Besok PSBB Berlaku di Jakarta, Ini Lockdown Bukan Sih?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
09 April 2020 18:47
Besok PSBB Berlaku di Jakarta, Ini Lockdown Bukan Sih?
Foto: Kondisi terkini kota Wuhan usai Lockdown dicabut. (AP/Ng Han Guan)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menampik bakal berlakukan lockdownPresiden Joko Widodo (Jokowi) memilih Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak tanggal 30 Maret 2020, untuk mengendalikan penyebaran virus COVID-19. DKI Jakarta resmi memberlakukannya Jumat (10/4/2020) besok.

Lalu apa bedanya PSBB dengan karantina wilayah, dan samakah dengan lockdown yang sering disebutkan di berbagai media asing? Apa konsekuensi dari kebijakan ini dari sisi anggaran negara? Berikut ini ulasan Tim Riset CNBC Indonesia.

Lockdown merupakan pengertian populer yang kini banyak dipakai oleh media massa di seluruh dunia untuk mendefinisikan pembatasan aktivitas masyarakat di sebuah wilayah yang terjangkit virus corona baru. Dunia medis tidak mengenal istilah ini. Istilah yang dipakai adalah karantina.

Karantina berasal dari Bahasa Italia 'quarantena' yang berarti 40. Ini adalah metode pencegahan penyebaran penyakit menular yang diperkenalkan oleh ilmuwan Ibnu Sina (Avicenna) dalam bukunya The Canon of Medicine 1.000 tahun yang lalu. Caranya, dengan mengisolasi penderita penyakit menular selama 40 hari.

Nah, jika mengacu pada praktik saat ini, ada dua jenis lockdown yang dijalankan di dunia internasional: partial lockdown (di Italia) dan total lockdown (China). Baik total maupun parsial, lockdown sama-sama berarti pembatasan aktivitas sosial di wilayah yang terkontaminasi.

Bedanya, total lockdown memberlakukan karantina wilayah (pelarangan keluar-masuk orang dari zona wabah) di samping melarang warga keluar rumah. Ia setara dengan karantina penuh (full quarantine). Di sisi lain, partial lockdown hanya membatasi aktivitas masyarakat (social restriction) dengan mengerahkan aparat hukum, tak ada karantina wilayah.

Di Hubei China, anda ditangkap jika meninggalkan kota atau bahkan keluar rumah selama lockdown. Namun di Italia, anda masih bisa keluar rumah atau pergi ke kota lain untuk keperluan mendesak. Berdasarkan data yang dikompilasi Tim Riset CNBC Indonesia, sangat sedikit negara yang melakukan karantina wilayah (total lockdown).

Mengacu pada Undang-Undang (UU) Kekarantinaan Kesehatan, yakni UU Nomor 6 Tahun 2018, kekarantinaan kesehatan dimaknai sebagai "upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan."

Bentuknya? Ada banyak macam: mulai dari isolasi, disinfeksi, dekontaminasi, isolasi, hingga PPSB (social restriction) dan karantina. Hal ini diatur dalam pasal 15 UU itu. Karantina pun ada beberapa macam, mulai dari karantina rumah, karantina rumah sakit hingga karantina wilayah.

Indonesia kini memilih PSBB (social restriction), tanpa karantina wilayah. PSBB ini mirip dengan lockdown di Italia, di mana aktivitas sosial masyarakat dibatasi dengan melibatkan aparat yang diberi kewenangan menangkap pelanggar. Namun, angkutan umum masih beroperasi meski terbatas. Artinya, Indonesia menjalankan partial lockdown.

Tanpa karantina wilayah, transportasi umum masih beroperasi dan warga bisa ke luar kota, meski dengan protokol baru (jam layanan dibatasi, pengguna harus pakai masker dan saling menjaga jarak). Ini masih membuka peluang penyebaran COVID-19 karena penderita virus ini kadang minim gejala dan bisa beraktivitas normal, termasuk bepergian.

Namun secara anggaran, biaya PSBB jelas lebih murah ketimbang karantina wilayah. Sejauh ini belum ada hitung-hitungan resmi pemerintah pusat mengenai beban total lockdown tersebut terhadap anggaran pemerintah pusat.

Mengutip Himbauan Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) terkait Penanganan Infeksi COVID-19, biaya yang dikeluarkan jika Ibu Kota Jakarta mengalami total lockdown (karantina wilayah) selama 14 hari adalah sekitar Rp 4 triliun.

Mengacu pada perhitungan tersebut, jika total lockdown dilakukan dalam skala nasional, maka dana jaminan pangan untuk 265 juta warga negara Indonesia mencapai Rp 6 triliun per hari, atau Rp 180 triliunan selama 1 bulan. Ini belum memasukkan dana kebutuhan listrik dan air.

Jika alokasi tersebut ditambahkan, maka nilainya bertambah seperempat—sesuai dengan rasio dalam perhitungan Dewan Guru Besar FKUI. Perhitungan bakal membengkak lagi jika ditambah dana jaminan pangan ternak dalam skala nasional. Kita akan dihadapkan pada data peternakan yang tumpang tindih di tiap daerah.

Dengan opsi PSBB, pemerintah tidak wajib memberi uang jaminan kebutuhan dasar untuk seluruh warga yang terdampak. Mereka hanya menyiapkan santunan untuk masyarakat yang paling rentan, dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan kartu pra kerja. Nilai dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang disiapkan adalah sebesar Rp 110 triliun untuk skala nasional.

Angka itu tidak hanya untuk menutup kebutuhan selama 14 hari, melainkan selama krisis ini berlangsung, atau sekitar 2-3 bulan. Badan Intelijen Negara (BIN) memprediksi wabah COVID-19 akan mencapai puncak pada Mei, sehingga kemungkinan mereda pada Juni.

Meski lebih hemat, JPS tetap berkonsekuensi besar bagi APBN. Pemerintah harus melebarkan defisit APBN menjadi 5%, dan mengeluarkan surat utang yang salah satu alokasi dananya untuk membiayai kebutuhan JPS tersebut. Dengan kata lain, meski ongkosnya lebih murah dari total lockdown, PSBB tetap saja membebani keuangan negara.

Dalam situasi krisis, memang tidak ada pilihan yang ideal terutama bagi keuangan negara. Namun menyantuni mereka yang paling membutuhkan jelas lebih realistis ketimbang memberi uang kaget ke semua orang, termasuk si kaya. Apalagi, di tengah anggaran negara yang cekak.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular