
Besok PSBB Berlaku di Jakarta, Ini Lockdown Bukan Sih?

Tanpa karantina wilayah, transportasi umum masih beroperasi dan warga bisa ke luar kota, meski dengan protokol baru (jam layanan dibatasi, pengguna harus pakai masker dan saling menjaga jarak). Ini masih membuka peluang penyebaran COVID-19 karena penderita virus ini kadang minim gejala dan bisa beraktivitas normal, termasuk bepergian.
Namun secara anggaran, biaya PSBB jelas lebih murah ketimbang karantina wilayah. Sejauh ini belum ada hitung-hitungan resmi pemerintah pusat mengenai beban total lockdown tersebut terhadap anggaran pemerintah pusat.
Mengutip Himbauan Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) terkait Penanganan Infeksi COVID-19, biaya yang dikeluarkan jika Ibu Kota Jakarta mengalami total lockdown (karantina wilayah) selama 14 hari adalah sekitar Rp 4 triliun.
Mengacu pada perhitungan tersebut, jika total lockdown dilakukan dalam skala nasional, maka dana jaminan pangan untuk 265 juta warga negara Indonesia mencapai Rp 6 triliun per hari, atau Rp 180 triliunan selama 1 bulan. Ini belum memasukkan dana kebutuhan listrik dan air.
Jika alokasi tersebut ditambahkan, maka nilainya bertambah seperempat—sesuai dengan rasio dalam perhitungan Dewan Guru Besar FKUI. Perhitungan bakal membengkak lagi jika ditambah dana jaminan pangan ternak dalam skala nasional. Kita akan dihadapkan pada data peternakan yang tumpang tindih di tiap daerah.
Dengan opsi PSBB, pemerintah tidak wajib memberi uang jaminan kebutuhan dasar untuk seluruh warga yang terdampak. Mereka hanya menyiapkan santunan untuk masyarakat yang paling rentan, dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan kartu pra kerja. Nilai dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang disiapkan adalah sebesar Rp 110 triliun untuk skala nasional.
Angka itu tidak hanya untuk menutup kebutuhan selama 14 hari, melainkan selama krisis ini berlangsung, atau sekitar 2-3 bulan. Badan Intelijen Negara (BIN) memprediksi wabah COVID-19 akan mencapai puncak pada Mei, sehingga kemungkinan mereda pada Juni.
Meski lebih hemat, JPS tetap berkonsekuensi besar bagi APBN. Pemerintah harus melebarkan defisit APBN menjadi 5%, dan mengeluarkan surat utang yang salah satu alokasi dananya untuk membiayai kebutuhan JPS tersebut. Dengan kata lain, meski ongkosnya lebih murah dari total lockdown, PSBB tetap saja membebani keuangan negara.
Dalam situasi krisis, memang tidak ada pilihan yang ideal terutama bagi keuangan negara. Namun menyantuni mereka yang paling membutuhkan jelas lebih realistis ketimbang memberi uang kaget ke semua orang, termasuk si kaya. Apalagi, di tengah anggaran negara yang cekak.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ags/gus)