
Internasional
Gila! AS Bunuh Jenderal Iran, Spekulan Minyak Untung Besar
Sefti Oktarianisa, CNBC Indonesia
03 January 2020 14:21

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak terutama Brent yang sangat terpengaruh situasi Timur Tengah melonjak tajam. Bahkan dalam perdagangan intraday, harga Brent sempat naik signifikan hingga 3% ke US$ 69,16 per barel, sebelum turun sedikit ke US$ 68,18 per barel pada pukul 13.45 WIB.
Kenaikkan ini merupakan kenaikan tertinggi setelah 17 September 2019 lalu. Saat itu Brent naik tajam setelah rudal pemberontak Houthi Yaman menyerang dua fasilitas minyak milik Saudi Aramco di Arab Saudi.
Bukan cuma Brent, West Texas Intermediate (WTI) juga mencatatkan kenaikan 2,78% ke US$ 62,88 per barel. Meski demikian patokan harga minyak AS ini belum mampu menembus harga Mei 2019 lalu, yang sempat menembus US$ 63,84 per barel.
Analis mengatakan kenaikan terjadi karena kekhawatiran akan pasokan minyak. Serangan AS di Irak yang menewaskan Jenderal Iran membuat situasi Timur Tengah menjadi tak menentu.
"Risiko dari sisi pasokan meningkat di Timur Tengah. Kita bisa melihat ketegangan akan terus meningkat antara AS dengan milisi yang didukung Iran di Irak," kata analis dari sebuah perusahaan broker AS OANDA, Edward Moya, dikutip dari Reuters, Jumat (3/1/2020).
Perlu diketahui Irak menjadi ajang pertempuran AS dan Iran karena negara paman Sam mengejar milisi Hizbullah. Milisi ini sendiri dituding AS telah melancarkan serangan yang membuat warga negara AS tewas dua pekan lalu.
Iran menjadi terlibat karena negara tersebut dianggap AS memiliki andil dalam pendanaan Hizbullah. Pertempuran di Irak tentu akan membuat pasokan minyak seret mengingat negara itu merupakan eksportir terbesar kedua di OPEC dengan produksi 3,4 juta barel per hari.
"Ada risiko yang selalu muncul saat Irak dibawa dalam pergulatan antara AS dan Iran," tegas seorang Kepala Strategi Komoditas Global di RBC Capital Markets AS, Heilma Croft.
"Harga minyak pasti memiliki ruang untuk kenaikkan lebih lanjut," kata pengamat lainnya Margaret Yang dari CMC Markets.
Sebelumnya, AS menyerang sebuah kawasan di dalam Bandara Internasional Baghdad dengan pesawat tak berawak. Pentagon mengatakan serangan itu merupakan arahan Presiden AS Donald Trump.
"Atas arahan Presiden, militer AS telah mengambil tindakan defensif yang menentukan untuk melindungi personil AS di luar negeri," kata Pentagon dalam keterangan resmi.
Serangan itu menewaskan pimpinan militer Iran, Jenderal Qasem Soleimani. AS menganggap Soleimani sebagai otak dibalik penyerangan sejumlah diplomat dan warga AS di Irak
"Soleimani dan pasukan Quds beranggung jawab atas kematian ratusan orang Amerika dan anggota layanan koalisi dan melukai ribuan lainnya," tulis Pentagon.
Soleimani sendiri adalah pemimpin unit pasukan khusus Pengawal Revolusi Iran. Ia merupakan tokoh kunci politik Iran dan Timur Tengah.
Kematiannya diprediksi memperburuk ketegangan antara AS dan Iran. Diperkirakan Iran akan membalas serangan AS ini.
(sef/gus) Next Article Jenderal Iran Tewas, Timteng Bakal Perang?
Kenaikkan ini merupakan kenaikan tertinggi setelah 17 September 2019 lalu. Saat itu Brent naik tajam setelah rudal pemberontak Houthi Yaman menyerang dua fasilitas minyak milik Saudi Aramco di Arab Saudi.
Bukan cuma Brent, West Texas Intermediate (WTI) juga mencatatkan kenaikan 2,78% ke US$ 62,88 per barel. Meski demikian patokan harga minyak AS ini belum mampu menembus harga Mei 2019 lalu, yang sempat menembus US$ 63,84 per barel.
"Risiko dari sisi pasokan meningkat di Timur Tengah. Kita bisa melihat ketegangan akan terus meningkat antara AS dengan milisi yang didukung Iran di Irak," kata analis dari sebuah perusahaan broker AS OANDA, Edward Moya, dikutip dari Reuters, Jumat (3/1/2020).
Perlu diketahui Irak menjadi ajang pertempuran AS dan Iran karena negara paman Sam mengejar milisi Hizbullah. Milisi ini sendiri dituding AS telah melancarkan serangan yang membuat warga negara AS tewas dua pekan lalu.
Iran menjadi terlibat karena negara tersebut dianggap AS memiliki andil dalam pendanaan Hizbullah. Pertempuran di Irak tentu akan membuat pasokan minyak seret mengingat negara itu merupakan eksportir terbesar kedua di OPEC dengan produksi 3,4 juta barel per hari.
"Ada risiko yang selalu muncul saat Irak dibawa dalam pergulatan antara AS dan Iran," tegas seorang Kepala Strategi Komoditas Global di RBC Capital Markets AS, Heilma Croft.
"Harga minyak pasti memiliki ruang untuk kenaikkan lebih lanjut," kata pengamat lainnya Margaret Yang dari CMC Markets.
Sebelumnya, AS menyerang sebuah kawasan di dalam Bandara Internasional Baghdad dengan pesawat tak berawak. Pentagon mengatakan serangan itu merupakan arahan Presiden AS Donald Trump.
"Atas arahan Presiden, militer AS telah mengambil tindakan defensif yang menentukan untuk melindungi personil AS di luar negeri," kata Pentagon dalam keterangan resmi.
Serangan itu menewaskan pimpinan militer Iran, Jenderal Qasem Soleimani. AS menganggap Soleimani sebagai otak dibalik penyerangan sejumlah diplomat dan warga AS di Irak
"Soleimani dan pasukan Quds beranggung jawab atas kematian ratusan orang Amerika dan anggota layanan koalisi dan melukai ribuan lainnya," tulis Pentagon.
Soleimani sendiri adalah pemimpin unit pasukan khusus Pengawal Revolusi Iran. Ia merupakan tokoh kunci politik Iran dan Timur Tengah.
Kematiannya diprediksi memperburuk ketegangan antara AS dan Iran. Diperkirakan Iran akan membalas serangan AS ini.
(sef/gus) Next Article Jenderal Iran Tewas, Timteng Bakal Perang?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular