Jakarta "Konsisten" Kebanjiran 3 Abad, Ini Nilai Kerugiannya

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
01 January 2020 20:38
Jakarta
Foto: Banjir Ibukota (Detikcom/Ari Saputra)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ibu Kota kembali dilanda banjir, problem berabad tersebut telah menerpa sang kota megapolitan bahkan sejak zaman Hindia Belanda. Tren banjir Jakarta terus memburuk, dan nilai kerugiannya diprediksi terus bertambah.

Kemarin, memasuki pergantian tahun dari 2019 ke 2020, warga Jakarta lagi-lagi terkena banjir, yang menjadi "kado tahun baru" dari alam untuk mengingatkan bahwa warga dan pemerintah belum banyak berbenah, meski setelah lebih dari tiga abad.

Banjir kali ini menerpa seluruh wilayah Jakarta, hingga Bekasi. Laman @TMCPoldaMetro menyebutkan banjir terjadi dari Kalibata (Jakarta Selatan), Kelapa Gading (Jakarta Utara), Gunung Sahari (Jakarta Pusat),  Jatinegara (Jakarta Timur), hingga Rawa Buaya (Jakarta Barat).

Problem banjir kali ini tentu saja bukan yang pertama. Menurut World Health Organization (WHO), catatan paling awal banjir di Jakarta terjadi pada tahun 1699, atau tepat 320 tahun yang lalu. Penyebabnya adalah muntahan lava Gunung Salak yang menutup Sungai Ciliwung.

Kala itu, banjir menggenangi Kota Lama yang menjadi ibu kota kolonial Belanda di bawah pemerintahan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie), VOC adalah perusahaan terbuka (emiten) di Belanda yang diberi hak istimewa membentuk angkatan perang di wilayah koloni.

Banjir terbesar selanjutnya yang tercatat dalam sejarah, masih mengutip laporan "Emergency Situation Report WHO" (2007), terjadi pada tahun 1714 ketika Sungai Ciliwung meluap akibat pembukaan hutan-hutan di Bogor (kawasan Puncak).

Solusi sesaat yang diambil pada kurun waktu tersebut, menurut BHM Vlekke dalam buku Nusantara: A History of the East Indian Archipelago (1943) adalah mengerahkan 100 budak untuk menggali dan membersihkan kali Ciliwung dari sampah perkebunan (utamanya limbah tebu yang dibuang begitu saja di sungai).

Barulah pada masa pemerintahan Hindia Belanda, dibangun kanal yang ditujukan untuk mengatasi banjir. Kita mengenalnya sebagai Kanal Banjir Barat, yang baru tuntas pada tahun 1942. Program pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) mereka tidak pernah terwujud karena kendala dana, dan baru tuntas pada era Reformasi tepatnya tahun 2003.

Langkah penyelesaian tersebut tidak pernah cukup menjadi solusi akhir, karena minimnya drainase di Jakarta, sementara 40% wilayah Jakarta saat ini berada di bawah permukaan laut. Penurunan tanah memperburuk keadaan, sehingga sejak tahun 1996 muncul satu jenis banjir baru, yang tidak dipicu oleh limpahan air dari Bogor ke Sungai Ciliwung, atau curah hujan tinggi di Jakarta, melainkan pasang laut di Jakarta Utara.

Sampai sekarang, tidak ada satupun gubernur Jakarta dan presiden Indonesia yang mampu menyelesaikan persoalan banjir secara sistemik, meski isu mengenai banjir selalu muncul dan diputar dalam retorika kampanye jelang pemilihan.

Banjir dipastikan menghambat aktivitas ekonomi Jakarta, yang merupakan pusat administrasi dan pusat bisnis Indonesia. Berbagai studi telah menunjukkan efek banjir terhadap perekonomian, yang nilainya mencapai triliunan rupiah per tahun.

Menurut penelitian Nurul Yuhanafia dan Heri Andreas berjudul “Pertambahan Estimasi Kerugian Ekonomi Akibat Banjir Dengan Pengaruh Penurunan Tanah di Jakarta” (2017), penurunan permukaan tanah berkontribusi terhadap meluasnya banjir di Jakarta.

Dari tahun ke tahun, problem banjir di Jakarta semakin meluas dengan wilayah rawan banjir yang terus bertambah, meski pemerintah telah melakukan program-program arus utama (mainstream) pengendalian banjir seperti membangun BKT dan normalisasi Sungai Ciliwung.

Jakarta Foto: Sumber: Gea

Berdasarkan perhitungan yang mengacu pada peta hazard dan eksposur ekonomi (estimasi nilai kerugian ekonomi maksimum menurut kelas tata guna lahan, nilai kerugian banjir pada tahun 2007 mencapai Rp 21 triliun.

Angka ini setara dengan nilai investasi mobil listrik Hyundai di Cikarang, yang nilainya mencapai Rp 21 triliun. Dengan kata lain, jika Jakarta tak menghadapi problem banjir maka ada peluang sebesar itu di perekonomian yang bisa dipakai untuk berinvestasi di sektor strategis.

Menurut model perhitungan Nurul dan Heri (2017), dalam 20 tahun ke depan (antara tahun 2007 hingga tahun 2027) nilai kerugian bertambah Rp 15 triliun menjadi Rp 36 triliun pada 2027 atau mengalami persentase penambahan sebesar 73% jika dibandingkan kerugian tahun 2007.

Jakarta Foto: Sumber: Gea

Tidak heran, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan memindah Ibu Kota karena selama ratusan tahun, kota terbesar di Indonesia ini masih menjadi langganan banjir. Melihat fenomena banjir di pergantian tahun 2019-2020, muskil problem banjir akan berakhir segera.

Namun jangan lupa, Jakarta masih bakal menjadi pusat bisnis atau "New York-nya Nusantara". Tanpa ada penyelesaian, maka peluang bisnis dan investasi bernilai puluhan triliuan bakal terus menguap dari struktur perekonomian kita akibat problem banjir tersebut.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular