Ribut Soal Harga BBM, Bensin RI Ternyata Masih Murah di ASEAN

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
19 April 2020 19:48
Harga BBM Sepekan
Foto: Karyawan berjalan melewati salah satu titik akses ke kilang perusahaan minyak negara, Petroleos Mexicanos (Pemex) di Salamanca, di negara bagian Guanajuato, Meksiko 8 Januari 2019. REUTERS / Daniel Becerril

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah koreksi harga minyak mentah dunia, muncul tuntutan dari beberapa kalangan terhadap pemerintah (melalui PT Pertamina) untuk menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) nasional karena dinilai kemahalan.

Salah satunya adalah Rudi Rubiandini, mantan Kepala Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas yang menilai harga BBM di Malaysia sekarang sudah turun dan lebih murah dari Indonesia. Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) juga menuntut hal serupa.

Lalu benarkah harga BBM kita terhitung mahal di kawasan Asia Tenggara (ASEAN), sehingga harganya perlu dan bisa diturunkan sesegera mungkin? Berikut ini ulasan Tim Riset CNBC Indonesia.

Sepanjang tahun berjalan, harga minyak mentah dunia memang tercatat anjlok. Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) anjlok 70% secara tahun berjalan (year to date/YTD) ke US$ 18,27 per barel pada Jumat kemarin.

Di sisi lain, harga minyak Brent yang menjadi acuan Eropa (dan juga Indonesia) tercatat melemah dengan laju lebih lambat dari WTI, yakni sebesar 57,45%, ke level US$ 28,08 per barel. Akhir tahun lalu, harga energi utama dunia ini masih bercokol di level US$ 66 per barel.

Di atas kertas, ketika harga minyak mentah dunia turun, maka harga BBM yang dijual ke konsumen pun semestinya ikut turun. Hal ini misalnya terjadi di Amerika Serikat (AS) di mana harga BBM mereka kini rata-rata dijual di bawah level US$ 2 per galon.

CNBC International melaporkan harga BBM di Negeri Sam tersebut rata-rata dihargai US$1,99 per barel akhir Maret lalu, alias anjlok 25,8% dibandingkan dengan posisi akhir Maret 2019. Secara tahun berjalan, harga tersebut turun 23% dari posisi akhir tahun lalu US$ 2,6/galon.

Meski sejalan dengan harga minyak dunia, besaran penurunan harga BBM di AS itu terhitung lebih kecil dari koreksi harga minyak dunia, mengingat harga minyak WTI yang menjadi acuan Negara Adidaya itu anjlok 70% sepanjang tahun berjalan.

Pertamina sebenarnya telah menurunkan harga jual BBM pada 1 Februari lalu. Harga BBM nonsubsidi Pertamina saat ini yaitu pertamax turbo dibanderol Rp.9.850 per liter, pertamax Rp.9.000 per liter, dan pertalite Rp.7.650 per liter.

Lalu haruskah Indonesia memangkas kembali harga Pertamax, Pertalite dan sejenisnya agar sejalan dengan tren di negara maju tersebut?

Mahal dan murah memang relatif. Untuk barang seperti BBM yang sifat permintaannya adalah elastis sempurna, selisih harga menjadi kurang relevan karena keberadaan produk substitusi. Parameter mahal-tidaknya di mata konsumen pun bergantung pada ketersediaan barang substitusi atau penggantinya di pasar.

Kenaikan harga Pertamax, misalnya dengan mudah mendorong konsumen beralih ke produk lain seperti Pertalite yang harganya lebih murah. Peralihan terjadi begitu cepat karena fungsi kedua barang tersebut relatif sama dan ketersediaan barangnya juga sama. Inilah elastis sempurna.

Untuk itu, ada baiknya kita menimbang harga BBM di Indonesia dengan memperbandingkannya terhadap harga bahan bakar serupa di kawasan Asia Tenggara, guna melihat apakah harga “substitusi” BBM kita di negara lain itu lebih murah atau mahal.

Jika mengacu pada Global Petrol Prices, yang diakses pada 13 April 2020, harga BBM Indonesia dipatok di level US$ 0,58 atau Rp 9.000 per liter. Artinya, harga BBM yang diperbandingkan oleh situs tersebut adalah BBM non-subsidi yakni Pertamax.

Bila dibandingkan dengan tujuh negara ASEAN (minus Myanmar dan Brunei karena datanya tak tersedia), harga Pertamax masih lebih murah dibandingkan dengan harga BBM di lima negara ASEAN dan hanya lebih mahal dari dua negara ASEAN lain yakni Malaysia dan Vietnam.

Jadi, Rudi Rubandini tak mengada-ada ketika mengatakan bahwa harga BBM di Malaysia lebih murah. Namun, dia tak mengungkap fakta yang lebih besar bahwa lebih banyak negara tetangga di Asia Tenggara yang harga BBM-nya lebih mahal dari kita.

Lalu, jika kita memakai harga Pertalite sebagai perbandingan, yang sebesar Rp 7.650 atau setara dengan US$ 0,49 per liter, maka hanya Malaysia-lah yang menjadi negara dengan harga bensinnya masih lebih murah ketimbang bensin Indonesia.

Mengapa Malaysia bisa begitu murah bensinnya? Jawabannya karena negara tersebut adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang produksi minyaknya relatif aman, sehingga masih menjadi anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).

Menurut data CEIC, produksi minyak Malaysia tercatat 650.000 barel per hari (bph) dengan konsumsi 813.000 bph per 2018. Net impornya sebesar 25%. Indonesia, sebagai perbandingan, mengimpor 40% dari total konsumsi minyaknya yang nyaris menembus 1,8 juta bph.

Jika diperbandingkan dengan rata-rata harga di kawasan, harga bensin kita baik Pertamax maupun Pertalite masih terhitung lebih murah karena masih di bawah rerata harga bensin di negara ASEAN yang berada di level US$ 0,77 per liter.

Kepada pers, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyatakan bahwa wewenang penurunan harga BBM ada pada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pihaknya siap menjalankan apapun keputusan pemerintah.

Jika mengacu pada ketentuan Kementerian ESDM, penetapan harga BBM memang harus mempertimbangkan beberapa faktor, mulai dari harga minyak dunia, inflasi, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Faktor kurs dihitung karena impor kita mencapai 40% dari konsumsi BBM, atau di kisaran 700.000 bph, alias 3 kali lebih besar dari impor minyak Malaysia.

Nah, rupiah sepanjang tahun berjalan telah melemah sebesar 1.520 perak atau 10% terhadap dolar AS, dari posisi awal tahun Rp 13.880 menjadi Rp 15.400 kemarin Jumat. Kondisi ini memaksa Pertamina mengumpulkan rupiah lebih banyak untuk mengimpor BBM (yang dibeli dalam dolar AS) dalam volume yang sama.

Menurut riset PT Bank Mandiri Tbk, setiap depresiasi rupiah sebesar Rp 100 terhadap dolar AS, kerugian operasional yang ditanggung Pertamina mencapai Rp 1,6 triliun. Mengacu pada hitungan tersebut, maka Pertamina menanggung kerugian hingga Rp 24,32 triliun. Jadi efek diskon harga minyak dunia pun berkurang karena selisih rugi kurs.

Di tengah kondisi tersebut, pukulan datang dari dalam negeri. Hingga Maret 2020, penjualan BBM amblas hingga 34,6% dari rerata penjualan normal akibat pembatasan sosial di berbagai daerah untuk menangani wabah COVID-19. Ini merupakan angka penjualan terendah sepanjang sejarah berdirinya perusahaan energi pelat merah ini.

Ketika permintaan lemah, sementara suplai berlimpah, maka Pertamina mau tidak mau harus memanfaatkan tangki-tangki penyimpanan dan bahkan menyewa fasilitas penampung dari swasta. Ini merupakan ongkos tambahan, di luar ongkos kilang yang terus berjalan untuk mengolah minyak mentah yang sudah dibeli baik dari kontraktor migas lokal maupun dari impor.

Seserius apa kondisi ini? Direktur Pelaksana Mizuho Securities Paul Sankey pada pertengahan Maret lalu menyebutkan ketika biaya penyimpanan minyak menjadi mahal, sementara permintaan sangat rendah, produsen minyak bakal merugi hingga ibaratnya bisa membayar orang untuk menyerap minyak mereka guna mengurangi biaya penyimpanan.

Berkaca pada AS, terlihat fakta bahwa penurunan harga BBM di tingkat konsumen tidak berjalan simetris secara penuh. Penurunan harga minyak WTI sebesar 70% tidak serta merta diikuti penurunan harga BBM dengan besaran sama, melainkan hanya 25%. Padahal, tidak ada risiko kurs di Negara Adidaya tersebut.

Jika AS saja yang merupakan negara net eksportir minyak—gelar yang baru diraih September tahun lalu, tidak bisa mentranslasikan penurunan harga minyak dunia secara simetris terhadap harga BBM di pasar domestik, lalu apa kabar Indonesia yang tertimpa depresiasi kurs?

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular