
Atasi Defisit APBN, Apa BI Bakal Cetak Uang Banyak?
Lidya Julita S, CNBC Indonesia
30 April 2020 15:26

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) tidak akan mencetak uang secara berlebih untuk menambah likuiditas perbankan maupun untuk pembiayaan defisit fiskal pemerintah. BI lebih memilih cara lain seperti menurunkan giro wajib minimum (GWM) hingga membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, bank sentral seluruh dunia memang mempunyai kewenangan dalam mencetak uang untuk menambah likuiditas yang disebut dengan Modern Monetary Theory (MMT).
Namun, cara tersebut dinilai terlalu berisiko karena nantinya jika kondisi kembali membaik, akan susah menyerap kembali saat likuiditas yang beredar terlalu besar.
"Esensinya, beda. Kalau pencetakan uang itu bank sentral menambah uang yang beredar tapi tidak mampu nanti kalau kelebihan likuiditas, misalnya tahun depan kelebihan likuiditas, kemudian nggak mampu menyerap lagi," ujar Perry melalui teleconference, Kamis (30/4/2020).
Ia mencontohkan yang terjadi saat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BI) pada tahun 1998 yang menyebabkan inflasi melonjak tinggi hingga 67%. Saat itu BI mengeluarkan atau mencetak uang untuk membeli Surat Utang Pemerintah (SUP).
"SUP-nya itu tidak tradable, suku bunganya itu mendekati 0%. Karena tidak tradable mendekati 0%, kemudian inflasinya naik, bank sentral tidak bisa menggunakan SUP ini untuk menyerap likuiditas. Kenapa di 98-99 itu inflasinya 67%. Itu yang disebut pencetakan uang. Beda dengan yang kita lakukan sekarang," jelasnya.
Oleh karenanya, saat ini BI lebih memilih melakukan operasi moneter dalam menjaga kecukupan likuiditas perbankan. Diantaranya menurunkan GWM yang telah dilakukan sejak awal tahun.
"Kalau bank-bank punya kebutuhan likuiditas bisa datang ke BI membawa SBNnya untuk di-repokan atau diganti. Itu cara lain untuk melakukan ekspansi likuiditas. Demikian juga kalau kami membeli SBN dari pasar sekunder yang dijual oleh asing. Inilah praktik-praktik dalam kaidah-kaidah moneter. Esensinya, bedanya dengan pencetakan uang," tegasnya.
(dru) Next Article Besok RI Pilih Presiden Baru, BI Sebut Keyakinan Konsumen Meningkat
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, bank sentral seluruh dunia memang mempunyai kewenangan dalam mencetak uang untuk menambah likuiditas yang disebut dengan Modern Monetary Theory (MMT).
Namun, cara tersebut dinilai terlalu berisiko karena nantinya jika kondisi kembali membaik, akan susah menyerap kembali saat likuiditas yang beredar terlalu besar.
Ia mencontohkan yang terjadi saat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BI) pada tahun 1998 yang menyebabkan inflasi melonjak tinggi hingga 67%. Saat itu BI mengeluarkan atau mencetak uang untuk membeli Surat Utang Pemerintah (SUP).
"SUP-nya itu tidak tradable, suku bunganya itu mendekati 0%. Karena tidak tradable mendekati 0%, kemudian inflasinya naik, bank sentral tidak bisa menggunakan SUP ini untuk menyerap likuiditas. Kenapa di 98-99 itu inflasinya 67%. Itu yang disebut pencetakan uang. Beda dengan yang kita lakukan sekarang," jelasnya.
Oleh karenanya, saat ini BI lebih memilih melakukan operasi moneter dalam menjaga kecukupan likuiditas perbankan. Diantaranya menurunkan GWM yang telah dilakukan sejak awal tahun.
"Kalau bank-bank punya kebutuhan likuiditas bisa datang ke BI membawa SBNnya untuk di-repokan atau diganti. Itu cara lain untuk melakukan ekspansi likuiditas. Demikian juga kalau kami membeli SBN dari pasar sekunder yang dijual oleh asing. Inilah praktik-praktik dalam kaidah-kaidah moneter. Esensinya, bedanya dengan pencetakan uang," tegasnya.
(dru) Next Article Besok RI Pilih Presiden Baru, BI Sebut Keyakinan Konsumen Meningkat
Most Popular