Internasional

Efek Corona, Gelombang PHK Sedang Ancam Dunia

News - Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
04 April 2020 13:35
Kebijakan pemerintah di dunia membatasi untuk melakukan isolasi dan membatasi ruang gerak, membuat mata rantai ekonomi dunia mengalami gangguan. Foto: Infografis/Tingkat Pengangguran Berdasarkan Pendidikan/Aristya Rahadian Krisabella

Jakarta, CNBC Indonesia - Wabah virus corona (COVID-19) yang sudah merebak selama empat bulan terakhir di seluruh dunia telah membuat banyak orang jatuh sakit dan meninggal. Kebijakan pemerintah di dunia membatasi untuk melakukan isolasi dan membatasi ruang gerak, membuat mata rantai ekonomi dunia mengalami gangguan. 

Parahnya, dampaknya tidak hanya sampai di situ. Terngganggunya aktivitas ekonomi tersebut membuat kinerja banyak perusahaan di dunia terganggu. Akibatnya banyak juga orang yang kini telah kehilangan pekerjaan.

Bahkan menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), akan ada 25 juta PHK yang terjadi di seluruh dunia jika wabah tak juga tertangani. Kekacauan itu sendiri telah mulai terlihat jelas saat ini di Amerika Serikat (AS) hingga Austria, kata ekonom Deutsche Bank AG.

"Kami melihat tingkat pengangguran di AS dan Eropa naik hingga ke kalangan remaja," kata Peter Hooper, kepala penelitian ekonomi global di Deutsche Bank AG, sebagaimana dilaporkan Bloomberg.



"Mengingat rasa sakit yang kita lihat dalam waktu dekat di AS dan Eropa, ini belum pernah terjadi sebelumnya sejak Depresi Hebat (Great Depression), dalam hal besarnya."

Sementara itu, menurut para ekonom di JPMorgan Chase & Co., angka pengangguran di pasar negara maju akan melonjak 2,7 poin pada pertengahan tahun ini. Angka itu naik dari sekitar titik terendah dalam empat dekade yang tercatat di awal tahun ini.

Bahkan meski saat ekonomi mengalami pemulihan, mereka masih memprediksi akan ada peningkatan angka pengangguran 4,6% di AS dan 8,3% di zona euro pada akhir 2021.

Lebih lanjut, para ekonom mengatakan bahwa angka pengangguran di AS akan jauh lebih tinggi ketimbang negara-negara di zona euro atau Jepang akibat adanya perbedaan budaya, di mana AS lebih fleksibel.

Ini sudah terbukti dari laporan tenaga kerja AS yang dirilis pada Jumat (3/4/2020). Data itu menunjukkan angka pembayaran upah (payrolls) AS turun lebih dari 700.000. Angka ini tujuh kali lebih banyak dari yang diperkirakan para ekonom.

Parahnya, angka-angka itu baru mencakup awal kekacauan di pasar tenaga kerja pada awal Maret, belum memuat data setelah putaran PHK dan penutupan terbesar terjadi. Misalnya saja data jumlah orang Amerika yang mengajukan tunjangan pengangguran pada minggu lalu, di mana angkanya naik mencapai rekor 6,65 juta orang. Jumlah ini lebih dari dua kali rekor yang tercatat pada minggu sebelumnya.

Jika angka dua minggu terakhir digabungkan, maka total orang Amerika yang mengajukan tunjangan pengangguran mencapai 9,96 juta. Ini setara dengan total angka dalam 6 1/2 bulan pertama saat resesi 2007-2009 terjadi.

Sementara itu, Goldman Sachs Group Inc. memperkirakan pengangguran di AS akan segera melonjak ke rekor 15%.

Di Eropa juga tidak jauh beda dengan AS. Sebuah laporan menunjukkan hampir satu juta warga Inggris mengajukan pembayaran tunjangan kesejahteraan dalam waktu dua minggu terakhir. Angka itu 10 kali lipat lebih tinggi dari jumlah normal. Dari hasil survei bisnis yang dilakukan lembaga statistik negara itu, diketahui sudah ada 27% bisnis yang mengurangi pekerjanya dalam waktu singkat.

Selain Inggris, Spanyol juga mencatatkan hal yang sama. Angka klaim penganggurannya naik menjadi hampir 14%, termasuk yang tertinggi di negara maju. Sementara di Austria juga terjadi kenaikan yaitu menjadi 12%, tertinggi sejak pasca Perang Dunia II.

Di Asia, angka pengangguran Jepang masih bertahan di 2,4% pada bulan Februari, tetapi ada penurunan tajam dalam rasio posisi yang tersedia ke level terendah dalam tiga tahun. Dari data terbaru juga terlihat adanya kenaikan dalam pengajuan pinjaman darurat melalui program pemerintah untuk orang-orang yang kehilangan pekerjaan atau menghadapi pemotongan upah.

Negara Asia lainnya, yaitu Thailand bahkan lebih parah. Hampir 23 juta orang atau sepertiga dari populasi Thailand, mendaftar untuk mendapat bantuan tunai pemerintah sejak bantuan tersedia pada 28 Maret lalu. Padahal, pemerintah Thailand bertujuan memberikan bantuan dana hanya pada 9 juta jiwa untuk mengurangi dampak ekonomi yang dibawa pandemi COVID-19. Setiap individu itu akan diberi15.000 baht (US$ 455) selama tiga bulan.



Namun demikian, Peter Hooper di Deutsche Bank mengatakan prospek ini akan membaik begitu wabah mereda, seperti yang terjadi di China. Sebelumnya pada Februari, tingkat pengangguran di perkotaan China melonjak ke rekor 6,2% akibat penutupan banyak bisnis. Namun kini saat wabah mereda, ekonomi negara tempat munculnya pandemi itu telah kembali ke kapasitas penuh.

"Anda seharusnya melihat penurunan yang cukup cepat dari tingkat pengangguran yang sangat tinggi ini," kata Hooper.

Sebagai informasi, wabah virus corona saat ini telah menginfeksi sekitar 200 negara di dunia. Di mana sudah ada 1.117.860 kasus dengan 59.203 kematian dan 228.990 orang sembuh, menurut Worldometers.

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya

Corona Biadab: 16,7 Juta Orang di AS Kena PHK dalam 3 Minggu


(res/res)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading