Harga Minyak Dunia Anjlok, RI Bisa Kehilangan Rp 200 T!

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
23 April 2020 13:48
Foto: skkmigas.go.id
Foto: skkmigas.go.id
Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi corona (Covid-19) membuat harga minyak dunia anjlok. Anjloknya harga minyak ini berdampak ke semua sektor industri migas dari hulu hingga ke hilir.

Pergerakan harga minyak dunia membuat pelaku industri migas was-was, apalagi minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) sempat minus dua hari lalu karena kontrak Mei yang berakhir di 21 April.
Jatuhnya harga WTI ini juga sempat menyeret turun Brent hingga ke bawah level US$ 18 per barel, terendah dalam 18 tahun terakhir.

Ini membuat industri migas nasional cukup was-was, mengingat Brent adalah patokan harga minyak yang cukup dekat dengan harga minyak nasional (ICP).

Hari ini, harga minyak untuk kontrak Juni mulai tampak ada peningkatan, karena mulai Mei perjanjian OPEC+ untung pangkas produksi mulai berlaku. Brent kembali terdongkrak ke atas level US$ 20 per barel.



Dengan pergerakan harga minyak dunia yang labil ini, bagaimana risikonya di penerimaan negara untuk sektor migas?

Dari sisi hulu Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat akan terjadi penurunan pendapatan hingga sekitar 32%.

Outloook gross revenue tahun ini semula ditargetkan sebesar US$ 32 miliar atau setara Rp 496 triliun dengan kurs rupah Rp 15.500 terhadap dolar AS.

Namun pendapatan ini bisa anjlok sampai 32% jadi US$ 19,95 miliar atau setara Rp 294 triliun jika rata-rata ICP setahun di level US$ 38 per barel berdasar hitungan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). Artinya, Indonesia kehilangan potensi mendapatkan Rp 200 triliun dari sektor ini.

"Pertumbuhan penerimaan yang diharapkan US$ 32,09 miliar di APBN mungkin akan jadi US$ 19,95 miliar karena adanya penurunan harga minyak," ungkap Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto.

Kondisi ICP sendiri cukup memprihatinkan dalam 3 bulan terakhir. Asumsi makro APBN 2020 masih optimistis rata-rata ICP dalam setahun di angka US$ 63 per barel.

Namun ICP sejak awal tahun terus merosot. ICP Maret misalnya sudah anjlok ke level US$ 34 per barel, jauh dibanding asumsi makro APBN. Sementara untuk ICP April belum keluar, namun beberapa pakar memproyeksi akan ada di bawah level US$ 30 per barel mengingat pergerakan minyak dunia selama ini cukup mengguncangkan.

SKK Migas mencatat realisasi lifting minyak pada Kuartal I 2020 hanya mencapai 701,6 ribu barel per hari (MBPOD). Di bawah target APBN sebesar 755 MBPOD atau baru mencapai 92,9% dari target APBN.

Juga masih di bawah realiasasi tahun 2019 sebesar 746,3 MBPOD dan target WP&B Tekhnis 704,3 MBPOD. Anjloknya lifting juga terjadi di sektor gas, di mana realiasasi Kuartal I hanya hanya mencapai 5.866 MMSCFD sementara target APBN sebesar 6.670 MMSCFD atau baru mencapai 87,9%.

SKK Migas menyampaikan jika tahun ini diprediksi lifting minyak akan turun menjadi 725 MBPOD atau turun sekitar 4% dari target tahun ini. Sementara untuk gas menjadi 5727 MMSCFD.

"Kita melakukan koordinasi dengan KKKS mereview rencana kerja, usulan WP&B 2020 kita cari jalan keluar agar berubahnya tidak terlalu lebar. Dengan harga minyak rendah keekonomian lapangan jadit terganggu," ungkapnya. 

[Gambas:Video CNBC]




(gus/gus) Next Article ICP Anjlok ke US$ 20, SKK: Investasi Migas Mengkhawatirkan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular