Jakarta "Konsisten" Kebanjiran 3 Abad, Ini Nilai Kerugiannya

Jakarta, CNBC Indonesia - Ibu Kota kembali dilanda banjir, problem berabad tersebut telah menerpa sang kota megapolitan bahkan sejak zaman Hindia Belanda. Tren banjir Jakarta terus memburuk, dan nilai kerugiannya diprediksi terus bertambah.
Kemarin, memasuki pergantian tahun dari 2019 ke 2020, warga Jakarta lagi-lagi terkena banjir, yang menjadi "kado tahun baru" dari alam untuk mengingatkan bahwa warga dan pemerintah belum banyak berbenah, meski setelah lebih dari tiga abad.
Banjir kali ini menerpa seluruh wilayah Jakarta, hingga Bekasi. Laman @TMCPoldaMetro menyebutkan banjir terjadi dari Kalibata (Jakarta Selatan), Kelapa Gading (Jakarta Utara), Gunung Sahari (Jakarta Pusat), Jatinegara (Jakarta Timur), hingga Rawa Buaya (Jakarta Barat).
Problem banjir kali ini tentu saja bukan yang pertama. Menurut World Health Organization (WHO), catatan paling awal banjir di Jakarta terjadi pada tahun 1699, atau tepat 320 tahun yang lalu. Penyebabnya adalah muntahan lava Gunung Salak yang menutup Sungai Ciliwung.
Kala itu, banjir menggenangi Kota Lama yang menjadi ibu kota kolonial Belanda di bawah pemerintahan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie), VOC adalah perusahaan terbuka (emiten) di Belanda yang diberi hak istimewa membentuk angkatan perang di wilayah koloni.
Banjir terbesar selanjutnya yang tercatat dalam sejarah, masih mengutip laporan "Emergency Situation Report WHO" (2007), terjadi pada tahun 1714 ketika Sungai Ciliwung meluap akibat pembukaan hutan-hutan di Bogor (kawasan Puncak).
Solusi sesaat yang diambil pada kurun waktu tersebut, menurut BHM Vlekke dalam buku Nusantara: A History of the East Indian Archipelago (1943) adalah mengerahkan 100 budak untuk menggali dan membersihkan kali Ciliwung dari sampah perkebunan (utamanya limbah tebu yang dibuang begitu saja di sungai).
Barulah pada masa pemerintahan Hindia Belanda, dibangun kanal yang ditujukan untuk mengatasi banjir. Kita mengenalnya sebagai Kanal Banjir Barat, yang baru tuntas pada tahun 1942. Program pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) mereka tidak pernah terwujud karena kendala dana, dan baru tuntas pada era Reformasi tepatnya tahun 2003.
Langkah penyelesaian tersebut tidak pernah cukup menjadi solusi akhir, karena minimnya drainase di Jakarta, sementara 40% wilayah Jakarta saat ini berada di bawah permukaan laut. Penurunan tanah memperburuk keadaan, sehingga sejak tahun 1996 muncul satu jenis banjir baru, yang tidak dipicu oleh limpahan air dari Bogor ke Sungai Ciliwung, atau curah hujan tinggi di Jakarta, melainkan pasang laut di Jakarta Utara.
Sampai sekarang, tidak ada satupun gubernur Jakarta dan presiden Indonesia yang mampu menyelesaikan persoalan banjir secara sistemik, meski isu mengenai banjir selalu muncul dan diputar dalam retorika kampanye jelang pemilihan.