BMKG: Suhu & Kelembapan RI Tak Ideal Bagi Penyebaran COVID-19
04 April 2020 14:42

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) baru saja menyelesaikan penelitian terkait dengan pengaruh cuaca dan iklim dalam penyebaran virus corona Covid-19.
Penelitian ini melibatkan 11 Doktor di Bidang Meteorologi, Klimatologi dan Matematika, serta didukung oleh Guru Besar dan Doktor di bidang Mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Hasil kajian tersebut menemukan bahwa cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung untuk kasus pandemi ini berkembang pada outbreak (penyebaran) yang pertama di negara atau wilayah dengan lintang tinggi.
Artinya, dapat disimpulkan sementara bahwa negara-negara dengan lintang tinggi cenderung mempunyai kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tropis. Hal ini sejalan dengan hasil analisa dari Sajadi et. al. (2020) serta Araujo dan Naimi (2020).
Selain itu, menurut hasil penelitian lainnya dari Chen et. al. (2020) dan Sajadi et. al. (2020) disebutkan bahwa kondisi udara ideal untuk virus corona adalah temperatur sekitar 8 - 10 °C dan kelembapan 60-90%. Artinya dalam lingkungan terbuka yang memiliki suhu dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi lingkungan yang kurang ideal untuk penyebaran kasus Covid-19.
"Para peneliti itu menyimpulkan bahwa kombinasi dari temperatur, kelembapan relatif cukup memiliki pengaruh dalam penyebaran transmisi COVID-19," kata Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG dalam siaran persnya, dikutip Sabtu (4/4/2020).
Lebih lanjut, penelitian ini juga menemukan bahwa semakin tinggi temperatur, maka kemungkinan adanya kasus COVID-19 harian akan semakin rendah (penelitian Bannister-Tyrrell et. al. (2020)). Kemudian, virus Corona ini cenderung lebih stabil dalam lingkungan suhu udara dingin dan kering (penelitian Wang et. al. (2020)).
Lalu, kenapa Indonesia sebagai negara tropis juga mengalami outbreak akibat corona?
Peneliti BMKG menemukan fakta bahwa outbreak yang terjadi di Indonesia dipengaruhi oleh pengaruh pergerakan atau mobilitas manusia dan interaksi sosial. Padahal, dengan kondisi cuaca dan iklim serta letak geografis Indonesia menjadi tempat yang relatif rendah untuk penyebaran virus ini.
"Indonesia yang juga terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata berkisar antara 27- 30 derajat celcius dan kelembapan udara berkisar antara 70-95%, dari kajian literatur sebenarnya merupakan lingkungan yang cenderung tidak ideal untuk outbreak COVID-19," lanjutnya.
"Namun demikian fakta menunjukkan bahwa kasus Gelombang ke-2 COVID-19 telah menyebar di Indonesia sejak awal Maret 2020 yang lalu. Hal tersebut diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh, daripada faktor cuaca dalam penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia," terang dia.
Laporan ini merekomendasikan agar publik tetap membatasi mobilitas dan interaksi sosialnya dan tetap menjaga kesehatan. Selain itu, penting juga untuk terus meningkatkan imunitas tubuh dengan memanfaatkan kondisi cuaca untuk beraktivitas atau berolahraga pada jam yang tepat, terutama di bulan April hingga puncak musim kemarau di bulan Agustus nanti.
"Karena cuaca yang sebenarnya menguntungkan ini, tidak akan berarti optimal tanpa penerapan seluruh upaya tersebut dengan lebih maksimal dan efektif," tutupnya.
(roy/roy)
Penelitian ini melibatkan 11 Doktor di Bidang Meteorologi, Klimatologi dan Matematika, serta didukung oleh Guru Besar dan Doktor di bidang Mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Hasil kajian tersebut menemukan bahwa cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung untuk kasus pandemi ini berkembang pada outbreak (penyebaran) yang pertama di negara atau wilayah dengan lintang tinggi.
Artinya, dapat disimpulkan sementara bahwa negara-negara dengan lintang tinggi cenderung mempunyai kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tropis. Hal ini sejalan dengan hasil analisa dari Sajadi et. al. (2020) serta Araujo dan Naimi (2020).
Selain itu, menurut hasil penelitian lainnya dari Chen et. al. (2020) dan Sajadi et. al. (2020) disebutkan bahwa kondisi udara ideal untuk virus corona adalah temperatur sekitar 8 - 10 °C dan kelembapan 60-90%. Artinya dalam lingkungan terbuka yang memiliki suhu dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi lingkungan yang kurang ideal untuk penyebaran kasus Covid-19.
"Para peneliti itu menyimpulkan bahwa kombinasi dari temperatur, kelembapan relatif cukup memiliki pengaruh dalam penyebaran transmisi COVID-19," kata Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG dalam siaran persnya, dikutip Sabtu (4/4/2020).
Lebih lanjut, penelitian ini juga menemukan bahwa semakin tinggi temperatur, maka kemungkinan adanya kasus COVID-19 harian akan semakin rendah (penelitian Bannister-Tyrrell et. al. (2020)). Kemudian, virus Corona ini cenderung lebih stabil dalam lingkungan suhu udara dingin dan kering (penelitian Wang et. al. (2020)).
Lalu, kenapa Indonesia sebagai negara tropis juga mengalami outbreak akibat corona?
Peneliti BMKG menemukan fakta bahwa outbreak yang terjadi di Indonesia dipengaruhi oleh pengaruh pergerakan atau mobilitas manusia dan interaksi sosial. Padahal, dengan kondisi cuaca dan iklim serta letak geografis Indonesia menjadi tempat yang relatif rendah untuk penyebaran virus ini.
"Indonesia yang juga terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata berkisar antara 27- 30 derajat celcius dan kelembapan udara berkisar antara 70-95%, dari kajian literatur sebenarnya merupakan lingkungan yang cenderung tidak ideal untuk outbreak COVID-19," lanjutnya.
"Namun demikian fakta menunjukkan bahwa kasus Gelombang ke-2 COVID-19 telah menyebar di Indonesia sejak awal Maret 2020 yang lalu. Hal tersebut diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh, daripada faktor cuaca dalam penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia," terang dia.
Laporan ini merekomendasikan agar publik tetap membatasi mobilitas dan interaksi sosialnya dan tetap menjaga kesehatan. Selain itu, penting juga untuk terus meningkatkan imunitas tubuh dengan memanfaatkan kondisi cuaca untuk beraktivitas atau berolahraga pada jam yang tepat, terutama di bulan April hingga puncak musim kemarau di bulan Agustus nanti.
"Karena cuaca yang sebenarnya menguntungkan ini, tidak akan berarti optimal tanpa penerapan seluruh upaya tersebut dengan lebih maksimal dan efektif," tutupnya.
Artikel Selanjutnya
Riset Dampak Cuaca pada Covid-19 Dirilis, Ini Saran BMKG-UGM
(roy/roy)