Internasional

Terjebak 64 Ribu Kasus Corona, Ini Cerita Petugas Medis China

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
14 February 2020 13:36
Terjebak 64 Ribu Kasus Corona, Ini Cerita Petugas Medis China
Jakarta, CNBC Indonesia - Menjadi yang terdepan dalam mengatasi corona yang menyebar dengan masif di China merupakan hal yang tak mudah bagi pekerja medis di negeri Tirai Bambu. Para petugas medis di Wuhan terutama, harus berurusan dengan hal krusial selain ribuan kasus terbaru penyakit COVID-19.

Yakni kelelahan dan harus bekerja berlebihan tanpa proteksi akibat kekurangan staf. Banyak dokter pun harus menemui pasien tanpa mengenakan masker atau pelindung tubuh yang tepat.

Mereka bahkan menggunakan kembali peralatan yang sama, padahal seharusnya peralatan tersebut harus diganti secara teratur. Menurut seorang pejabat kesehatan, beberapa staf sampai mengenakan popok untuk menghindari melepas pakaian pelindung agar membuatnya bertahan lebih lama.

Seorang dokter di sebuah klinik komunitas di Wuhan mengatakan dia dan setidaknya 16 rekannya menunjukkan gejala yang mirip dengan virus corona baru, termasuk infeksi paru-paru dan batuk.

"Sebagai dokter, kami tidak ingin bekerja sambil menjadi sumber infeksi. Tetapi saat ini, tidak ada yang dapat menggantikan Anda," kata dokter yang tidak ingin disebutkan namanya, dilansir dari AFP.

Ia menambahkan bahwa semua staf medis tanpa demam diharapkan bekerja.

"Apa yang akan terjadi jika tidak ada yang bekerja di garis depan?" lanjutnya.

Selain itu, para staf medis juga merasa tertekan sebab mereka harus bekerja tanpa henti. Bahkan ada salah satu klinik yang menerima 400 pasien dalam waktu delapan jam.

"Mereka memiliki banyak tekanan," kata dokter lain, yang juga tidak mau disebut namanya, seraya menambahkan bahwa rumah sakitnya telah mengatur pemantauan psikologis.

Ia dan rekan-rekannya menerima telepon dari anggota masyarakat yang tertekan, sebab beberapa di antaranya terlalu takut untuk meninggalkan rumah mereka.

"Anda dapat mendengar panggilan mereka untuk meminta bantuan, etapi tangan Anda terikat. Tidak ada yang bisa kita lakukan," kata dokter itu, menggambarkan ada keluarga tempat pasien terjebak di rumah tanpa perawatan medis.

Risiko yang dihadapi staf medis menjadi sorotan setelah dokter Li Wenliang meninggal karena penyakit ini, sebulan setelah ia pertama kali menyatakan adanya virus mirip SARS baru di kota Wuhan.

Kematiannya menimbulkan kesedihan dan kemarahan di media sosial China, hingga membuat sebanyak 10 akademisi di Wuhan mengedarkan surat terbuka yang menyerukan reformasi politik dan kebebasan berbicara.

[Gambas:Video CNBC]




Pada Jumat (14/2/2020) waktu setempat, Wakil Walikota Wuhan mengatakan bahwa kota itu kekurangan 56 ribu masker jenis N95 dan 41 ribu pakaian pelindung untuk staf medis.

"Mereka memakai popok, mengurangi minum air untuk mengurangi intensitas ke kamar mandi," kata Jiao Yahui, seorang pejabat tinggi di Komisi Kesehatan Nasional China menyoal pakaian pelindung staf medis.

Beberapa dari mereka akan mengenakan pakaian pelindung yang sama selama enam atau bahkan sembilan jam. Padahal seharusnya tidak dikenakan selama lebih dari empat jam jika bertugas di bangsal yang dikarantina.

"Tentu saja, kami tidak menganjurkan metode ini, tetapi staf medis benar-benar tidak punya alternatif," akunya.

Beruntung pemerintah Cina langsung merespons dengan memobilisasi seluruh negara untuk meningkatkan produksi masker dan pakaian. Selain itu, China juga mengimpor lebih dari 300 juta masker dan sekitar 3,9 juta bahan pakaian pelindung sejak 24 Januari.

Menurut pejabat perencana ekonomi top China, Cong Liang, pada Senin (10/2/2020), sebanyak tiga perempat produsen masker dan pakaian pelindung kembali bekerja setelah liburan Tahun Baru Imlek yang diperpanjang.

Perhimpunan Palang Merah Cina juga telah menerima lebih dari 900 juta yuan (US$ 129 juta atau Rp 1,7 triliun) dalam bentuk donasi untuk bantuan epidemi ini. Namun ini sempat menjadi sorotan karena kurangnya transparansi dan efisiensi.

"Bahkan jika kita menerima lebih banyak masker, jumlah pasien meningkat lebih cepat," kata dokter lain dari rumah sakit besar di Wuhan yang tidak ingin disebut namanya. Ia menambahkan, setiap dokter atau perawat menggunakan dua hingga empat topeng setiap hari.

"Konsumsi masker di rumah sakit sangat besar, dan mereka kekurangan masker," imbuhnya.

Menurut salah satu warga, Xu Yuan yang tinggal di AS mengatakan para dokter dipaksa untuk mengenakan pakaian hazmat darurat yang tidak memiliki perlindungan yang memadai terhadap virus. Xu Yuan sendiri menyumbang US$ 5.000 dalam bentukk alat pelindung kepada mantan teman sekelas yang bekerja di rumah sakit Wuhan.

"Begitu dia memakainya, pakaian pelindung retak karena terlalu kecil untuknya," katanya, menambahkan bahwa temannya di Wuhan dipaksa untuk mengenakan pakian hazmat yang sama selama lima hari.

"Setiap hari, dia mendisinfeksi setelah digunakan. Dia bilang itu mungkin tidak berguna, tapi masih lebih baik daripada tidak sama sekali," tambahnya.
(sef/sef) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular