Duh! Naga-Naganya Industri Perbankan Tumbuh Melambat di 2019

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
27 December 2019 22:46
Duh! Naga-Naganya Industri Perbankan Tumbuh Melambat di 2019
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah perlambatan ekonomi dunia, laba bersih perbankan nasional berpeluang melambat tahun ini meski Bank Indonesia (BI) telah memangkas suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR) sebesar 100 basis poin menjadi 5%.

Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), laba bersih bank umum per Oktober tumbuh 6,05% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp 130,77 triliun. Pertumbuhan digit tunggal (single digit) ini terhitung lebih buruk dari kinerja tahun lalu.

Sebagai perbandingan, per Oktober 2018 laba bersih perbankan tumbuh 11% (yoy) menjadi Rp 123,32 triliun. Jika dihitung setahun penuh, laba bersih pada 2018 tumbuh pada digit ganda (double digit), yakni 14,5%. Pada 2017, laba bersih bank umum untuk periode setahun penuh melesat 21,1%.

Nah, jika laba bersih setahun penuh pada 2019 ini benar melambat, maka laju industri perbankan bakal sederajat dengan kondisi 2016 di mana laba bersihnya hanya tumbuh 1,8%.

Hingga Oktober 2019, perlambatan kinerja terlihat pada pendapatan bunga bersih yang hanya tumbuh 3,17% (yoy) menjadi Rp 321,11 triliun. Pada periode yang sama tahun lalu, pendapatan bunga bersih tumbuh 5,12% dan untuk setahun penuh 2018 naik 5,34%. Sementara itu, setahun penuh pada 2017 naik 4,46%, dan pada 2016 melonjak 11,18%.

Jika kita tengok kinerja intermediasi perbankan, penyaluran kredit tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan penghimpunan dana nasabah atau dana pihak ketiga (DPK). Kredit tumbuh 6,53% per Oktober, sedangkan DPK naik cuma 6,29%.

Pertumbuhan DPK yang lebih lemah ketimbang kenaikan kredit ini mengonfirmasi bahwa industri keuangan sedang menghadapi pengetatan likuiditas, di mana pasokan dana murah (dari simpanan nasabah) tidak sebesar dana yang disalurkan ke debitor.

Dari sisi kinerja penyaluran kredit, para bankir terlihat masih menghindari sektor pertambangan, sehingga kredit di sektor tambang dan penggalian turun 4,3%, menjadi satu-satunya sektor yang mengalami penurunan penyaluran kredit.

Sebaliknya, sektor konstruksi dan utilitas (listrik, gas, air) masih menjadi primadona dengan kenaikan kredit masing-masing sebesar 18,8% dan 15,5%. Sektor logistik (transportasi pergudangan, komunikasi) menyusul dengan pertumbuhan penyaluran kredit sebesar 11,3%.

Sebagaimana kita tahu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkomitmen untuk menggenjot pembangunan infrastruktur, logistik, dan kelistrikan guna menggenjot daya saing bisnis dan menarik investasi. Tahun ini, dana pembangunan infrastruktur dari APBN dan APBD mencapai Rp 1.500 triliun.

Sektor manufaktur (pengolahan) mengalami kenaikan kredit terlemah yakni hanya 3%, mengekor kredit sektor perdagangan besar yang tumbuh 3,7%, sektor pertanian yang naik 6,1%, dan sektor properti yang bertambah 7,4%.

Secara umum, kesamaan tahun 2019 dan 2016 adalah sama-sama menghadapi efek lanjutan dari suku bunga acuan tinggi setahun sebelumnya. Sebagaimana diketahui, transmisi dampak penurunan/penaikan suku bunga terhadap bunga riil di industri perbankan berlangsung antara satu hingga dua tahun.

Dalam logika sederhana, ketika bunga acuan menurun, maka NPL seharusnya juga turun. Sementara itu, NIM seharusnya menguat karena bank bisa mendapat selisih (spread) margin lebih baik karena kinerja debitor membayar kewajibannya juga membaik.

Namun jika melihat tren dalam 12 bulan ini, terlihat bahwa pergerakan BI 7-DRR tidak mengonfirmasi itu, karena margin bunga bersih (net interest margin/NIM) perbankan justru menurun (dan bukannya naik) sementara kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) meningkat (dan bukannya melemah).

Artinya, pemangkasan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7-DRR) sebesar 100 basis poin sepanjang 2019 tidak (atau lebih tepatnya: belum) berefek pada kinerja NIM dan catatan NPL pada periode yang sama.

Harap diingat, setahun yang lalu suku bunga acuan sudah terlanjur naik 175 basis poin. Transmisi efek kenaikan tahun lalu terlihat masih menekan kinerja debitor perbankan tahun ini. Apalagi, tahun ini kinerja sektor riil masih kepayahan karena efek perlambatan ekonomi dunia dan koreksi harga komoditas utama.

Secara tren, suku bunga kredit baik untuk kredit konsumsi, investasi, maupun modal kerja terus menurun sepanjang tahun ini, mengikuti arah penurunan suku bunga acuan. Efek pelonggaran moneter BI tersebut pun baru akan terlihat pada tahun depan.

Pada 2020, kondisi pemulihan diharapkan terlihat di tengah membaiknya perekonomian dunia menyusul turunnya eskalasi perang dagang antara AS-China. Kecuali, ada kejutan yang tak diduga dari sisi pasar utang global yang memiliki efek domino dan sistemik.

Untuk dua bulan terakhir tahun ini, harapan bahwa ada lonjakan kinerja industri perbankan dan penyaluran kredit terbilang kecil. Mengacu pada tren NIM yang menipis, bankir terindikasi berjuang keras hingga mengorbankan marginnya, demi membantu debitor untuk tetap perform membayar kewajiban.

Sementara itu, NPL yang meninggi mengindikasikan bahwa secara riil semakin banyak debitor yang mulai kepayahan membayar cicilan utangnya ke bank. Hanya saja, angka NPL sekarang masih jauh dari batas berbahaya yang dipatok BI di level 5%. Artinya, sekalipun tren penurunan kinerja masih akan terjadi, skalanya masih terukur.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular