
Stimulus Paling Ampuh: Bantu Temukan Vaksin Virus Corona!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 March 2020 12:47

Jakarta, CNBC Indonesia - Penyebaran virus corona semakin mengkhawatirkan. Dengan virus mematikan yang bergentayangan, aktivitas masyarakat tentu terbatas sehingga membuat roda perekonomian tidak bisa bergerak cepat bahkan mungkin terhenti sama sekali.
Virus corona memang kian menggila. Berdasarkan data satelit pemetaan ArcGis pada Senin (9/3/2020) pukul 11:03 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia mencapai 110.041. Korban jiwa tercatat 3.825 orang.
Kasus baru di China (episentrum penyebaran virus) memang terus melambat. Akhir pekan lalu, kasus corona baru di China adalah 44 pada Sabtu dan 40 pada Minggu. Sementara kasus baru di Provinsi Hubei terus turun ke bawah 100 per hari.
Rasio pasien yang sembuh di China saat ini adalah 72,6%. Bahkan di luar Hubei rasionya mencapai 93,6%.
Namun, kini yang menjadi kecemasan adalah penyebaran di luar China. Saat ini sudah lebih dari 100 negara (di luar China) yang terpapar virus corona.
"Pada akhir pekan, penambahan kasus baru banyak terjadi di Italia, Iran, Amerika Serikat (AS), Jerman, Prancis, Spanyol, Jepang, dan Mesir. Di AS, jumlah kasus kini mencapai 521. Sementara di Italia, korban meninggal bertambah menjadi 366. Beredar kabar bahwa di Filipina, Presiden Rodrigo Duterte sudah setuju untuk memberlakukan keadaan darurat," papar riset Citi.
Pemerintahan di berbagai negara tentu memprioritaskan perlindungan terhadap warganya. Tujuan utamanya adalah bagaimana penyebaran virus corona bisa diredam.
Salah satunya adalah dengan membatasi aktivitas masyarakat. Contoh, Menteri Kesehatan Jerman Jens Spahn meminta masyarakat untuk menghindari kerumunan. Acara-acara yang melibatkan lebih dari 1.000 orang pun dibatalkan.
"Prioritas kami adalah menahan laju penyebaran (virus corona). Semakin lambat virus menyebar, maka sistem layanan kesehatan bisa bekerja lebih baik," cuit Spahn di Twitter.
Di negara lain, pembatasan aktivitas publik bahkan lebih ekstrem. Diawali oleh China yang 'mengunci' Kota Wuhan (ground zero penyebaran virus corona), Italia pun melakukan hal yang sama dengan menutup akses dari dan ke daerah Lombardy dan 14 provinsi lainnya.
Kebijakan seperti ini tidak salah, karena pemerintah tentu wajib melindungi warga negaranya. Namun membatasi aktivitas masyarakat sama dengan menahan laju perekonomian, bahkan mungkin membuatnya berhenti total.
Oleh karena itu, perlambatan ekonomi global sepertinya sudah menjadi keniscayaan. Bahkan risiko resesi pun tidak bisa dikesampingkan.
Riset Oxford Economics menyebutkan, ancaman virus corona bagi perekonomian bukan dari jumlah korban meninggal melainkan gangguan terhadap kehidupan sehari-hari. Lembaga ini memperkirakan risiko resesi di AS tahun ini adalah 35%, naik dibandingkan perkiraan pada Januari yaitu 25%.
Menghadapi dampak ekonomi dari virus corona, otoritas fiskal dan moneter di berbagai negara dibuat sibuk. Berbagai stimulus diberikan dengan harapan mampu meredam kelesuan ekonomi.
Di Indonesia, pemerintah menjanjikan stimulus fiskal mulai dari subsidi avtur agar harga tiket pesawat turun, pembebasan pajak hotel dan restoran, tambahan anggaran Bantuan Sosial, serta penambahan jumlah rumah bersubsidi dan menambah anggaran subsidi uang muka. Sementara Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuan dan merilis lima kebijakan tambahan untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Namun, sejatinya kebijakan-kebijakan tersebut tidak langsung menuju ke sumber masalah. Akibat virus corona, rantai pasok global rusak karena pabrik-pabrik tutup dan aktivitas ekspor-impor lesu. Masalahnya ada di sisi pasokan (supply).
Nah, stimulus fiskal dan moneter lebih ditujukan untuk menjaga dan menggenjot permintaan (demand). Lagipula, sulit berharap stimulus fiskal dan moneter bisa meningkatkan pasokan.
Contoh, Indonesia punya ketergantungan tinggi terhadap impor perangkat telekomunikasi dan bawang putih asal China. Pada 2019, impor Indonesia dari China yang terbesar adalah perangkat telekomunikasi dan bagiannya yang mencapai US$ 4,49 miliar.
Sementara untuk bawang putih, China adalah importir tunggal di Indonesia. Sepanjang 2019, nilai impor bawang putih Indonesia dari China adalah US$ 529,96 juta.
Pertanyaannya, apakah stimulus fiskal dan moneter mampu mengembalikan pasokan perangkat telekomunikasi dan bawang putih yang terhambat gara-gara corona? Mustahil, karena tujuan stimulus fiskal dan moneter bukan untuk memperbaiki sisi pasokan.
Jadi kalau mau 'mengobati' dampak ekonomi dari virus corona, tidak bisa mengandalkan stimulus fiskal dan moneter. Salah alamat, tidak langsung membenahi akar masalah.
Namun bukan berarti otoritas fiskal dan moneter tidak perlu melakukan apa-apa. Agar tepat sasaran, ada baiknya pemerintah dan bank sentral mendukung upaya riset dan pengembangan (research and development/R&D) untuk mencari vaksin virus corona.
Hal ini sudah dilakukan di sejumlah negara. Pemerintah AS di bawah komando Presiden Donald Trump mengusulkan anggaran US$ 2,5 miliar untuk memerangi virus corona. Dari jumlah tersebut, US$ 1 miliar digunakan untuk pengembangan vaksin.
Sementara Rusia dan China dikabarkan menjalin kerja sama untuk mengembangkan vaksin corona. Misi diplomatik Rusia mengungkapkan para ahli dari dua negara sudah mulai bekerja.
"Pihak China menyerahkan genom virus ke Rusia, dan ahli kami mulai melakukan pengujian dengan cepat sehingga mampu mendeteksi virus di tubuh manusia dalam waktu dua jam," ungkap seorang pejabat konsulat Rusia di China, seperti diberitakan Reuters.
Pemerintah China sendiri sudah menganggarkan dana CNY 110,5 miliar untuk penanganan virus corona. Dana ini digunakan untuk memberi bantuan kepada daerah-daerah yang terdampak paling parah.
Jika pemerintah memberikan stimulus dengan pemberian dana untuk membuat vaksin corona, maka itu adalah stimulus terbaik. Kalau vaksin ditemukan, maka akar masalah akan teratasi yaitu membuat virus corona punah dari muka bumi.
Akan tetapi, membuat vaksin virus corona tidak gampang. Butuh serangkaian penelitian dan uji coba yang tentu memakan waktu. Begitu vaksin ditemukan, bisa-bisa sudah tidak mempan karena virus sudah berevolusi.
Oleh karena itu, berbagai kebutuhan yang diperlukan untuk menemukan vaksin corona dengan segera harus tersedia. Pemerintah bisa membantu dengan menyediakan pendanaan. Dengan pendanaan yang memadai, diharapkan vaksin bisa ditemukan dengan cepat sehingga tidak keburu ketinggalan zaman.
Kini kita berpacu dengan waktu. Semoga dengan gelontoran dana yang besar, kita punya waktu yang cukup untuk menemukan vaksin dan memberantas virus corona hingga ke akar-akarnya.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/wed) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Virus corona memang kian menggila. Berdasarkan data satelit pemetaan ArcGis pada Senin (9/3/2020) pukul 11:03 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia mencapai 110.041. Korban jiwa tercatat 3.825 orang.
Kasus baru di China (episentrum penyebaran virus) memang terus melambat. Akhir pekan lalu, kasus corona baru di China adalah 44 pada Sabtu dan 40 pada Minggu. Sementara kasus baru di Provinsi Hubei terus turun ke bawah 100 per hari.
Namun, kini yang menjadi kecemasan adalah penyebaran di luar China. Saat ini sudah lebih dari 100 negara (di luar China) yang terpapar virus corona.
"Pada akhir pekan, penambahan kasus baru banyak terjadi di Italia, Iran, Amerika Serikat (AS), Jerman, Prancis, Spanyol, Jepang, dan Mesir. Di AS, jumlah kasus kini mencapai 521. Sementara di Italia, korban meninggal bertambah menjadi 366. Beredar kabar bahwa di Filipina, Presiden Rodrigo Duterte sudah setuju untuk memberlakukan keadaan darurat," papar riset Citi.
Pemerintahan di berbagai negara tentu memprioritaskan perlindungan terhadap warganya. Tujuan utamanya adalah bagaimana penyebaran virus corona bisa diredam.
Salah satunya adalah dengan membatasi aktivitas masyarakat. Contoh, Menteri Kesehatan Jerman Jens Spahn meminta masyarakat untuk menghindari kerumunan. Acara-acara yang melibatkan lebih dari 1.000 orang pun dibatalkan.
"Prioritas kami adalah menahan laju penyebaran (virus corona). Semakin lambat virus menyebar, maka sistem layanan kesehatan bisa bekerja lebih baik," cuit Spahn di Twitter.
Di negara lain, pembatasan aktivitas publik bahkan lebih ekstrem. Diawali oleh China yang 'mengunci' Kota Wuhan (ground zero penyebaran virus corona), Italia pun melakukan hal yang sama dengan menutup akses dari dan ke daerah Lombardy dan 14 provinsi lainnya.
Kebijakan seperti ini tidak salah, karena pemerintah tentu wajib melindungi warga negaranya. Namun membatasi aktivitas masyarakat sama dengan menahan laju perekonomian, bahkan mungkin membuatnya berhenti total.
Oleh karena itu, perlambatan ekonomi global sepertinya sudah menjadi keniscayaan. Bahkan risiko resesi pun tidak bisa dikesampingkan.
Riset Oxford Economics menyebutkan, ancaman virus corona bagi perekonomian bukan dari jumlah korban meninggal melainkan gangguan terhadap kehidupan sehari-hari. Lembaga ini memperkirakan risiko resesi di AS tahun ini adalah 35%, naik dibandingkan perkiraan pada Januari yaitu 25%.
Menghadapi dampak ekonomi dari virus corona, otoritas fiskal dan moneter di berbagai negara dibuat sibuk. Berbagai stimulus diberikan dengan harapan mampu meredam kelesuan ekonomi.
Di Indonesia, pemerintah menjanjikan stimulus fiskal mulai dari subsidi avtur agar harga tiket pesawat turun, pembebasan pajak hotel dan restoran, tambahan anggaran Bantuan Sosial, serta penambahan jumlah rumah bersubsidi dan menambah anggaran subsidi uang muka. Sementara Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuan dan merilis lima kebijakan tambahan untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Namun, sejatinya kebijakan-kebijakan tersebut tidak langsung menuju ke sumber masalah. Akibat virus corona, rantai pasok global rusak karena pabrik-pabrik tutup dan aktivitas ekspor-impor lesu. Masalahnya ada di sisi pasokan (supply).
Nah, stimulus fiskal dan moneter lebih ditujukan untuk menjaga dan menggenjot permintaan (demand). Lagipula, sulit berharap stimulus fiskal dan moneter bisa meningkatkan pasokan.
Contoh, Indonesia punya ketergantungan tinggi terhadap impor perangkat telekomunikasi dan bawang putih asal China. Pada 2019, impor Indonesia dari China yang terbesar adalah perangkat telekomunikasi dan bagiannya yang mencapai US$ 4,49 miliar.
Sementara untuk bawang putih, China adalah importir tunggal di Indonesia. Sepanjang 2019, nilai impor bawang putih Indonesia dari China adalah US$ 529,96 juta.
Pertanyaannya, apakah stimulus fiskal dan moneter mampu mengembalikan pasokan perangkat telekomunikasi dan bawang putih yang terhambat gara-gara corona? Mustahil, karena tujuan stimulus fiskal dan moneter bukan untuk memperbaiki sisi pasokan.
Jadi kalau mau 'mengobati' dampak ekonomi dari virus corona, tidak bisa mengandalkan stimulus fiskal dan moneter. Salah alamat, tidak langsung membenahi akar masalah.
Namun bukan berarti otoritas fiskal dan moneter tidak perlu melakukan apa-apa. Agar tepat sasaran, ada baiknya pemerintah dan bank sentral mendukung upaya riset dan pengembangan (research and development/R&D) untuk mencari vaksin virus corona.
Hal ini sudah dilakukan di sejumlah negara. Pemerintah AS di bawah komando Presiden Donald Trump mengusulkan anggaran US$ 2,5 miliar untuk memerangi virus corona. Dari jumlah tersebut, US$ 1 miliar digunakan untuk pengembangan vaksin.
Sementara Rusia dan China dikabarkan menjalin kerja sama untuk mengembangkan vaksin corona. Misi diplomatik Rusia mengungkapkan para ahli dari dua negara sudah mulai bekerja.
"Pihak China menyerahkan genom virus ke Rusia, dan ahli kami mulai melakukan pengujian dengan cepat sehingga mampu mendeteksi virus di tubuh manusia dalam waktu dua jam," ungkap seorang pejabat konsulat Rusia di China, seperti diberitakan Reuters.
Pemerintah China sendiri sudah menganggarkan dana CNY 110,5 miliar untuk penanganan virus corona. Dana ini digunakan untuk memberi bantuan kepada daerah-daerah yang terdampak paling parah.
Jika pemerintah memberikan stimulus dengan pemberian dana untuk membuat vaksin corona, maka itu adalah stimulus terbaik. Kalau vaksin ditemukan, maka akar masalah akan teratasi yaitu membuat virus corona punah dari muka bumi.
Akan tetapi, membuat vaksin virus corona tidak gampang. Butuh serangkaian penelitian dan uji coba yang tentu memakan waktu. Begitu vaksin ditemukan, bisa-bisa sudah tidak mempan karena virus sudah berevolusi.
Oleh karena itu, berbagai kebutuhan yang diperlukan untuk menemukan vaksin corona dengan segera harus tersedia. Pemerintah bisa membantu dengan menyediakan pendanaan. Dengan pendanaan yang memadai, diharapkan vaksin bisa ditemukan dengan cepat sehingga tidak keburu ketinggalan zaman.
Kini kita berpacu dengan waktu. Semoga dengan gelontoran dana yang besar, kita punya waktu yang cukup untuk menemukan vaksin dan memberantas virus corona hingga ke akar-akarnya.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/wed) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Most Popular