Tak Jadi Episentrum Corona, Kok Neraca Dagang Jepang Anjlok?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
20 April 2020 13:42
jepang Virus Outbreak Japan Daily Life
Foto: Jepang (AP/Jae C. Hong)

Jakarta, CNBC Indonesia - Meski negaranya tak menjadi episentrum kasus corona (strain baru), Jepang melaporkan penurunan perdagangan Maret, dengan nilai ekspor yang anjlok ke titik yang terparah dalam 4 tahun terakhir.

Jepang sempat dipuji menjadi negara yang relatif kecil penyebaran pandemi COVID-19, karena kuatnya budaya bersih dan kedisiplinan masyarakat mengenakan masker. Pemerintah Jepang juga tidak mengenakan kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat (lockdown).

 

Namun, efek wabah tersebut tetap saja memukul perekonomian Jepang menyusul perlambatan sektor manufaktur di berbagai negara maju yang menjadi mitra dagang utamanya. Ekspor ke pasar AS, misalnya, anjlok dengan laju tercepat sejak 2011, memukul produk otomotif mereka.

Data Menteri Keuangan menunjukkan ekspor Jepang anjlok 11,7% sepanjang bulan lalu (secara tahunan). Angka ini lebih buruk dari konsensus ekonom di polling Reuters yang memperkirakan koreksi hanya 10,1%. Ini melanjutkan koreksi pada Februari yang mencapai 1% dan menjadi koreksi terburuk sejak Juli 2016.

Di sisi lain, impor anjlok 5%, atau sedikit lebih baik dari hasil polling yang memperkirakan penurunan hingga 9,8%. Pada Februari, penurunan pos impor mencapai 13,9%, sehingga total surplus perdagangan Negeri Samurai tersebut sebesar 4,9 miliar yen (US$ 45,47 juta).

Ketimpangan laju koreksi antara impor dan ekspor tersebut mengindikasikan bahwa ekonomi domestik Jepang bergulir lebih baik dari ekonomi di negara-negara yang menjadi pasar tujuan ekspornya. Permintaan energi dan bahan baku di kalangan pelaku usaha mereka tertekan dengan laju yang lebih rendah dari yang dialami pelaku usaha di China dan AS.

 

China yang menjadi episentrum wabah COVID-19 mengalami penurunan aktivitas usaha sehingga ekspor Jepang ke mitra dagang utamanya ini anjlok 8,7% Maret lalu. Produk ekspor utama Jepang ke Negeri Panda meliputi suku cadang mobil, bahan organik, dan mesin chip.

AS yang menjadi mitra dagang utama kedua Jepang juga mengalami penurunan permintaan sehingga ekspor ke Negeri Sam itu anjlok 16,5%, menjadi koreksi terbesar sejak April 2011. Produk ekspor utama Jepang ke AS adalah mobil, alat elektronik, motor pesawat, dan mesin pertambangan dan konstruksi.

Di sisi lain, ekspor ke kawasan Asia, yang menyumbang lebih dari separuh ekspor Jepang, anjlok 9,4%. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada negara yang kebal dari pukulan COVID-19 terhadap perekonomian mereka. Apalagi, perekonomian dunia diprediksi terlempar kembali ke level era Depresi Akbar tahun 1930-an.

[Gambas:Video CNBC]




Rilis data perdagangan yang buruk menciptakan tantangan baru bagi Perdana Menteri Shinzo Abe dalam menghadapi “efek impor” dari wabah COVID-19, di tengah tantangan yang sudah lebih dahulu muncul terkait dengan eskalasi penyebaran virus tersebut.

Saat ini, Negeri Matahari Terbit melaporkan lebih dari 9.000 infeksi COVID-19 dan 200 korban yang meninggal. Namun dalam dua pekan terakhir, jumlah kasus baru penderita virus ini melonjak lebih dari dua kali lipat.

Oleh karena itu, Abe pekan lalu mengumumkan perluasan status darurat Corona berlaku nasional, tidak hanya di Tokyo. Status ini berkonsekuensi pada lockdown parsial yakni pemberlakuan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) dan penutupan bisnis.

Untuk menghadapi kendala yang dihadapi pelaku usaha akibat pukulan virus corona ke bisnis mereka, Jepang menyiapkan paket stimulus senilai 108 triliun yen (Rp 15.000 triliun), yang setara dengan seperlima dari Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Sakura tersebut.

Bagi Indonesia, rilis neraca dagang Jepang Maret menjadi lampu kuning, mengingat posisinya sebagai tujuan ekspor utama produk non-migas kita, setelah China. Posisi Jepang sangat strategis sebagai perekonomian terbesar ketiga dunia, setelah AS dan China.

Dari sisi komposisi, impor Jepang terbesar adalah bahan bakal mineral (dengan porsi 21,6%). Indonesia menjadi salah satu penyuplai batu bara dan migas ke Jepang, yang kebanyakan dipasok dari Kalimantan Timur (Kaltim).

Ekspor lainnya adalah hasil laut (udang, rumput laut), komoditas alam (karet, , Secara total, nilai perdagangan Indonesia ke Jepang mencapai US$ 18,15 miliar pada tahun lalu, setara dengan 2,52% dari porsi impor Jepang. Indonesia menjadi pemasok terbesar ke-11 bagi Jepang.

Merespons neraca perdagangan Jepang yang kurang memuaskan, bursa Jepang melemah. Hanya saja, bursa Asia secara umum bergerak variatif dan beberapa di antaranya menghijau menyambut kabar China bakal membuka lagi aktivitas ekonomi dan bisnisnya setelah berhasil menangani wabah.

Pelaku pasar berharap pemulihan ekonomi China bakal memicu bergulirnya kembali ekonomi Jepang dan negara lain, yang pada gilirannya membantu mengerem penurunan ekonomi global di tengah wabah COVID-19 tahun ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/sef) Next Article RI Masih Tekor Dagang Sama Australia dan Thailand

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular