Terjangkit Corona, Ekonomi Negara G-20 Luluh Lantak

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
01 May 2020 12:01
Momen Jokowi dan Trump berbincang di KTT G20 Osaka Jepang, Juni 2019 (Instagram/Jokowi)
Foto: Momen Jokowi dan Trump berbincang di KTT G20 Osaka Jepang, Juni 2019 (Instagram/Jokowi)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Covid-19) yang kini merebak di berbagai penjuru dunia telah membuat ekonomi global luluh lantak. Pada kuartal pertama tahun 2020 saja, ekonomi negara-negara G20 banyak yang mengalami kontraksi.

Dampak pandemi Covid-19 yang kini menginfeksi lebih dari 3 juta orang di berbagai penjuru dunia memang dahsyat. Krisis ekonomi yang timbul pun berbeda dari krisis-krisis sebelumnya. Jika dua krisis sebelumnya (dot com bubble & 2008 global financial crisis) murni karena fenomena di sektor keuangan, krisis kali ini justru dipicu oleh fenomena di lapangan yang merembet ke mana-mana.

Pandemi Covid-19 menyerang faktor produksi dari ekonomi itu sendiri yakni manusia. Orang yang terinfeksi virus corona akan mengalami gangguan sistem pernapasan dengan gejala seperti batuk, sesak napas, nyeri dada hingga pneumonia. Virus ini menyebar dengan sangat cepat. Banyak negara memilih opsi lockdown untuk menekan penyebaran virus.  


Namun opsi lockdown harus dibayar mahal. Dengan adanya lockdown di berbagai berbagai belahan dunia terutama di negara-negara anggota G20 seperti AS, Italia, Spanyol, Perancis, China, hingga Singapura aktivitas perekonomian pun terhambat.

Dalam kondisi lockdown, orang-orang dilarang keluar rumah dan beraktivitas seperti biasa, pabrik dan perkantoran banyak yang tutup atau beroperasi tetapi tidak dengan kapasitas penuh. Akibatnya produksi menurun, rantai pasok menjadi terganggu dan permintaan melemah. 

Fenomena ini lah yang menjadi ancaman terbesar bagi perekonomian yang kemudian disebut oleh Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai The Great Lockdown dalam laporannya.

Konsekuensi lockdown terhadap perekonomian terlihat jelas ketika banyak negara G20 mulai merilis angka keramatnya (pertumbuhan ekonomi) kuartal pertama tahun 2020 ini. Sebagai informasi, output perekonomian negara-negara G20 menyumbang lebih dari 80% Produk Domestik Bruto (PDB) global sehingga melihat kontraksi yang terjadi di banyak negara G20 bisa memberikan gambaran bahwa ekonomi global memang sedang suram.

Pertama tengoklah Paman Sam. Pada kuartal pertama 2020, ekonomi AS mengalami kontraksi 4,8% (annualized). Ini merupakan kontraksi terdalam sejak 2008 dan menjadi kontraksi pertama sejak 2014. Angka pengangguran di AS pun melonjak tajam. Sejak 21 Maret sudah ada 30,3 juta orang yang mengajukan klaim pengangguran di AS.

Beralih ke Eropa, mengacu pada data Trading Economics, perekonomian zona Eropa mengalami kontraksi 3,3% secara year on year (yoy) pada kuartal pertama 2020 ini. Negara-negara yang terjangkit Covid-19 dan menerapkan lockdown besar-besaran di Eropa seperti Spanyol, Itaia dan Perancis harus merasakan perekonomiannya anjlok signifikan.

Ekonomi Negeri Matador ambles 4,1% (yoy) pada 1Q20, jauh lebih rendah dari estimasi pasar yang memperkirakan angka kontraksinya hanya minus 3,2%. Kontraksi yang terjadi di Spanyol merupakan yang terdalam sejak kuartal kedua 2009.

Beralih ke negara asal Liga Serie A, setelah PDB-nya tumbuh 0,1% pada kuartal ke-IV 2019, ekonomi Italia harus terkontraksi sebesar 4,8% (yoy) pada 1Q20 akibat dirongrong oleh virus ganas yang membuat Italia melakukan lockdown nasional sejak Maret lalu. Akibatnya ekonomi Italia harus menderita kontraksi terdalam sejak kuartal ketiga tahun 2003.

Senasib dengan Spanyol dan Italia, Perancis juga mencatatkan kinerja perekonomian yang buruk. Ekonomi Perancis mengalami kontraksi 5,4% (yoy) pada 1Q20 ini. Ketiga negara ini memang menjadi negara dengan jumlah penderita Covid-19 terbanyak di Eropa. Per hari ini saja jumlah kasus kumulatif Covid-19 di ketiga negara tersebut sudah mencapai angka 435.697 atau setara dengan 13,4% dari total kasus global.

Sekarang saatnya beralih ke zona Asia. China sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia melaporkan ekonominya mengalami kontraksi sebesar 6,8% (yoy) pada 1Q20. Ini merupakan kontraksi pertama sejak rilis data tahun 1992 dan bisa menjadi gambaran betapa menyeramkannya dampak Covid-19 terhadap perekonomian mengingat China menjadi negara pertama yang terjangkit wabah.

China juga menjadi pionir dalam menerapkan strategi lockdown yang dinilai ampuh dan kemudian diikuti oleh berbagai negara lain seperti kebanyakan negara Eropa. Saat kasus sudah mulai mendekati angka 1.000, pemerintah pusat China memutuskan untuk mengkarantina Wuhan dan puluhan kota lainnya pada 23 Maret lalu. Aktivitas ekonomi di Provinsi Hubei pun lumpuh. Namun dengan lockdown yang ketat dan disiplin ini, China mampu menangani wabah Covid-19 dan kini roda perekonomiannya sudah mulai berputar kembali.

Berbeda dengan kebanyakan negara-negara lain yang menerapkan lockdown, Korea Selatan menjadi satu-satunya negara dengan 'style' penanganan Covid-19 yang berbeda. Ketimbang memperlambat laju roda perekonomian, Korea Selatan lebih memilih untuk melakukan tes Covid-19 masal ketika jumlah kasus melonjak signifikan pada akhir Februari lalu.



Dengan strategi tersebut Korea Selatan berhasil menekan angka kasus Covid-19 di negaranya berada di kisaran 10 ribu. Namun dampak ekonomi yang ditimbulkan dari merebaknya wabah Covid-19 juga tak bisa dihindari oleh Korea Selatan. Pada kuartal pertama tahun ini, PDB Korea Selatan hanya tumbuh 1,3% (yoy).

Kontraksi ekonomi di berbagai negara anggota G20 sudah mencerminkan bahwa dampak dari Covid-19 memang begitu dahsyatnya. IMF memperkirakan ekonomi global akan mengalami kontraksi pada 2020 sebesar 3% sebelum akhirnya rebound di tahun 2021.

Jika pandemi tak segera berhenti merebak hingga semester II 2020, maka kontraksi akan bertambah sebanyak 3 poin persentase (pp) menjadi -6%. Padahal, Januari lalu IMF masih memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia berada di angka 3,3% tahun ini.



“Kemungkinan besar tahun ini, ekonomi global akan mengalami resesi yang hebat sejak Great Depression, melampaui krisis keuangan global satu dekade lalu” kata Gita Gopinath, Kepala Ekonom IMF, melansir CNBC International.

“Ini adalah sebuah periode krisis di mana guncangan yang terjadi tidak dapat dikendalikan dengan kebijakan ekonomi mengingat kita tidak tahu kapan pandemi akan berakhir” tambahnya

Berbagai upaya terus dilakukan oleh banyak negara terutama anggota G20. Salah satu upaya untuk menyelamatkan perekonomian adalah dengan memberikan stimulus untuk perekonomian. 

Center for Strategic & International Studies (CSIS) mencatat Pada 29 April, negara-negara G20 diperkirakan menyediakan US$ 6,3 triliun dalam dukungan fiskal yang mewakili 9,3 persen dari PDB 2019 G20.

Dari total, US$ 3,2 triliun akan digunakan untuk mendukung pengeluaran pemerintah (4,8% PDB 2019 G20). Angka ini naik dari US$ 2,1 triliun (3,1% PDB G20) pada 10 April. Penyaluran kredit berkontribusi sebesar  US$ 2,3 triliun sementara untuk stimulus berupa keringanan pajak mencapai US$ 0,8 triliun.

Namun di sisi lain CSIS juga mencatat bahwa dukungan fiskal negara berkembang anggota G20 masih lebih rendah dibanding negara maju. Dukungan fiskal negara berkembang G20 per 29 April rata-rata hanya sebesar 3,2% PDB. Pun angka tersebut sudah naik 1,2 pp sejak 10 April 2020. Namun besarnya masih di bawah rata-rata stimulus fiskal negara maju yang mencapai 11,6% PDB.





TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Wah! China Lockdown Kota Karena 70 Kasus Corona

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular