
Harga Minyak Ambrol, Bagaimana Nasib Mimpi 'Raja Minyak' RI?
Anisatul Umah, CNBC Indonesia
10 March 2020 14:53

Jakarta, CNBC Indonesia - Anjloknya harga minyak dikhawatirkan akan berdampak pada investasi sektor hulu, bagaimana nasib target dan mimpi Indonesia untuk mengejar target produksi 1 juta barel minyak sehari.
Menanggapi hal ini, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto justru menyebut sekarang adalah saat yang tepat untuk berinvestasi.
Investasi ini sifatnya jangka panjang, sehingga tepat melakukan investasi sekarang sehingga medapatkan profit saat harga naik. Namun, imbuhnya, investor memiliki berbagai pandangan. Ada yang memandang saat investasi dilakukan sekarang barang produksi harusnya disewa dengan harga murah.
"Tergantung keyakinan investor tapi menurut saya tepat investasi sekarang, dia dapat profit saat harga naik," ungkapnya Selasa, (10/03/2020).
Lebih lanjut dirinya mengatakan proyek yang sudah Final Investment Decision (FID) disepakati pada saat harga tinggi seperti ENI Muara Bakau diangka US$ 11 per barel , dan saat akan onstream harga minyak turun akan tetap dijalankan. "Tetap dijalankan meskipun Internal Rate of Return (IRR) turun di bawah 5% terus dilakukan," imbuhnya.
Contoh lain adalah Jambaran-Tiung Biru (JTB) dan Tangguh karena sudah berjalan tidak mungkin dihentikan. Kemudian untuk proyek yang belum berjalan bisa dilakukan studi kembali, karena harus dicari dan diasumsikan siapa pembeli minyak dan gas. "Karena ini bisnis di hulu," tegasnya.
Demi mengejar target produksi 1 juta barel per hari, pihaknya sudah memberikan beberapa saran, untuk lapangan marginal badan usaha agar menyampaikan ke pemerintah agar mendapat insentif. Lalu pengelolaan sumur tua, tekhnologi baru, dan enhanced oil recovery (EOR).
Hal serupa disampaikan oleh penasihat ahli SKK Migas Satya Yudha. Ia menjelaskan penurunan harga minyak saat ini dikarenakan ketidaksepakatan antara Arab Saudi dan Rusia, ditambah masalah wabah corona.
Ini, kata Satya, akan berbahaya bagi sektor hulu migas jika tidak disertai efisiensi operasi minyak. "Sehingga perlu kerja keras agar perusahaan minyak di mana saja bisa survive."
Untuk Indonesia, ongkos operasional untuk memproduksi minyak sendiri beragam. Pertamina mengaku rata-rata di kisaran US$ 9 sampai US$ 11 per barel, namun terdapat juga data yang menyatakan ada sumur minyak yang biaya operasionalnya sentuh US$ 20 per barel. Sehingga dengan jatuhnya harga minyak dunia akan menekan operasional perusahaan tersebut.
"Indonesia sudah jelas perlu lakukan efisiensi agar biaya operasi masih tertutupi dari turunnya harga minyak tersebut," tegasnya.
Tapi, seperti pandangan Djoko, Satya juga menilai momen ini bisa jadi peluang buat investasi untuk memenuhi visi 1 juta barel sehari di 2030.
"Tapi ya operasional costnya harus diadjust agar efisien dulu, kalau tidak maka turunnya harga malah hambat investasi."
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melakukan langkah antisipasi terhadap penurunan harga minyak. Agar target produksi tidak terdampak akibat penurunan harga.
SKK Migas melakukan koordinasi dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Migas. "Koordinasi yang dilakukan untuk membahas langkah-langkah agar kegiatan operasi dan pengembangan di lapangan dapat tetap dilaksanakan sesuai Work, Program and Budget (WP&B) 2020," ungkap Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dalam keterangan tertulisnya, Senin, (9/03/2020).
Lebih lanjut dirinya mengatakan SKK Migas akan memantau kegiatan investasi dan produksi KKKS. Melalui rencana pengembangan lapangan (Plan of Development), rencana program tahunan (WP&B), serta melalui persetujuan Authorization for Expenditure (AFE).
Melalui evaluasi SKK Migas bisa memetakan nilai keekonomian masing-masing lapangan. Dengan data ini, strategi akan disusun agar kegiatan operasi dan pengembangan lapangan tidak terhenti ketika harga minyak turun.
(gus) Next Article Meski Ramai Corona, Jokowi Rapat Rencana RI Jadi Raja Minyak
Menanggapi hal ini, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto justru menyebut sekarang adalah saat yang tepat untuk berinvestasi.
Investasi ini sifatnya jangka panjang, sehingga tepat melakukan investasi sekarang sehingga medapatkan profit saat harga naik. Namun, imbuhnya, investor memiliki berbagai pandangan. Ada yang memandang saat investasi dilakukan sekarang barang produksi harusnya disewa dengan harga murah.
Lebih lanjut dirinya mengatakan proyek yang sudah Final Investment Decision (FID) disepakati pada saat harga tinggi seperti ENI Muara Bakau diangka US$ 11 per barel , dan saat akan onstream harga minyak turun akan tetap dijalankan. "Tetap dijalankan meskipun Internal Rate of Return (IRR) turun di bawah 5% terus dilakukan," imbuhnya.
Contoh lain adalah Jambaran-Tiung Biru (JTB) dan Tangguh karena sudah berjalan tidak mungkin dihentikan. Kemudian untuk proyek yang belum berjalan bisa dilakukan studi kembali, karena harus dicari dan diasumsikan siapa pembeli minyak dan gas. "Karena ini bisnis di hulu," tegasnya.
Demi mengejar target produksi 1 juta barel per hari, pihaknya sudah memberikan beberapa saran, untuk lapangan marginal badan usaha agar menyampaikan ke pemerintah agar mendapat insentif. Lalu pengelolaan sumur tua, tekhnologi baru, dan enhanced oil recovery (EOR).
Hal serupa disampaikan oleh penasihat ahli SKK Migas Satya Yudha. Ia menjelaskan penurunan harga minyak saat ini dikarenakan ketidaksepakatan antara Arab Saudi dan Rusia, ditambah masalah wabah corona.
Ini, kata Satya, akan berbahaya bagi sektor hulu migas jika tidak disertai efisiensi operasi minyak. "Sehingga perlu kerja keras agar perusahaan minyak di mana saja bisa survive."
Untuk Indonesia, ongkos operasional untuk memproduksi minyak sendiri beragam. Pertamina mengaku rata-rata di kisaran US$ 9 sampai US$ 11 per barel, namun terdapat juga data yang menyatakan ada sumur minyak yang biaya operasionalnya sentuh US$ 20 per barel. Sehingga dengan jatuhnya harga minyak dunia akan menekan operasional perusahaan tersebut.
"Indonesia sudah jelas perlu lakukan efisiensi agar biaya operasi masih tertutupi dari turunnya harga minyak tersebut," tegasnya.
Tapi, seperti pandangan Djoko, Satya juga menilai momen ini bisa jadi peluang buat investasi untuk memenuhi visi 1 juta barel sehari di 2030.
"Tapi ya operasional costnya harus diadjust agar efisien dulu, kalau tidak maka turunnya harga malah hambat investasi."
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melakukan langkah antisipasi terhadap penurunan harga minyak. Agar target produksi tidak terdampak akibat penurunan harga.
SKK Migas melakukan koordinasi dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Migas. "Koordinasi yang dilakukan untuk membahas langkah-langkah agar kegiatan operasi dan pengembangan di lapangan dapat tetap dilaksanakan sesuai Work, Program and Budget (WP&B) 2020," ungkap Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dalam keterangan tertulisnya, Senin, (9/03/2020).
Lebih lanjut dirinya mengatakan SKK Migas akan memantau kegiatan investasi dan produksi KKKS. Melalui rencana pengembangan lapangan (Plan of Development), rencana program tahunan (WP&B), serta melalui persetujuan Authorization for Expenditure (AFE).
Melalui evaluasi SKK Migas bisa memetakan nilai keekonomian masing-masing lapangan. Dengan data ini, strategi akan disusun agar kegiatan operasi dan pengembangan lapangan tidak terhenti ketika harga minyak turun.
(gus) Next Article Meski Ramai Corona, Jokowi Rapat Rencana RI Jadi Raja Minyak
Most Popular