Tiap Tahun BPJS Kesehatan Tekor, Solusinya Hanya di Jokowi

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
11 March 2020 16:24
Tiap Tahun BPJS Kesehatan Tekor, Solusinya Hanya di Jokowi
Foto: cover topik/BPJS Kesehatan dalam/Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Jaminan kesehatan nasional merupakan gagasan yang sudah ada sejak dulu dan sudah banyak diimplementasikan di banyak negara, tak terkecuali Indonesia. Indonesia terus berupaya untuk mewujudkan gagasan itu secara menyeluruh, namun ternyata tak sesederhana yang dibayangkan. Masalahnya kompleks.

Di Indonesia, BPJS Kesehatan merupakan lembaga yang mengurusi jaminan kesehatan nasional. Pemerintah Indonesia telah mewajibkan seluruh warganya termasuk orang asing yang ada di Indonesia untuk mengikuti asuransi kesehatan nasional paling lambat 1 Januari tahun lalu.

Tercatat hingga Mei tahun lalu peserta BPJS Kesehatan telah mencapai 221,6 juta jiwa dengan 36 juta di antaranya adalah segmen yang berasal dari peserta mandiri. Namun kolektabilitas untuk segmen peserta mandiri hanya 53%. Artinya yang membayar hanya 19 juta orang.

Kekurangan pembayaran premi peserta mandiri ini tiap bulannya menjadi penyebab kinerja BPJS Kesehatan yang besar pasak daripada tiang. Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris, ada setidaknya 5 faktor lain yang menyebabkan BPJS Kesehatan tekor.

Pertama, premi yang ditetapkan pemerintah belum sesuai dengan hasil hitung-hitungan aktuaria. Kedua BPJS Kesehatan mengusung konsep gotong royong atau subsidi silang. Artinya orang yang mampu memberikan subsidi kepada yang kurang mampu. Namun dalam pelaksanaannya belum berjalan sepenuhnya.

Tiga faktor lain yang menjadi penyebab tekornya BPJS Kesehatan seperti data peserta yang bermasalah, perusahaan yang memanipulasi gaji karyawan, hingga potensi penyalahgunaan regulasi dengan memberikan pelayanan rumah sakit lebih tinggi dari yang seharusnya.

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir kinerja keuangan BPJS Keuangan memang mencatatkan defisit yang besar. Hingga akhir tahun 2018 total defisit yang dicatatkan oleh BPJS Kesehatan hampir sebesar Rp 29 triliun. Sementara total defisit hingga tahun 2019 diperkirakan mencapai Rp 32,8 triliun.



Defisit ini tak bisa dibiarkan terus menerus dan harus segera ditangani. Untuk memperkecil defisit ada tiga opsi yang bisa dilakukan. Opsi pertama adalah dengan menyesuaikan besaran iuran, kedua menyuntik dana tambahan dan ketiga mengatur ulang manfaat yang diberikan.

Untuk opsi pertama sudah dilakukan pemerintah dengan Perpres Nomor 75 tahun 2019 pada Pasal 34 Ayat 1 dan 2. Namun MA membatalkan kenaikan iuran. Untuk opsi kedua juga sudah dilakukan, pemerintah sudah menyuntikkan total dana ke BPJS Kesehatan sebesar Rp 25,65 triliun sepanjang 2015-2018.

Maka tinggal opsi yang ketiga, yakni dengan mengatur ulang manfaat yang diberikan. Namun yang jadi tantangan terbesarnya adalah bagaimana memastikan data-data yang salah sudah diperbaiki, tidak ada penyalahgunaan berupa manipulasi data karyawan hingga memberikan pelayanan semestinya untuk tiap peserta asuransi.

Semua ada di tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apakah rela menggelontorkan puluhan triliun atau memang menaikkan iuran untuk bersama-sama gotong royong bisa menambal defisit.

NEXT > PERBANDINGAN ASURANSI KESEHATAN LAIN

Faktor lain yang juga memiliki kontribusi besar meningkatkan kerumitan masalah yang dihadapi dalam mengimplementasikan jaminan kesehatan nasional secara menyeluruh adalah wilayah geografis Indonesia yang luas dan heterogen.

Ini yang tidak dijumpai di negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara yang juga mengimplementasikan sistem asuransi kesehatan nasional.

Menurut estimasi Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), pada 2018 Indonesia memiliki penduduk sekitar 265.000.000 orang. Jumlah tersebut setara dengan 8,2 kali lipat penduduk Malaysia, dan 2,5 kali lipat penduduk Filipina.

Jika menengok negara tetangga, beberapa negara juga sudah menjalankan asuransi kesehatan nasional dengan skema tanggungan dan pembiayaan yang berbeda-beda.

Contohnya di Filipina, asuransi nasional atau yang dikenal dengan National Health Insurance Act sudah mulai diterapkan sejak tahun 1995. Filipina memberlakukan satu tarif rumah sakit dan dokter yang berlaku secara nasional.

Skema asuransi mirip seperti program JKN-KIS di Indonesia, dengan membayar iuran 2,5 persen dari penghasilan sebulan yang ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja. Untuk iuran bagi pekerja di sektor informal adalah sebesar 120 peso (sekitar Rp 20 ribu).

Di Malaysia, asuransi kesehatan nasional mengandalkan dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang bersumber pada pajak. Untuk biaya rawat inap, anggota asuransi tiga 3 ringgit per hari untuk keseluruhan biaya (all in). Peserta asuransi tidak perlu membayar biaya apapun jika ke rumah sakit,.

Sementara di Thailand, sejak tahun 2002 pemerintah menyediakan beberapa asuransi kesehatan yang berbeda, yaitu untuk pegawai negeri dan seluruh keluarga termasuk orangtua dan mertua, pegawai swasta, dan pekerja informal. Iuran juga ditanggung oleh APBN. Untuk keperluan asuransi kesehatan nasional ini, pemerintah Thailand membiayai tak kurang dari 13,1 persen dari APBN.

Tak bisa dipungkiri tiap negara yang mengimplementasikan sistem asuransi kesehatan nasional memiliki skema yang berbeda-beda yang disesuaikan dengan tujuan masing-masing. Tiap negara juga menghadapi tantangannya masing-masing.

Seperti di Indonesia, sudah masalahnya kompleks dan rumit tantangannya besar pula. Jadilah BPJS Kesehatan carut marut seperti sekarang.


[Gambas:Video CNBC]





TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular