Jakarta, CNBC Indonesia - Baru-baru ini negara Muslim sedang mempertimbangkan emas sebagai alat pembayaran Internasional. Negara-negara tersebut antara lain Malaysia, Iran, dan Qatar.
Gagasan tersebut pertama kali diperdebatkan sekitar tiga dekade lalu pada puncak Krisis Keuangan Asia (AFC).
Alasan rencana penerapan ide tersebut tidak lain karena dolar AS semakin tidak stabil, dan terpapar pada fluktuasi nilai untuk melayani sebagai mata uang internasional utama.
Gagasan tersebut juga telah disetujui dan akan dikaji oleh Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad. Lalu, mengapa negara Muslim ingin mengganti dolar AS dengan emas, berikut penjelasan yang dirangkum oleh CNBC Indonesia
[Gambas:Video CNBC]
Gagasan penggunaan emas sebagai alat pembayaran mendapat persetujuan dari Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad yang juga mengusulkan penggunaan emas dengan sistem barter untuk seluruh Asia Timur.
Hal tersebut disampaikan Mahathir saat konferensi Nikkei Future of Asia di Tokyo pada minggu lalu.
"Di Timur Jauh (Far East), jika anda ingin datang bersama, kita harus mulai dengan mata uang perdagangan bersama, bukan untuk digunakan secara lokal tetapi untuk tujuan penyelesaian perdagangan," katanya.
"Mata uang yang kami usulkan harus didasarkan pada emas, karena emas jauh lebih stabil."
Alasan lainnya karena menurut PM Malaysia dunia sedang dipenuhi dengan konflik di mana mata uang dimanipulasi.
"Situasi di dunia sedang tidak stabil. Kami melihat konflik di mana-mana ... Ada konfrontasi antara Amerika dan China. Kami semua terpengaruh meskipun kami bukan bagian dari itu," kata Mahathir. "Perdagangan mata uang bukanlah sesuatu yang sehat karena ini bukan tentang kinerja negara tetapi tentang manipulasi."
Negara-negara Arab yang bersekutu dengan Amerika Serikat (AS) yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain dan Mesir memutuskan hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Qatar sekitar 2-1/2 tahun yang lalu atas tuduhan mendukung terorisme. Sementara itu, Iran mendapat pukulan telak setelah AS menerapkan kembali sanksi terhadapnya.
Ekonomi terbesar dunia itu terus menjatuhkan sanksi terhadap Iran, melarang produk-produk Iran mulai dari barang-barang kesehatan hingga peralatan militer dan pesawat terbang.
Presiden Iran Hassan Rouhani juga menginginkan dominasi dolar AS diakhiri dengan gagasan satu Cryptocurrency yang dapat digunakan antara negara-negara Muslim.
"Negara-negara Muslim dapat menciptakan mekanisme khusus untuk kerjasama perbankan dan keuangan dalam meminimalkan ketergantungan mereka pada AS," kata Rouhani.
Langkah ini diambil sebagai upaya untuk melawan sanksi AS yang kerap kali menimpa negara-negara Muslim, juga upaya dedolarisasi AS sebagai mata uang internasional.
Aksi 'buang dolar' atau de-dolarisasi sempat ramai diberitakan sejumlah negara. Salah satu alasannya karena pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sengaja menggunakan dolar untuk menekan negara lain, termasuk pemberian sanksi. Berikut adalah beberapa negara besar yang mulai membuang dolar:
China
Perang dagang yang sedang berlangsung antara China dengan AS telah memaksa negara ini untuk mengambil berbagai langkah mengurangi ketergantungan pada dolar. Bank sentral negara People's Bank of China telah secara teratur mengurangi kepemilikan mereka akan surat utang pemerintah AS, US Treasuries.
China juga mencoba menginternasionalkan mata uangnya sendiri, yuan. Hal ini terbukti dari langkah pemerintah yang baru-baru ini mengambil beberapa langkah untuk menguatkan yuan, termasuk mengakumulasi cadangan emas, meluncurkan saham berjangka (futures) minyak mentah dengan denominasi yuan, dan menggunakan mata uang itu dalam perdagangan dengan mitra internasional.
Rusia
Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov pada awal tahun ini secara terang-terangan telah menyarankan negaranya untuk membuang kepemilikannya atas Treasury AS dan beralih ke aset yang lebih aman seperti seperti rubel, euro, dan logam mulia.
Rusia telah melakukan beberapa upaya untuk menuju de-dolarisasi (membuang dolar) setelah dijatuhi sanksi yang terus meningkat sejak 2014 untuk beberapa masalah. Sejauh ini, Moskow telah berhasil membuang sedikit dolar dari ekspornya, menandatangani perjanjian pertukaran mata uang dengan sejumlah negara termasuk China, India dan Iran.
India
Saat melakukan pembelian pesawat tempur S-400 dari Rusia, kedua negara bertransaksi menggunakan rubel. Sementara saat membeli minyak mentah Iran, kedua negara menggunakan mata uang India rupee untuk bertransaksi setelah AS menerapkan kembali sanksi pada Iran.
Lebih lanjut, pada Desember, India dan Uni Emirat Arab (UEA) menyegel perjanjian pertukaran mata uang (currency-swap agreement) untuk meningkatkan perdagangan dan investasi tanpa melibatkan mata uang ketiga. Langkah ini pun terancam membuat peran dolar dalam perdagangan global menyusut.
Turki
Awal tahun ini, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengumumkan rencana untuk mengakhiri monopoli dolar AS melalui kebijakan baru yang ditujukan untuk perdagangan non-dolar dengan mitra internasional negara itu. Langkah itu didorong oleh alasan politik dan ekonomi.
Turki berusaha membuang dolar dalam upaya mendukung mata uang nasionalnya, lira. Mata uang Turki ini telah kehilangan hampir setengah nilainya terhadap dolar selama setahun terakhir.
Iran
Langkah Presiden AS Donald Trump menarik negaranya keluar dari perjanjian nuklir 2015 pada tahun 2018 lalu telah membuat Iran tidak bisa lagi berdagang secara bebas dengan berbagai negara dunia.
Keadaan itu diperparah sanksi yang kembali diberlakukan Trump untuk ekonomi Iran. Trump bahkan mengancam akan menerapkan hukuman bagi negara manapun yang melakukan transaksi dengan Iran.
Sanksi itu juga telah memaksa Iran untuk mencari alternatif terhadap dolar AS sebagai alat pembayaran untuk ekspor minyaknya.