Asal-Asalan Tunda Bayar Kredit, Berbahaya Buat Ekonomi!

Yuni Astutik, CNBC Indonesia
27 March 2020 14:43
Foto: Mirza Adityaswara: Perekonomian RI Akan Tumbuh Lebih Optimis di 2020 (CNBC Indonesia TV)
Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui POJK Nomor 11/POJK.03/2020 yang berlaku mulai 13 Maret 2020 sampai 31 Maret 2021 memberikan keringanan untuk debitur dengan cara dibebaskan untuk tidak membayar cicilan utang selama satu tahun.

POJK ini mengatur tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease. Aturan ini juga diharapkan menjadi countercyclical dampak penyebaran virus corona sehingga bisa mendorong optimalisasi kinerja perbankan khususnya fungsi intermediasi, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Terkait hal itu, Ekonom Mirza Adityaswara yang juga mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) menegaskan jika bank dan lembaga pembiayaan hanyalah lembaga intermediary (lembaga perantara).
"Harus dipahami oleh masyarakat bahwa kredit perbankan dan kredit lembaga pembiayaan adalah seperti darah di tubuh kita," kata Mirza kepada CNBC Indonesia, Jumat (27/3/2020).


"Artinya tanpa aliran kredit, maka perekonomian akan berhenti," tegas mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia ini.

Dia juga mengatakan hal yang sering dilupakan oleh masyarakat atau debitur dan rekan-rekan politisi adalah bahwa sumber dana bagi bank dan lembaga pembiayaan untuk memberikan kredit berasal juga dari dana masyarakat. Dimana dana tersebut berasal dari masyarakat yang punya tabungan dan deposito di perbankan.
Artinya, jika semua debitur tidak mau membayar cicilan padahal sebagian besar mampu membayarnya, maka yang akan terjadi justru kerugian besar di sektor perbankan dan lembaga pembiayaan. Hal ini dikarenakan perbankan harus tetap membayar bunga kepada penabung (deposan ) tapi bank tidak menerima pendapatan dari debitur.
Dia juga menguraikan, sekitar 30% kredit perbankan adalah kredit konsumsi. Dimana di dalamnya termasuk di antaranya kredit pemilikan rumah (KPR), kredit pemilikan mobil (KPM), dan lainnya. Sementara itu, sekitar 15-20% adalah kredit UMKM sehingga sektor perbankan dan lembaga pembiayaan menghadapi risiko "default yang disengaja" untuk eksposur 40-50% kredit nasional atau setara dengan Rp 2.500 triliun.
Dia mengingatkan agar maksud dari POJK tersebut harus disikapi dengan bijaksana. Maksudnya adalah, aturan tersebut tidak berlaku untuk semua debitur. Namun, lebih kepada bagaimana aturan tersebut memberikan kelonggaran bagi bank dan lembaga pembiayaan untuk masing masing menganalisa mana debitur yang benar benar terdampak langsung oleh COVID-19 dan mana yang setengah terdampak dan mana yang tidak terdampak.

Terakhir dia mengatakan POJK tersebut secara jelas menyatakan bahwa harus menghindari moral hazard, yaitu jangan debitur yang sehat menjadi tidak mau bayar utang maupun debitur yang sudah macet sebelum adanya COVID kemudian menjadi tidak kooperatif.
"Kita harus bersama-sama menjaga kesehatan pribadi, tapi kita juga harus menjaga kesehatan ekonomi Indonesia dalam menghadapi COVID-19," pungkasnya.

(dob/dob) Next Article Jangan Aji Mumpung, Tak Semua Nasabah Bisa Tunda Bayar Kredit

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular