tertentu untuk memberdayakan UMKM.
"Sebenarnya masih sangat banyak isu detail yang harus dibahas, dan sekali lagi Omnibus Law sebaiknya focus untuk pemberdayaan UMKM," katanya.
(hoi/hoi) Next Article Aturan Baru, Kerja Lembur Ditambah & Ada yang Tak Dibayar!
"Menurut saya fokusnya haruslah pada pemberdayaan Usaha Kecil Menengah. Bukankah tujuan utama dari Undang-Undang Cipnaker ini adalah untuk menciptakan lapangan kerja bagi rakyat Indonesia," kata Pengamat Ekonomi, Peneliti Senior Institute of Developing Entrepreneurship Sutrisno Iwantono kepada CNBC Indonesia, Senin (4/5).
Ia mengatakan sektor UMKM selama ini harus jadi perhatian, karena selain sebagai penyerap tenaga kerja yang besar, tapi banyak aspek yang belum diperhatikan antara lain ketentuan soal upah, soal saluran aspirasi dan lainnya yang tak tersalurkan. Selain itu, soal perpajakan bagi UMKM, hingga persoalan definisi dan kriteria yang masih rancu dan beragam.
Sedang yang diserap usaha besar adalah 3.619.507 orang atau 3%. Tenaga kerja pada sektor usaha besar yang 3% inilah sebagian di antaranya diwadahi dalam organisasi buruh atau sarikat pekerja, masih banyak yang tidak. Ia mengatakan anggota sarikat pekerja ini sangat kecil tetapi mereka terorganisir sehingga sanggup memberikan tekanan politis yang kuat pada pemerintah maupun DPR, sedangkan UMKM sebaliknya.
Menurutnya pelaku UMKM meskipun mereka mampu menyerap 97% dari angkatan kerja di Indonesia tetapi mereka tidak terorganisir, sehingga tidak dapat menyampaikan aspirasinya di ruang public, apalagi melakukan tekanan politis.
Selain itu, pekerja di UMKM memang belum semua mengacu pada upah minimum. Ia bilang menurut data BPS pada Agustus 2019 rata-rata upah per orang per bulan menurut lapangan pekerjaan, yang paling rendah di sektor jasa lainnya yaitu Rp 1.770.103, sedang yang paling tinggi di sektor pertambangan dan penggalian Rp 5.029.084, lapangan pekerjaan lain sebagian besar angkanya antara Rp 2 s/d Rp 3 juta, contoh di pertanian sektor yang menyumbang paling besar tenaga kerja tingkat upahnya adalah Rp. 2.051.084.
"Jika usaha mikro dan kecil (UMK) ini harus bayar sebesar upah minimum maka akan bangkrut semua. Karena itulah sudah sepatutnya upah minimum tidak berlaku di UMKM. Karena itulah kalau kita ingin menciptakan lapangan kerja, maka pemberdayaan UMKM itu adalah kata kunci," katanya.
Pentingnya pemberdayaan UKM ini tak terpisahkan dari aspek serapan tenaga kerja. Saat ini Indonesia punya pengangguran terbuka saat ini ada 7,05 juta orang dan akan bertambah sangat masif akibat krisis ekonomi dampak pandemi korona ini. Lebih dari itu setiap tahun akan ada penambahan angkatan kerja baru sekitar 2,3 juta orang. Tentu yang paling terbuka bisa menampung mereka adalah sektor UMKM. Sedangkan masalahnya belum ada UU yang konkret melindungi UMKM
"Dibanding undang-undang sebelumnya tidak ada muatan yang kongkret bisa langsung mengangkat posisi UMKM. Soal kriteria UMKM saja Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 yang sekarang berlaku, menurut saya sudah tidak relevan lagi, sudah terlalu sempit dan tidak memberikan ruang gerak untuk meningkatkan kelas dan jauh ketinggalan di banding pesaingnya di negara lain," katanya
Ia bilang apalagi setiap lembaga punya definisi masing-masing. Menurut undang-undang yang dibuat 12 tahun lalu itu kriteria UKM adalah misalnya Usaha Mikro omset di bawah Rp 300 juta per tahun asset di bawah Rp 50 juta, Usaha Kecil antara Rp 300 juta sampai Rp 2,5 miliar aset antara Rp 50 juta sd Rp 500 juta, dan Usaha Menengah antara Rp Rp2,5 sampai Rp 50 miliar.
Di Thailand Usaha Kecil sektor manufaktur modal adalah Rp 22 miliar ke bawah tidak termasuk tanah, kalau Usaha Menengah antara Rp 22 sd 90 miliar. Di Vietnam untuk Usaha Kecil di pertanian modal sampai dengan Rp 60 M, Omset usaha untuk Usaha Kecil sampai Rp 50 miliar, sedang Usaha Menengah sampai Rp 250 miliar.
"Jadi bagaimana UKM kita bisa bersaing bila disandingkan dengan usaha yang sama dari negara lain?" tanya Iwantono.
Ia bilang UKM Center Feb Universitas Indonesia dalam penelitian tahun 2018 menyimpulkan bahwa: definisi UKM yang digunakan di Indonesia saat ini, baik yang berdasarkan omzet, aset, maupun tenaga kerja, masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan negara-negara pesaing seperti Tiongkok, Malaysia dan Vietnam.
"Sehingga kalau di negara lain usaha kecil atau menengah masih mendapatkan fasilitas perpajakan atau perkreditan dan perlindungan dari pemerintah, maka di Indonesia sudah tidak mendapatkan apa-apa. Jika seperti itu bagaimana UMKM kita bisa bersaing dengan negara lain," katanya.
Iwantono mengatakan yang tak kalah penting dalam Omnibus Law ini harus dibahas perpajakan bagi sektor UMKM. Sekarang itu, usaha kecil menurut pajak adalah omset di bawah Rp 4,8 M yang dapat pajak final 0,5%, dan ini hanya berlaku 3 tahun untuk UMKM yang berbadan hukum. Setelah lewat 3 tahun mereka tidak lagi diperlakukan sebagai UMKM yang dikenakan pajak final.
Ia bilang ada dua kelemahan yang pertama angka Rp 4,8 miliar itu sudah terlalu kecil, sejak tahun 2013 angkanya seperti itu tidak berubah. Selain itu, jangka waktu hanya 3 tahun, setelah itu tidak berlaku.
"Masalahnya membuat pembukuan untuk pajak itu yang sulit dilakukan bagi usaha kecil, bayangkan kalau harus mengganji tenaga yang bisa membuat administrasi sebagaimana dikehendaki oleh laporan pajak, dia harus gaji 1 orang Rp. 4,5 juta per bulan, setahun sudah Rp. 54 juta. Untungnya saja tidak ada segitu, hal ini yang memberatkan," katanya
"Apalagi saya dengar untuk pajak UMK ini akan dibikin klaster-klaster misalnya tukang cukur akan dikenakan pajak final 5 persen, matilah mereka. Pada akhirnya nanti mereka tidak lagi menjadi wajib pajak yang patuh dan negara kehilangan sumber pendapatan. Karena itu besaran omset dan jangka waktu seharusnya diperbaiki," katanya
Menurutnya soal kriteria sebaiknya diselaraskan saja angka-angka dengan negara lain yang menjadi pesaing Indonesia, paling tidak misalnya untuk kriteria omset saja usaha mikro itu omset antara Rp 100 juta sd Rp 2 miliar, usaha kecil antara Rp 2 sampai 10 miliar, usaha menengah antara Rp10 sd Rp 40 miliar. Sedangkan untuk besarnya aset dan tenaga kerja menyesuaikan saja dengan referensi negara lain.
Ia mengusulkan usaha yang omzetnya di bawah Rp 100 juta per tahun usaha yang diberi perlakuan khusus, karena bukan usaha sungguhan, orang yang terpaksa kerja karena tak ada pekerjaan lain, sehingga tidak pernah berkelanjutan.
"Hari ini dagang koran, 2 minggu kemudian nganggur, seminggu berikutnya jadi kuli bangunan, bulan berikutnya dagang buah, jualan pasir dan seterusnya tidak menentu. Ada yang mengatakan bahwa berubah-ubah ini adalah cerminan usaha yang inovatif," katanya.
Selain itu, bisa juga ada dorongan ke sektor perbankan untuk memberdayakan UMKM, antara lain dibuat ketentuan kongkret bank diwajibkan untuk mengalokasikan kredit dalam jumlah perse tertentu untuk memberdayakan UMKM.
"Sebenarnya masih sangat banyak isu detail yang harus dibahas, dan sekali lagi Omnibus Law sebaiknya focus untuk pemberdayaan UMKM," katanya.
(hoi/hoi) Next Article Aturan Baru, Kerja Lembur Ditambah & Ada yang Tak Dibayar!
Most Popular