Gegara Arab, Mimpi RI Jadi 'Raja Minyak' Hadapi Ujian Berat

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
10 March 2020 09:51
Mimpi 'Raja Minyak' Terpaksa Ditunda Dulu
Foto: Infografis, Arie Pratama
Tapi, Indonesia bisa berencana namun Arab tiba-tiba bikin perkara.

Arab Saudi menyatakan perang minyak dengan Rusia. Ini terjadi pasca-Russia menolak ajakan OPEC untuk memangkas produksi 1,5 juta barel per hari (bph) guna membendung efek corona.

Sebelumnya, anggota aliansi non-OPEC yang dipimpin oleh Rusia diminta berkontribusi terhadap pemangkasan tersebut sebesar 500.000 bph. Namun Rusia menolak usulan tersebut.

Secara mengejutkan pada Sabtu, Arab Saudi memilih untuk mendiskon harga minyak mentah ekspornya sebesar 10% seolah menabuh genderang perang harga dengan Rusia.

Gara-gara perseturuan panas ini, harga minyak berada di kisaran level US$ 30 sampai US$ 32 per barel. Jauh beda dibanding rerata ICP atau Indonesian Crude Price yang per Februari masih di level US$ 56 per barel.



Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengatakan harga minyak yang terjun bebas ini menjadi ujian bagi sektor migas RI, terutama untuk sektor hulu.

"Anjloknya harga minyak dunia yang menekan betul di angka US$ 32 per barel, dari satu sisi keuntungan karena kita impor, di sisi lain ini bisnis hulu migas akan lesu kembali," katanya, Selasa (10/3/2020).

Dengan harga serendah itu, menurutnya eksplorasi migas akan tidak menarik bagi para investor dan akan berdampak signifikan ke penurunan produksi minyak. "Apalagi upaya-upaya untuk meningkatkan cadangan atau menemukan giant discovery, dipastikan menurun," jelasnya.

Boro-boro memikirkan target 1 juta barel sehari, dengan kondisi seperti ini menurutnya yang perlu ditekankan adalah konsolidasi para pemangku kepententingan agar tidak ada penurunan produksi lebih jauh.

"Hulu migas harus waspada, siapkan segera fiscal terms yang menarik untuk para investor agar bisa jaga produksi."

Penasihat Ahli Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Satya Yudha menyampaikan jika target 1 juta barel masih ingin dikejar oleh Pertamina, yang harus dilakukan Pertamina saat ini adalah menyesuaikan biaya operasional dan produksi minyak mereka.

"Operational cost harus diadjust agar efisien dulu, kalau tidak maka turunnya harga malah menghambat investasi," jelasnya.

Direktur Hulu Pertamina Dharmawan H Samsu mengatakan, menyikapi harga minyak yang turun Pertamina memang harus melakukan efisiensi dan optimalisasi cara kerja.

"Contohnya strategi pengadaan lebih terpadu. Kemudian strategi logistik lebih dibuat optimum effort supaya cost production bisa turun," ungkapnya di Kantor Kementerian ESDM, Senin, (09/03/2020).

Lebih lanjut dirinya mengatakan berdasarkan catatannya biaya produksi per barel saat ini sekitar US$ 9- 11 per barel. Namun, dengan harga minyak yang terus turun maka biaya akan semakin naik.

Ia menyebut beberapa lapangan ada yang biaya produksinya bisa mencapai US$ 20 per barel. Meski demikian belum ada niatan untuk memangkas produksi.

"Saya nggak bisa share dulu tapi so far kita melihatnya masih temporary, kita antisipasi melalui optimalisasi logistik dan sebagainya. Pangkas produksi nggak lah," imbuhnya.

Dharmawan juga menegaskan tidak akan ada proyek-proyek yang tertunda, di mana Pertamina akan mengebor 411 sumur. "Tidak ada. Pengeluaran tetap jalan, target tetep 411 pengeboran," tegasnya.

(gus/gus)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular